Langit Biru Azura.
Sepeda sepeda sepeda.
Udara udara udara.
Hiruplah hasil kerja klorofil.
Bebas! Napas napas napas.
Oksigen bersih dari karbon monoksida yang disemprotkan knalpot-knalpot mesin. Lebih banyak orang memilih mengayuh kereta angin; bukan hanya demi kesehatan jantung, tetapi juga lingkungan yang bebas polusi, paru-paru dan otak yang tereliminasi dari timbunan timbal. Di antara padang rumput luas dan hamparan sapi- sapi gemuk, bangunan silinder kincir angin raksasa di tepi sungai yang jernih menjadi ciri khas Negeri Bunga Tulip. Seyla merentangkan tangan melakukan senam ringan sejenak. Menghirup udara pagi yang basah berembun, segar membasuh, hingga terasa sel-sel kulit wajahnya melakukan regenerasi. Usai shalat subuh, dia membiarkan jendela terbuka hingga aroma tulip menghambur masuk. Tulip tidak sewangi melati, tetapi aromanya cukup menggantikan pengharum ruangan, menciptakan terapi rileks bagi saraf-saraf kelabu otaknya yang menegang hingga nyaris putus dalam bulan-bulan terakhir.
Kuliah, tugas-tugas dosen, paper, ujian, belum lagi kendala bahasa dan keputusannya ikut mengajar kelas seni sebagai mata pencaharian. Sesekali, dia terlibat dalam proyek dosen, hitung-hitung menambah pengalaman dan menambah uang saku.
Dia harus mengubah semua kebiasaannya sejak ka kinya mendarat di Bandara Internasional Schiphol. Makanan, pakaian, sikap seenaknya, dan kemanjaannya. Tidak lagi bisa pilih-pilih lauk. Dia harus merasa cukup dengan pakaian yang dibawanya dari Indonesia. Meskipun itu saja, hampir mentransmigrasi seluruh isi lemari. Termasuk bantal kempes dan guling peot kesayangannya, juga seprai batik yang sudah pudar. Betapa pun Mama menyelipkan seprai-seprai baru yang lebih mahal dan bagus, dia akan tetap setia pada favoritnya. Buat apa pakai alas serbawah kalau tidurnya tidak nyaman?
Seyla paling antikasur busa yang menurutnya panas, lebih enak kasur kapuk yang terasa dingin meski harus rajin menjemur supaya tidak apak dan terjaga keempukannya. Namun, manalah mungkin membawa kasur itu, apalagi mengirimkannya ke Groningen. Sekadar mengirimkan rempeyek dan terasi Mama setuju. Kasur? Pikir-pikir dulu.
Alhasil, Seyla sempat susah tidur selama berhari- hari sampai dia punya ide untuk melapisi kasur busa dengan seprai bertumpuk-tumpuk supaya tidak terasa panas. Padahal, saat musim dingin, tidur di kasur busa dengan memakai kaus kaki pun masih bisa menggigil. Bukan itu saja hal yang membuatnya susah memejam- kan mata. Kerinduannya kepada Mama dan abangnya, Mas Dekka, sempat membuatnya nyaris putus asa dan menangis berhari-hari. Seyla mencoba menguatkan diri bahwa dia harus sanggup melalui semua ini. Bayangan seseorang menguatkan semangatnya! Seseorang yang membuat hari-hari indahnya berubah muram bersimbah air mata. Seseorang yang membuatnya mengutuk waktu, arti cinta, bahkan nama-nama yang mengkhianati arti hubungan. Seseorang yang membuat keputusannya bulat untuk menyeberang ke lain benua.
Jadi, di sinilah.
Pagi dan malam dalam suasana yang jauh berbeda dengan khatulistiwa.
Bangun tidur, otot-ototnya terasa kaku dan persendiannya ngilu. Beberapa kali Seyla mendusin, padahal dia merasa cukup istirahat. Suhu di Groningen tidak bersahabat dengan dirinya yang lahir di alam tropis. Dia memandang ke luar, mengamati lukisan Sang Pencipta yang terukir indah pada alam Netherlands. Mood yang sedang bagus, membuat tubuhnya ringan beranjak mendekati jendela, membiarkan harum tanah dan udara musim panas yang hangat memenuhi dada. Wangi pucuk-pucuk cemara, hamparan tulip beraneka warna, memanjakan mata.
