Siswa SMA yang kini sedang berada di teras rumahnya tampak melangkah menghampiri motor yang mesinnya menyala. Dia mendekatkan wajah pada kaca spion, lalu setelah menganggap dirinya rapi, dia kembali menaiki motor tersebut.
Dari dalam rumah, muncul juga seorang lelaki yang berumur tak jauh beda darinya. Mereka sama-sama ingin keluar meninggalkan rumah. Hanya saja, tujuannya yang berbeda. Maru akan berangkat sekolah dan Gerald yang mengejar kelas pagi di kampusnya.
Maru sudah keluar melalui pintu gerbang. Gerald masih tetap di tempatnya seraya memastikan semua barang yang dibutuhkan sudah dia bawa. Setelah itu, dia juga pergi menyusul kepergian adiknya meski dengan tujuan yang berbeda.
•••
“Mau sampek kapan lo kayak gitu, Mar?” tanya Arion yang sedang mencoba menyamakan langkah dengan Maru.
Sedangkan lelaki yang berjalan menunduk itu tak memberi respons apa pun, dia tetap berjalan lesu. Arion tak tinggal diam dan mencoba menghibur temannya agar tak terus terpuruk.
“Mar, kita bolos, yuk!” ajak Arion. Biasanya Maru yang mengajaknya, tetapi kini keadaan terbalik.
Maru tak mengindahkan ajakan itu, dia masih saja diam. Rupanya kehadiran Arion hanya dianggap angin lalu oleh lelaki tersebut.
Kini mereka berdua sudah berada di dalam kelas. Maru langsung merebahkan dirinya ke lantai yang berada di bagian pojok, tempat yang biasa dia tempati untuk tidur. Namun, berbeda dengan hari ini. Lelaki itu tetap membuka matanya. Menatap langit-langit dengan mata yang sedikit berair.
Pikirannya tak bisa lepas dari hal yang sudah tiga hari lepas menjadi pemicu rasa sedih yang selalu hadir menghampirinya. Sesuatu itu adalah kepergian Agatha. Gadis itu pergi tanpa pesan, bahkan bunyi langkah terakhir Agatha tak terdengar olehnya.
Selama kepergian Agatha, Maru merasakan ada yang hilang dalam hari-harinya. Sejenak dia berpikir, apakah kepergian gadis itu merupakan kesalahannya? Apakah dari kejadian itu hanya dia yang merasakan sesak luar biasa? Entahlah, pertanyaannya mungkin tak akan pernah terjawab.
Laki-laki itu menutup mata dan mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dadanya masih bergemuruh kencang, dia sendiri tak tahu bagaimana cara menghentikan itu. Baru beberapa detik matanya terpejam, bahkan ketenangan pun belum dia dapatkan. Suara berisik seorang wanita menusuk indra pendengaran Maru hingga dia terbangun dan refleks menajamkan mata menatap siapa yang hadir di depannya.
“Gue tau, Agatha di mana.” Gadis itu antusias memberi informasi yang baru didapatnya kemarin.
Rahang Maru mengeras kala mendengar penuturan Oca, rasanya seakan dia tak percaya. “Di mana?” tanyanya lantang dengan wajah berseri.