LAFAZ CINTA

Mizan Publishing
Chapter #3

Pangeran dan Putri yang Sempurna

Academie Gebouw berbenah diri. Walaupun, memo Pangeran Karl menyatakan mepenyambutan khusus, tetap saja Academie menyiapkan sesuatu yang istimewa bagi sang tamu. Seyla belum pernah melihat mereka, bahkan dia mengaku tidak tahu banyak tentang salah satu Putra Mahkota Kerajaan Belanda. Dia merasa lebih mengenal Pangeran William dan Pangeran Harry, putra Lady Di dari Inggris, walaupun itu juga melalui media massa.

Meski, sempat merasa kesal oleh berita miring dari teman-temannya, jantungnya berdebar membayangkan seperti apa pangeran dan putri tunangannya. Pasti serasi seperti di negeri mimpi, ibarat Snow White atau Sleeping Beauty. Judith yang biasa tampil macho, sekarang lebih feminin. Meski, blus oranyenya terlalu menyala—menurut Seyla—dia pandai memadukannya dengan sepan kulit hitam hingga potongan tubuhnya yang maskulin berotot terlihat lebih rapi dan ramping. Anting-anting perak panjang melengkapi penampilan. Dia cantik kalau begitu. Biasanya, hanya bercelana jeans usang dan kaus seadanya.

Perubahan Barbara lebih tajam lagi. Gelang gemerencingnya sementara disimpan entah di mana. Dia tidak kalah menarik dibandingkan dengan Judith. Bahkan, reka ingin pergi diam-diam serta tidak mengharapkan rambut pirang panjang yang biasa disasak tidak keruan, sekarang dipotong bob pendek. Seyla tertawa dalam hati, Barbara pasti tersiksa menghabiskan waktu creambath selama berhari-hari. Terlihat dari rambutnya yang biasa kusam tidak tertata, sekarang jatuh berkilau seperti itu. Seyla sendiri hanya berpenampilan sederhana, batik seperti biasa—tetapi yang lebih istimewa karena ornamennya berpagar tinta keemasan untuk menghasilkan efek batik perada.

Pangeran Karl dan Putri Constance datang tepat waktu. Pangeran mengendarai sendiri Peugeot keluaran lama, jauh dari bayangan Seyla bahwa dia akan datang beriringan dengan mobil pengawal mengendarai Roll Royce. Tidak ada yang bisa menyembunyikan decak kagum begitu keduanya turun. Seyla sempat melirik Judith dan Barbara yang juga ternganga seperti dirinya.

Pangeran Karl mengenakan celana panjang cokelat khaki dipadu kaus polo putih. Dia tampak santai walau wajah bangsawan yang anggun dan terpelajar tidak bisa disembunyikan, sesederhana apa pun dia. Hidungnya panjang dan runcing. Khas wajah aristokrat para raja yang memimpin Negeri Bunga Tulip, lukisan-lukisan diri mereka terpampang berjajar di aula universitas hingga Seyla langsung mengenali bahwa dia memang Pangeran Karl dari garis wajahnya. Senyumnya mengembang, mata cokelatnya bersinar cerah, rambutnya sewarna dengan warna matanya. Ikal tebal berkilat dengan potongan pendek khas militer.

Seyla langsung suka begitu melihatnya. Sosoknya tidak tampak sombong sama sekali, bahkan langsung akrab menyapa Tuan Tijmen Bhoemer beserta pekerja seni yang lain. Dia tidak setampan bintang film, tapi Judith dan Barbara pasti setuju memberinya angka delapan.

Memandang Putri Constance Martina du Barry membuat Seyla lebih ternganga. Dia cantik, sangat cantik malah. Wajahnya halus bak pualam, sepasang bola mata biru safir dinaungi alis lebat yang melengkung menawan. Dia mengenakan gaun putih lembut selutut berleher kerut. Rambut ikal pirang keemasannya jatuh gemulai di atas bahu. Setiap kali tersenyum atau berpaling, Seyla menduga banyak laki-laki pasti jatuh hati kepadanya. Yang membuat Seyla ternganga sebetulnya bukan itu. Bahkan, saat melempar pandang ke arah Judith dan Barbara pun, mereka berdua balik menatapnya tidak percaya.

Pangeran Karl van Veldhuizen begitu matang dan berwibawa, mungkin usianya sekitar 25 tahun atau lebih. Putri Constance Martina du Barry? Seyla seketika ingat bayangan dirinya yang culun saat masih duduk di bangku SMA!