Titik embun menyegarkan mahkota bunga yang berserak ibarat pelangi menaungi ladang rerumputan. Setitik nyeri terasa di ulu hati jika mengingat di mana dirinya saat ini. Jauh dari Mama tercinta, dari Mas Dekka—abang yang selalu mendukungnya. Apalagi, jika otaknya sudah bekerja membandingkan alangkah berbeda Belanda dan Indonesia. Di sini, segalanya serba teratur rapi. Disiplin, bersih, tertata.
Dia ingat halte-halte bus di Indonesia, juga tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang. Kapan negerinya bisa seelok ini, padahal Indonesia jauh lebih memukau dari Belanda. Dia rindu pada sayur asem dan sambal terasi, pada ketoprak, pada kehangatan para kerabat yang terkadang terasa sedikit turut campur urusan pribadi.
Dering memanggil dari ponsel mengejutkannya.
“Bangun, Pemalas!” Suara Judith Reijnen yang khas terdengar nyaring.
“Aku sudah bangun dari tadi, kok.”
“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Jangan sampai ketinggalan.”
“Oke, aku segera ke sana.”
“Ban sepedamu sudah diganti?”
“Sudah. Aku sarapan dulu, ya!”
“Iya, enggak usah makan rempeyek. Kelamaan ngunyahnya!”
“Tenang, tenang. Perutku mulai bisa adaptasi sama roti, enggak melulu minta diganjal nasi.”
Seyla tersenyum samar. Awalnya, dia sempat merasa galau dan ragu memulai kehidupan jauh di seberang. Takut orang-orang Eropa terlalu individual dan tidak mudah menjalin persahabatan. Ternyata, mereka sama seperti orang Indonesia pada umumnya. Hangat dan akrab, hanya—memang—tidak mau orang luar terlalu mencampuri urusan internal. Seyla secepatnya meminum segelas susu hangat dan beberapa potong stroopwafels,(Wafel yang terdiri dari dua potongan tipis wafel, direkatkan dengan sirop karamel) menyempatkan menghabiskan jus jeruk sisa kemarin yang dingin di kulkas.
Kebiasaannya mandi dua kali di Indonesia masih terbawa-bawa, meski sebagian besar kawannya tidak melakukan hal semacam itu. Groningen cukup lembap sehingga tidak membuatnya banyak berkeringat. Tetap saja, Seyla ingin mandi berkeramas sekalian menyegarkan ujung rambut hingga mata kaki. Dia ingin sekali melihat seperti apa Tur Sepeda Musim Panas yang menyusuri alam indah Groningsche Hoogeland.
“Goedemorgen (Selamat pagi), Tante!”
“Tante sudah menyiapkan sarapan, nih,” Tante Linda menyapanya terheran-heran di lantai bawah.
Pada hari libur seperti ini, tidak biasanya Seyla berdandan rapi wangi. Bila tidak ada jadwal kuliah dan sedang diserang penyakit M–malas—gadis itu betah berlama-lama di kamar, bercengkerama dengan bantal dan jaringan internet. Dua piring sandwich hangat ditemani daging asap yang masih mengepul, menggugah selera di meja makan. Bayangan Judith yang berkacak pinggang mengganggu konsentrasi. Sobatnya yang satu ini enggan menunggu lebih dari 5 menit. Meski perutnya lumayan penuh, demi menghalau kekecewaan di wajah tantenya, Seyla sempatkan juga menyantap sekepal kentang panggang bertabur wijen.
“Sorry, Tan,” wajah Seyla menyesal. “Teman-teman sudah menungguku.”
“Makan sebentar dulu. Nanti, kamu sakit perut kayak kemarin-kemarin karena enggak makan pagi. Orang Indonesia beda sama orang Belanda, orang Jawa apalagi.Kalau belum makan nasi, rasanya belum makan.”
Seyla mencoba tersenyum dengan mulut monyong kepenuhan. Benaknya sibuk menimbang-nimbang. Tante Linda sendiri secepatnya menarik kursi, lalu lahap menyantap. Kadang, beliau begitu sibuk sampai hari libur harus mengerjakan setumpuk tugas. Tante Linda bekerja sebagai staf di Kedutaan Besar Indonesia bagi Kerajaan Belanda. Kantornya terletak di Amsterdam, ditempuh sekitar dua setengah jam dari Groningen menggunakan kereta api. Sebentar lagi, wanita itu berangkat menuju Centraal Station . Raut mukanya tetap rileks karena perjalanan menuju tempat kerja sangat nyaman dan efisien. Segalanya serbatertib sehingga Amsterdam menempati urutan keempat kota yang menjadi tujuan pelaku bisnis di dunia setelah London, Paris, dan Frankfurt.
