Hari-hari Agatha selalu sunyi, meski berada di tengah keramaian sekali pun, tetap saja merasa sendiri. Sudah sebulan dia menjadi bagian dari EHS, tetapi masih tak memiliki teman.
Dia hanya bisa memainkan kuku lentiknya saat bosan. Bahkan, saat jam istirahat dia memilih untuk tetap tinggal di ruang kelas, rasa laparnya kalah oleh rasa malas yang lebih menguasai dirinya.
Andai saja itu di Delta. Mungkin dia dengan senang hati mengiyakan ajakan Oca untuk ke kantin. Saat tiba di kantin, pasti laki-laki menyebalkan itu selalu datang mengganggu.
“Sekarang, apa kabar kalian?” ucapnya lirih.
Agatha tidak lagi mau menangis, sudah cukup rasanya sebulan lepas membiarkan matanya selalu sembab. Gadis itu berangan-angan suatu saat bisa kembali ke sekolah lamanya, lalu bertemu dengan Oca dan yang lain. Namun, saat dia memiliki harapan, pasti kenyataan akan datang dengan wujud yang berbeda.
Gadis itu sudah tak ingin berharap lagi, kini dia lebih suka menikmati takdir yang digariskan Tuhan.
•••
Lagu yang berjudul ‘Duka’ milik Last Child mengalun. Tiga laki-laki yang sedang duduk berjejer di samping kelas, terdiam dengan ekspresi yang berbeda.
Arion menatap Maru yang sedang asyik dengan dunianya sendiri, sementara Edo sibuk mengikuti lirik lagu yang berasal dari ponsel Maru. Bukan tanpa alasan laki-laki itu memutar lagu tersebut. Lagu itu sangat pas untuk menggambarkan isi hatinya saat ini.
“Mar, lo tau telor yang digoreng, nggak?” tanya Arion mencoba menarik Maru kembali ke dunia nyata.
Tanpa menunggu jawaban, Arion kembali berujar, “Telor kalo lupa diangkat gosong, Mar.”
Jelas saja Maru tak mengerti perumpamaan yang dibuat temannya itu, dia menoleh dan menghadiahi Arion dengan tatapan nyalang. “Maksud lo?”
“Gini, deh. Gue nggak mau basa-basi. Lo masih cinta, 'kan sama Agatha?”
Maru mengelak. “Halah, cewek itu lagi yang lo bahas. Basi tau!”
“Mar, lo boleh aja ngomong kayak gitu, tapi mata lo bilang, lo masih mau perjuangin Agatha.”
“Nggak usah sok jadi Dilan lo. Sejak kapan lo bisa ramal orang?”
Arion tertawa melihat tingkah Maru yang masih setia dengan gengsi yang sangat tinggi. “Kalo lo terus nutup-nutupin semuanya, lo jangan nyesel kalo Agatha diambil orang.”
“Nggak mungkin, dia susah dideketin,” balas Maru dengan mata terpejam, sedangkan tangannya terlipat di dada.
“Mungkin aja, manusia itu gampang berubah. Apalagi lo sekarang nggak didekat dia, mana tau dia sekarang gimana. Agatha itu cantik, Bro. Pasti banyak yang mau.” Arion tak henti meyakinkan Maru.
“Nggak usah sok nasihati gue. Lagian orang kayak gue, nggak pantes buat dia.”
Arion akhirnya menyerah, dia sudah angkat tangan dengan temannya yang satu itu.
“Orang pacaran ribet. Mending kayak gue.” Suara Edo tiba-tiba menyambar.