Acara ramah-tamah berlangsung sederhana, tetapi meriah. Rekan-rekan mahasiswa seni mengerubungi dua selebritas yang selama ini hanya mereka lihat di koran-koran dan televisi. Meski, sangat ingin bertemu Pangeran, tamu favorit mereka adalah Putri sehingga pandangan rata-rata tidak berkedip menatapnya yang berkulit halus bak maneken lilin.

Tidak hanya kaum adam yang sibuk mencari perhatian ingin mendekati Putri, para hawa pun menahan histeria untuk bisa berdekat-dekatan dengan makhluk cantik yang jarang bisa tampak sedekat ini.

Menakjubkan sekali bahwa Pangeran Karl begitu antusias menjawab pertanyaan dan terlihat bukan sekadar basa-basi. Dia memberikan perhatian penuh pada yang hadir. Saat jamuan tiba, Putri Constance tetap menjadi primadona. Pangeran Karl punya kesempatan untuk menghirup napas sejenak dan berkeliling.

“Aku pernah ke Indonesia dulu mengikuti Yang Mulia Ratu Katharina, ibuku, dalam suatu kunjungan kenegaraan,” Pangeran Karl tersenyum saat bertemu Seyla. “Kebudayaan tradisional masih kental sekali di negeri Anda, ya? Constance ingin sekali belajar seni dari negara lain, di samping membuat keramik Delft Blauw dan memahat kelom kayu. Aku rasa, budaya Indonesia salah satu hal yang patut dipertimbangkan. Anda ahli membatik, begitu komentar Tuan Tijmen Bhoemer.”

Wajah Seyla bersemu merah. Judith berdeham.

“Saya rasa, Putri Constance harus banyak belajar dari Nona Reijnen dan Nona Meijer,” Seyla merendah.

“Nona Reijnen memahat dengan halus pohon poplar untuk kelom kayu, Nona Meijer ahli mengukir keramik Delfts Blauw. Bukankah Putri akan menjadi orang Netherlands?”

“Indonesia dan Netherlands punya hubungan spesial, maaf, bukan dalam kerangka kolonialisme aku mengatakan ini. Saling bertukar pengalaman dalam budaya dan seni akan memperat kerja sama,” sanggah Pangeran.

“Apalagi jika kita bisa belajar seni langsung dari orang yang berpengalaman.”

Acara ramah-tamah diselingi minum teh dan zandkoekjes.

Seyla berdiri di tepi jendela, meneguk teh diam-diam sembari mencari sudut pandang paling tepat untuk mengamati dari dekat dua bangsawan yang tidak sembarang orang bisa menemui mereka. Dia mengamati dari jauh sosok Putri Constance yang tampak saksama menyimak penjelasan Tuan Tijmen Bhoemer. Laki-laki tua itu bercerita tentang asal-usul kelom kayu yang berkaitan dengan sejarah datangnya Romawi ke Sungai Maas dan Rijn, pasukan yang kemudian menetap di wilayah Netherlands utara, lalu mencari akal alas kaki macam apa yang cocok dipakai di daerah berlumpur.

“Hingga sekarang, pohon poplar masih banyak tumbuh di tepi jalan,” Tuan Bhoemer mengakhiri penjelasannya. “Anda bisa menanyakan langsung kepada Nona Judith Reijnen bagaimana cara membuatnya.”

“Dari mana Anda berasal?”

Seyla nyaris terlonjak mendengar suara hangat yang akrab menyentuh telinga. Sosok tinggi tegap tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.

“Maaf,” Pangeran Karl tersenyum. Dia mengulang lagi, “Dari mana Anda berasal?”

“Indonesia ....” Seyla merasa tiba-tiba begitu bodoh.

“Ah, ya, aku lahir di Yogya, besar di Jakarta.”

Gadis itu menelan ludah dengan gugup. Pertemuan itu formal sekali. Rasanya sangat canggung. Dia yang terbiasa mengabaikan basa-basi, sekarang harus berbicara sesopan mungkin dengan tata bahasa yang terjaga susunannya. Dia mengalihkan pandangan dari laki-laki bangsawan di hadapannya. Matanya tertumbuk pada Putri Constance yang tengah bersungguh-sungguh mengusap kelom kayu berujung runcing.

“Putri Constance sangat cantik,” pujinya tulus. “Anda sangat beruntung, Yang Mulia.”

“Karl,” Pangeran menukas. “Aku ingin sesaat terlepas dari protokoler kerajaan.”

Mereka sama-sama berpaling sejenak ke arah Putri Constance dan Judith yang tengah berbincang akrab.

“Ya,” Pangeran menarik napas dalam-dalam, “dia sangat cantik. Parlemen menyetujuinya.”

