Sinta melempar ponsel ke jok di sebelahnya. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil, sudah lama mata wanita itu mengawasi pintu gerbang sekolah Agatha. Namun, Agatha tak juga tampak. Berkali-kali mencoba menghubungi gadis itu, sayangnya tak satu pun panggilannya terjawab.
Akhirnya Sinta membanting setir dan meninggalkan tempat itu. Di perjalanan, wanita itu masih mencoba menghubungi Agatha, berharap akan ada jawaban dari sana. Rasa khawatir mulai menguasai, dia teringat jika tadi pagi, dia sendiri yang menyuruh Gerald mengantar Agatha.
Jemarinya gemetar kala harus menekan ponsel dan menyetir di saat yang bersamaan. Berhasil menemukan nomor Gerald, tak ingin membuang waktu, akhirnya dia cepat menelepon laki-laki itu. Nada khas panggilan menggema di telinga kanannya.
Setelah nada itu berubah menjadi suara, segera dia berujar, “Halo, Ge, Agatha sama kamu?”
“Enggak, Tante.”
Wanita itu semakin kalut, debaran di jantung sudah tak terhitung kecepatannya karena terlalu berambisi untuk sampai ke rumah, dia melupakan keselamatan. Hampir saja mobil yang dia kendarai menabrak mobil lain di depan.
Kejadian itu tak membuatnya berhenti, dia terus melesat tak menghiraukan teguran pengendara lain.
•••
Gadis yang kini menggigit jarinya itu mendapat teguran. “Udah, santai, aja! Entar gue jelasin ke nyokap lo,” ujar Maru mencoba menenangkan Agatha.
Jika saja bisa, mungkin Agatha tidak akan sepanik itu. Membayangkan saja dia sudah tak sanggup, apalagi harus menghadapi situasi tersebut. Gadis itu menggelengkan kepala dan meminta Maru untuk menurunkannya di sini saja.
Maru jelas tak menuruti permintaan aneh Agatha. Jarak menuju rumah gadis itu masih sangat jauh, dia tidak bisa membiarkan Agatha berada di ambang bahaya. Tak memedulikan rengekan gadis itu, Maru memilih tetap menjalankan motornya.
“Mar, please, gue naik taksi, aja,” paksa Agatha dengan tangan yang menarik-narik samping seragam Maru.