Suasana mencekam menyelimuti, hawa panas mulai terasa. Hanya kegelapan yang ada, merengkuh tubuh yang hingga kini masih tak membuka mata. Tubuhnya tergeletak begitu saja di lantai.
Hingga geliatan pelan itu datang, rupanya gadis malang itu sudah bebas dari pengaruh serbuk bius. Matanya belum terbuka sempurna, hanya intipan kecil dari bawah bulu mata lebatnya.
Dia melenguh ringan, tubuhnya gemetar kala mendapati dirinya terkapar tak berdaya. Kedua tangannya terikat ke belakang, dia dibiarkan terbaring dengan keadaan mengenaskan. Bagaimana caranya gadis itu bangun, jika kaki dan tangannya terikat kuat?
Merasakan rekatan di bagian mulut, dia kini tersadar jika mulutnya juga menjadi sasaran. Lakban hitam tebal dengan dua kali tempelan membungkam mulutnya sempurna. Tubuh Agatha terperangkap dalam gelap, satu-satunya tanda jika masih ada di dunia adalah bunyi detak jarum jam yang menggema.
Pipi halusnya menempel di lantai, menghadirkan sensasi dingin luar biasa. Ekor mata menjadi basah, tangisannya pun mulai pecah. Sudah beberapa kali dia gagal membalikkan tubuhnya agar terlentang. Namun, sia-sia. Naasnya, Agatha harus kembali pada posisinya yang tengkurap.
Selain menangis, tak ada lagi yang bisa dilakukan gadis itu, membuat lantai di bawahnya berhasil membentuk sebuah danau kecil. Isakkan itu masih tak terhenti. Bahkan dia berniat tak akan membiarkan air matanya berhenti mengalir.
Ingin sekali rasanya berteriak meminta tolong, keinginannya luntur kala mengetahui kenyataan. Agatha tak akan pernah bisa berteriak bebas dengan keadaannya yang sekarang.
Derai air langit kembali hadir, menyekat rasa dibalik kerasnya takdir. Gadis itu merutuk dirinya sendiri. Mengapa kenyataan selalu menyiksa lembut hatinya? Siapa dalang di balik semua itu?
Bunyi putaran kunci memberinya setitik harapan. Perlahan pintu itu terbuka, membuat gelap menjadi lenyap. Mata sembab itu tertabrak sinar terang yang berasal dari dimensi ruang berbeda. Seseorang berjalan mendekat dengan seringai tajam.
Dia tertawa keras seakan mengejek gadis tak berdaya itu. Berontakan keras dilakukan Agatha, seakan memberi tahu jika dia sangat berharap untuk dibebaskan. Teriakan yang tertahan sedikit menggelitik telinga seorang lelaki yang sengaja menyekapnya.
“Jadi lo ceweknya adek gue?”
Suara itu terdengar membingungkan bagi Agatha, dia sangat hafal dengan suara berat itu. Tidak salah lagi, itu suara Gerald. Gadis tersebut semakin memberontak kuat.
“Diem!” seru Gerald.
Dia mendekati gadis itu dan meremas dagunya. “Ini balesan atas sikap sombong lo sama gue!”
Plak!
Tamparan keras dia daratkan di pipi yang sangat basah itu. Agatha hanya memekik tak kuasa, dadanya naik turun mengikuti isakkan yang terus berlanjut.
“Dan ini balasan karena cowok lo udah kurang ajar!”
Agatha semakin lemah karena setelahnya tangisannya kembali pecah. Dia tidak bisa melawan, hanya diam menerima kenyataan.
•••
Pagi kembali datang, tetesan embun yang hinggap di dedaunan mulai berjatuhan. Hujan semalam cukup membuat jalan dan benda mati di sekitar basah. Saat matahari mulai tampak, suasana pun berubah, jalan basah itu sudah kembali pada wujudnya yang asli.
Wanita paruh baya itu terlihat sedang berbincang dengan seorang pria berseragam. Dilihat dari ekspresi yang mereka tampakkan, sepertinya masalah yang mereka bicarakan cukup serius.
“Ibu nggak usah khawatir. Kami akan membantu mencarinya.” Begitulah sepotong kalimat yang dilontarkan laki-laki berkumis tebal itu.
Sedangkan wanita yang kini memegang dadanya, masih saja menyimpan rasa khawatir yang mendalam. Sudah sejak semalam dia merasa kebingungan.
“Agatha, kamu di mana, sayang,” lirihnya diiringi tangis.
Halaman Emerald pagi ini dipenuhi pihak kepolisian. Semua yang tidak mengerti dibuat bingung karena melihat pemandangan bukan seperti biasanya.
Seorang pria yang mempunyai badan tegap mulai menyelidiki sekitar. Sebagian ada yang masuk guna mengecek rekaman CCTV. Kabar kehilangan Agatha tidak bisa dianggap sepele, mengingat dia adalah anak satu-satunya yang Sinta miliki.
Mata Sinta melebar kala dia menatap keluar pintu gerbang. “Pak, tolong anak itu juga diselidiki.”