Menikmati takdir Tuhan memang harus. Manusia hanya boleh berharap, tetapi tidak untuk menuntut. Takdir baik mau pun buruk, akan selalu ada cerita tak terduga di baliknya. Kita belajar perlahan meniti jembatan yang tak memiliki batasan, hidup ini panjang, banyak teka-teki yang belum ditemukan.
Bisa saja besok atau kapan, kita hanya bisa menunggu saja. Seperti dua remaja yang kini sedang menikmati takdir baik yang diberikan oleh Sang Maha Baik. Mereka sama-sama menyimpan rasa yang sama, rasa bahagia tiada tara.
Sang penguasa siang sejak pagi tidak memunculkan wujud, deretan awan hitam merenggut paksa tahtanya. Udara yang harusnya mulai menghangat, kini tetap dingin. Rupanya angin sedang menjalankan tugasnya berkeliling dunia.
Keduanya terdampar di sebuah parkiran basement rumah sakit. Agatha mulai dikepung kebingungan, matanya menjelajah ke sembarang arah. Sementara laki-laki yang membawanya ke sini sedang melipat tangan di dada dan bersiul ringan.
“Kenapa?” tanya Maru yang menangkap signal kebingungan dari gadis itu.
Agatha menyatukan kedua bibirnya yang tadi sempat terpisah karena ternganga, lalu dia menatap Maru dengan tatapan mengintimidasi.
Tanpa menunggu jawaban Agatha yang sedikit lama baginya, akhirnya Maru memilih menghilang dari hadapan gadis itu. Agatha pun mengejar dengan tatapan nanar, sepertinya laki-laki itu ingin merasakan pukulan Agatha.
Mereka berada di dalam lift yang sudah siap membawanya menuju lantai paling atas di gedung rumah sakit itu. Agatha menaikkan sebelah alisnya kala melihat Maru memencet tombol lantai delapan. Namun, gadis itu tidak berucap apa-apa.
Perhatiannya masih tak terlepas dari laki-laki yang membiarkan tangannya tenggelam dalam saku celana, menatap punggung tegapnya dari belakang. Serasa kembali diliputi kebahagiaan, gadis itu menggumam pelan dalam hati, betapa dia mengagumi sosok di depannya. Tentu saja laki-laki itu tidak akan mendengar.
Setelah mendengar bunyi tanda sampai, mereka bersiap menunggu pintu lift terbuka, lalu keduanya keluar secara bersamaan. Agatha mengikuti Maru yang sepertinya akan membawanya ke suatu tempat.
Benar saja, setelah melewati beberapa belokan, ditemukan pintu besi tertutup. Kala pintu itu terbuka, angin dengan kekuatan kencang menerpa wajah keduanya. Seperti berada di dunia yang sebelumnya tak pernah terjamah oleh manusia, begitu damai dan tenang.
Agatha takjub akan hal itu. Dia tak henti mendongakkan wajah menatap langit yang terlihat dekat. Kaki jenjangnya melangkah pelan, dia membiarkan tangannya terbuka lebar seakan mengizinkan angin kencang itu membawanya terbang.
Mata indah itu terpejam kuat, merasakan sensasi luar biasa yang sebelumnya tak pernah dirasa. Dia tak ingin itu cepat berlalu, rasanya gadis tersebut akan berada di sana dalam waktu sedikit lebih lama.
Suara derap langkah mulai mendekat. Kini Maru berada di sampingnya, sama-sama menikmati angin yang menusuk dan menerbangkan rambut-rambut mereka.
“Akhirnya gue bisa bawa lo ke sini, Tha.” Maru berujar tenang dengan mata yang terpejam.
Gadis itu menghentikan ritualnya, kemudian menurunkan rentangan tangannya dan beralih menghadapkan badan pada laki-laki di sampingnya. “Lo sering ke sini?"
“Enggak juga, sih. Gue ke sini cuma sekali. Pas gue nemenin mama gue yang sakit. Saat gue ke sini, hal pertama yang gue pengen banget, ya bawa lo ke sini. Sayangnya, sekarang langitnya lagi mendung.”
“Gue suka,” aku Agatha dengan bibir mengenyamping.
Mereka sedang berada di rooftop rumah sakit. Keinginan Maru tercapai, akhirnya dia bisa mengamati indahnya ciptaan Tuhan itu dari tempat ini. Matanya menatap lekat ukiran senyum Agatha. “Kenapa lo bisa kenal Gerald?”
Sontak senyuman gadis itu memudar. Gadis itu akan kehilangan mood kala mendengar nama itu disebut. “Lo tau Gerald?”