“Kalau kamu memang terburu-buru, bungkus saja sarapanmu,” sarannya.
Seyla mengepalkan tangan gembira.
“Dank u (Terima kasih), Tan,” dia melangkah ke depan mencium pipi tantenya.
“Jam berapa pulang?” Tante Linda memburunya dari balik jendela.
“Kalau Tante enggak bisa pulang, kamu baik-baik di rumah sama Jannie, ya?”
Tergesa, Seyla mengeluarkan sepeda.
“Enggak tahu!” seru gadis itu. “Nanti, kuhubungi lewat telepon, yaaa? Daaah!”
Seyla tidak sempat mendengar dan menanggapi kalimat berikutnya. Rasanya, dia tidak sabar mengayuh sepeda, melewati jalan-jalan kecil di antara alam hijau pertanian. Domba-domba gemuk berambut putih menegakkan kepala mendengar suara bersiut dari rantai sepeda yang dikayuh dengan kecepatan penuh. Pipi Seyla bersemu merah tertimpa hangat cahaya matahari. Dia hanya perlu 5 menit untuk sampai di sekolah seni kawasan Rijksuniversiteit Groningen.
Rijksuniversiteit Groningen atau lebih dikenal sebagai Academie Gebouw terletak di jantung Kota Groningen. Bangunan tua bergaya Gothic yang berdiri pada 1614 itu masih tetap terjaga keasliannya. Warna merah bata dinding bangunan dua lantai itu mengesankan suasana misterius, dan kisah-kisah rahasia. Namun, nuansa dingin yang ditimbulkan bangunan terhapus oleh hangat sapaan ramah para akademisi. Puluhan sepeda berjajar rapi, parkir di halaman kampus. Menara-menara tinggi dengan kubah perak dan tongkat besi runcing penangkal petir menghias atap universitas. Jendela-jendela raksasa dengan kaca tebal tidak tembus pandang, dibingkai jeruji besi tua tebal kelabu menghitam yang menggambarkan serangkaian panjang perjalanan waktu.
Di tengah gedung terdapat aula yang dikelilingi jendela kaca berwarna dengan tatahan lukisan yang menjadi tumpuan perhatian. Johan Djikstra, seniman terkenal Belanda, menggarap teliti lukisan di kaca jendela; sementara Wout Muller memahat lukisan dinding mural yang menceritakan sejarah pembangunan universitas dan kegiatannya. Teknik melukis kaca jendela merupakan salah satu keahlian seniman genius Djikstra. Kaca-kaca berwarna dipotong menurut ukuran dan bentuk tertentu, satu dengan yang lain direkatkan menggunakan adonan bubuk kapur dan minyak biji rami agar terlekat kuat. Warna lukisan atau lebih tepat, mematri kaca jendela, menggunakan pilihan warna-warna tajam yang tembus pandang dan membiaskan cahaya matahari. Teknik Djikstra dikenal dengan teknik gebrandschilderde bril atau mematri kaca. Lukisan jendela Djikstra merupakan sejarah yang berkaitan dengan Netherlands, utamanya empat sejarah: legenda cahaya Zeerijp, kedatangan Nabi Isa, humanisme dan reformasi, serta sejarah abad modern. Bila disuruh memilih, Seyla menyukai pola De legende van het licht van Zeerijp atau legenda cahaya dari Zeerijp.
Di depan kampus, Barbara Meijer melambaikan tangan dengan ribut hingga manik gelang di pergelangan tangannya bergerincing bersahutan.
“Mana Judith?” Seyla terengah.
“Ada di dalam,” sahut Barbara. Dia mengamati Seyla tidak berkedip.
“Kenapa?”
“Kamu cantik banget,” puji Barbara.
Seyla tertawa. Dia angkat bahu, siapa pun pasti terpesona pada keindahan batik tulis yang banyak diproduksi di Jawa Tengah. Seyla membuat sendiri pola kain yang dikenakannya hari ini. Terlontar decak kagum Barbara, juga Judith, yang segera berebut mendaftar menanyakan kapan Seyla akan menyelesaikan membatik kain untuk mereka pakai.
