Ruangan itu menjadi saksi bisu atas keruntuhan hati Agatha. Dia menunduk lesu berpura-pura setia mendengarkan perkataan Sinta. Padahal sebenarnya sangat jengah dan jika bisa, dia ingin menghentikan ucapan Sinta kala itu juga.
Sinta sangat tidak suka Agatha dekat dengan Maru, di matanya, laki-laki itu sudah terlanjur buruk. Sinta tak akan pernah mengizinkan Agatha bertemu lagi dengan Maru.
Setidaknya itulah yang Agatha tangkap dari panjangnya ucapan Sinta. Segala kalimat penyesalan muncul dalam benaknya, mengapa harus Maru yang menabrak Sinta saat itu?
“Mama berharap kamu paham kekhawatiran mama, Sayang,” lirih Sinta.
Agatha menaikkan kepalanya menatap Sinta, kemudian keduanya saling menatap dengan keadaan hati yang jelas berbeda.
“Mama udah tahu rasanya. Laki-laki kayak dia itu, pasti nggak bertanggung jawab. Dia nggak punya sopan santun." Sinta menoleh dan kembali berujar, “Mama juga banyak nanganin kasus perceraian dan mama yakin kebanyakan laki-laki yang keluarganya gagal, masa mudanya pasti kayak dia.”
“Padahal Mama juga gagal mempertahankan keutuhan rumah tangga sendiri.” Agatha sudah tidak bisa menahan amarah yang sudah dia pendam sejak tadi.
Sinta membelalak tak percaya kala mendengar ucapan Agatha. “Tha, maksu–”
“Cukup, Ma! Nggak semua orang akan bernasib sama. Mama boleh gagal, tapi apa Agatha harus diginiin terus sama Mama? Mama ketemu Maru cuman sekali, lantas apa Mama pantes langsung nilai dia buruk?”
“Tha, kamu tau sendiri, 'kan, waktu itu dia nggak sopan sama mama,” sahut Sinta.
“Ma, nggak cukup sekali ketemu buat tau kepribadian orang.”
Perdebatan itu terus berlanjut. Agatha yang masih tetap membela Maru, sedangkan Sinta masih mencari cara agar Agatha bisa jauh dari laki-laki itu.
Sebuah ide terlintas di pikiran Sinta. Harusnya dia berpikir lebih jauh sebelum mengambil keputusan, tetapi tidak untuk keadaan genting seperti sekarang, dengan sekali ucap ia lantang berkata, “Kamu harus pindah sekolah. Besok mama urus surat pindah kamu.”
Setelahnya wanita baya itu berlalu dengan keadaan hati yang masih sangat kacau. Dia memegang kedua pelipis seraya menempelkan punggung pada dinding dalam kamarnya. Sekuat tenaga Sinta menahan untuk tidak mengeluarkan amarahnya lagi. Dulu dia berjanji akan menjaga Agatha, Sinta tak ingin Agatha bernasib sama dengannya yang salah memilih pasangan hidup.
Agatha masih diam di sana dengan tatapan kosong, gadis itu tertunduk. Matanya terarah pada kedua kaki yang masih terbalut sepatu. Demi apa pun, dia tidak tahu harus bagaimana. Apakah perkataannya tadi telah menciptakan goresan luka di hati Sinta? Gadis itu sedikit menyesal, tetapi dia juga ingin seperti gadis lain yang menikmati masa remaja dengan semestinya.
Perlahan tetesan kecil itu berjatuhan membasahi lantai. Menyadari itu, dia langsung mendaratkan punggung tangan pada pipinya. Secepatnya menghapus genangan air di kelopak matanya yang hampir tumpah lagi.
Setelah itu, dia berlari cepat menghampiri kamarnya yang masih tertutup. Agatha berdiri sebentar dan menoleh ke belakang, dia ingin berteriak sekeras mungkin. Raganya kini sudah memasuki ruangan sunyi itu.