“Parlemen?” Seyla mengulang tidak mengerti. Seketika, otaknya kembali segar mengingat percakapan dengan teman-temannya via internet semalam.

Pangeran tersenyum samar.

“Abangku, Pangeran Hendrik menikahi seorang putri bangsawan Prancis. Pernikahan itu bisa terlaksana setelah Parlemen menyetujui.”

“Syukurlah,” Seyla menggumam.

“Apa maksudmu?”

“Untunglah Parlemen menyetujui hingga Pangeran Hendrik bisa mewujudkan keinginannya.”

“Aku tidak berkata gadis itu pilihan abangku, aku tidak berkata mereka saling mencintai.”

Seyla tertegun.

“Karl?”

Cangkir di tangan Seyla nyaris tergelincir. Buru-buru dia membungkukkan badan memberi hormat kepada Putri Constance yang seakan muncul tiba-tiba terbawa angin.

“Sudah selesai?” Pangeran menoleh ke arah Putri.

“Ya. Menarik sekali. Mungkin, esok aku akan mencoba membuat Delft Blauw.”

“Bagus. Lalu? Oya, mau berbincang dengan Seyla sebentar? Barangkali, kamu ingin tahu cara membatik ....”

“Aku lelah sekali. Mungkin, lain kali.”

Hening beberapa detik. Seyla tersenyum.

“Anda berdua telah melalui perjalanan yang melelahkan,” Seyla berujar. “Ada baiknya beristirahat dulu, warga sekitar pasti ingin juga bertemu jika mereka tahu.”

Pangeran Karl dan Putri Constance berpandangan. Usai acara ramah-tamah, keduanya berpamitan meninggalkan Academie Gebouw diikuti lambaian tangan. Beberapa orang bertampang dingin dengan gerakan terlatih yang sedari tadi berseliweran ikut menghilang. Judith dan Barbara memburu ke arah Seyla.

“Pangeran yang menarik!”

“Pintar!”

“Aku lebih suka dia daripada abangnya!”

“Apa dia akan belajar seni juga?”

“Barangkali, hitung-hitung nemenin Putri Constance.”

Keduanya heboh bercerita sahut-menyahut, lalu tiba-tiba menatap Seyla keheranan.

“Kamu kenapa?” Barbara mengerutkan kening. “Apa tanggapanmu tentang Pangeran?”

Seyla angkat bahu.

“Hanya itu?” Judith sewot melihat reaksi ala kadarnya dari Seyla. “Dia salah satu pewaris kerajaan ini!”

Seyla menatap dua gadis di depannya bergantian. Seketika, dia merasa khawatir telah menyinggung keduanya dengan bersikap seolah meremehkan Putra Mahkota Netherlands.

“Aku ... barangkali terlalu takjub sampai enggak tahu harus berbuat apa ....”

Cleaning service membereskan seluruh peralatan perak jamuan makan dari aula. Seyla lebih banyak merenung.

“Kamu ini kenapa, sih?” Judith menegur. “Aku tahu! Pasti masih terbayang memikirkan Pangeran van Veldhuizen, kan?”

Dia terkekeh hingga Seyla merasa pipinya panas.

“Salah seratus persen,” Seyla menggeleng. “Aku malah lagi memikirkan Putri Constance.”

“Ada apa dengan Putri?” Barbara mengunyah sebutir anggur yang diambilnya segenggam dari pinggan.

“Apa kalian enggak berpikir ...,” Seyla menahan napas, “apa kalian enggak merasa aneh? Dia masih ... masih begitu muda. Malah, aku berpikir kalau Putri Constance ....”

“Kekanak-kanakan?” tukas Judith.

Seyla mengamati dua raut wajah di depannya, khawatir jika kata-katanya salah terucap. Namun, Judith hanya tidak acuh, sementara Barbara menaikkan alis.

“Parlemen punya pertimbangan sendiri,” Barbara menjelaskan. “Tidak ada putra mahkota dan putri kerajaan yang boleh menikah tanpa persetujuan Tweede Kamer. Mungkin, itu diharapkan agar dua negara bisa saling erat bekerja sama. Putri Constance, kan, berasal dari Belgia.”

“Apa kalian tidak berpikir itu ... keterlaluan?” Seyla ingin tahu.

“Keterlaluan gimana?” Judith mengernyitkan alis.

“Ya,” Seyla menelan ludah, menggeleng-gelengkan kepala, “Pangeran harus mengorbankan seluruh hidupnya untuk orang yang tidak dicintai.”

Lihat selengkapnya