“Nantilah kapan-kapan,” Seyla menjawab santai.
“Sekarang bagaimana?” “Kita berangkat,” ajak Judith.
Mereka beriringan mengayuh sepeda.
“Apa festival macam ini sering diadakan?”
“Mestinya begitu,” Barbara mengangguk. “Selama ini sudah puluhan tahun menjadi tradisi yang terkenal di Groningen.”
“Tempatnya selalu di gereja,” Judith menambahkan.
Seyla tanpa sadar memperlambat gerakan mengayuh. Gereja? Dia bukan seorang fundamentalis, tapi seumur hidup hanya masjid tempat ibadah yang pernah dikunjunginya. Memang, dia pernah ke Borobudur atau Prambanan yang notabene juga merupakan tempat peribadatan sakral. Rasanya berbeda dengan perasaan aneh yang tiba-tiba mendesir sekarang. Judith dan Barbara tertawa-tawa.
“Tenang saja,” mereka kompak berkata, “gereja- gereja ini sudah lama tidak menjadi sarana ibadah.
Generasi tua sudah habis, generasi muda enggak ada yang percaya Tuhan. Akhirnya, banyak gereja menganggur, lalu pemerintah daerah setempat menyulapnya jadi gedung masyarakat. Jadi aula pertemuan, termasuk jadi ajang festival jazz.”
Ck-ck-ck! Kalau ada masjid di Indonesia jadi tempat hiburan, pasti ramai-ramai masyarakat memprotes!
Beberapa saat berselang, mereka tiba di sebuah daerah asri. Bangunan kokoh beratap kemerahan yang berdiri anggun dan angkuh terlihat cukup termakan usia, terdiri dari satu gedung utama yang jauh lebih besar dan satu gedung lain yang lebih kecil dengan letak berjajar. Pohon ek rindang menaungi Gedung Budaya dan Perkumpulan Masyarakat Ezinge. Bertiga, mereka segera mengambil tempat di dalam, nyaris mendapat kursi paling belakang. Banyak yang antusias menyaksikan pertunjukan jazz keliling pada musim panas. Suara tepuk tangan riuh bergema ke sekeliling ruangan ketika Douglas Seven Band mulai naik ke panggung memainkan alat musik.
“Itu Wolter Nieuwen,” bisik Judith.
“Yang mana?” balas Seyla.
“Yang memegang saksofon, yang paling tampan menurutku.”
Seyla mengamati saksama.
“Lumayan cute. Kayak Depp,” gumam Seyla, nyaris tidak terdengar.
“Hah? Siapa?” Judith menautkan alis. “Dead?”
“Bukan. D-e-p-p. Depp. Johnny Depp. ”
“Ooo, I see ....”
“Kalian juga berpikir sama, kan?” tanya Seyla.
“Iya, mirip kayak Wolter,” Judith dan Barbara mengangguk.
“Eh, tapi enggak juga, sih,” Seyla menarik ucapannya, “idolamu kayak papan penggilingan. Terlalu kurus.”
Mereka cekikikan.
“Biarin,” Judith mantap membela. “Pas, kan, sama aku, XL dan S.”
“Ssst!” tegur Barbara. “Malu kalau ketahuan kita ngegosip di sini!”
“Iya, deh, iya!”
“Sok alim. Kamu naksir dia juga, kan? Bilang saja kamu enggak mau diganggu melototin pujaanmu!”
“Diam, ah!”
Judith menjulurkan lidah. Barbara terlihat norak hingga tidak sadar melongo. Pertunjukan selama satu setengah jam begitu memukau hingga tidak seorang pun tampak gelisah duduk di atas kursi. Ada jeda 30 menit menuju penampilan berikut.
Saat istirahat, mereka bertiga ke belakang bangun an yang merupakan tempat sedikit menonjol mirip perbukitan rendah. Sejauh mata memandang, hamparan hijau pertanian diselingi domba-domba merumput. Seyla mengempaskan tubuh. Dia mengeluarkan lemonade,(Minuman manis beraroma lemon, diberi pemanis gula tebu atau madu, kadang ber karbonasi) rasanya lelah dan haus memandang tidak berkedip Zomer Jazz Fietstoer.