Usai sarapan, Aisha melangkah lemah ke ruang tamu yang baru dibersihkan Bu Lastri. Sambil mengikat rambut panjangnya ke belakang, gadis berwajah bulat itu mulai menapakkan kaki ke atas karpet tebal dengan motif geometris tradisional.
Sepasang mata besar berwarna cokelat gelap itu menyapukan pandangan ke sekeliling, mengeja kembali segala kenangan yang tertinggal di setiap dinding bercat krem lembut, warna pilihan Umi.
Pandangan sang gadis berkulit sawo matang itu beralih ke salah satu sudut ruangan. Di sana, terdapat pilihan Abi berupa sofa empuk berwarna cokelat muda, ditemani oleh dua kursi tunggal yang menghadap ke sebuah meja kopi kayu dengan ukiran halus. Sedangkan bantal-bantal kecil bermotif bunga-bunga mungil merupakan pilihannya untuk memberikan aksen warna, menambah suasana lembut dan nyaman. Ya, ruang itu merupakan buah kerjasama mereka bertiga dalam memuliakan tamu.
Kedua alis Aisha yang tebal, rapi, dan melengkung alami itu terangkat ringan saat mematri pandangannya ke atas meja. Dia pun duduk menghadap meja, memandangi lima tangkai bunga lili putih segar dalam vas keramik berleher ramping dan perut membulat, glasir biru muda menghiasi permukaan halusnya yang memantulkan kilauan ringan.
Hari itu hari Ahad. Hari permulaan di setiap pekan yang biasa ditandai Umi dengan mengganti lili dalam vas itu dengan yang segar. Rutinitas yang berikutnya dilanjutkan Bu Lastri, tanpa berani mengubahnya dengan jenis bunga lain.
Perlahan, Aisha menghirup wangi bunga-bunga itu. Aroma yang manis tetapi kuat, sangat sesuai dengan kepribadian Umi. Benarkah aku juga mewarisinya?
Aisha menengadah memandang ke seberang sofa, di mana rak buku kayu yang tinggi berada. Di dalamnya, berjajar rapi berbagai buku kegemaran mereka bertiga. Mulai dari novel, buku agama, hingga buku-buku sejarah dan sains.
Di sisi lain ruangan, ada kabinet kayu yang serasi dengan meja kopi, tempat menyimpan aneka kue dan peralatan makan bagi tamu. Bibir penuh Aisha tersenyum tipis mengingat kebiasaannya bersama Umi membuat kue-kue itu. Kini, Abi lebih memilih membelinya dari toko.
Di atas kabinet itu, beberapa foto keluarga tersusun rapi, termasuk foto Aisha bersama ibunya yang tersenyum hangat. Aisha berpaling untuk menghalau rasa rindu yang makin meraja.
Dia memilih mengangkat tubuhnya yang agak padat berisi itu mendekati jendela besar yang membiarkan cahaya matahari masuk, menyinari ruangan dengan kilauan alami dan menampilkan pemandangan kebun kecil di luar yang dipenuhi bunga serta tanaman hijau.
Aisha menyibak tirai berwarna krem dengan motif bunga sederhana yang menggantung menutupi sebagian di jendela, membiarkan lebih banyak cahaya pagi menerangi wajahnya yang tenggelam dalam kegelisahan.
Di tepi kebun di mana sinar matahari baru mulai menyentuh dedaunan, Aisha melihat sosok makhluk gaib yang hampir transparan, berkilauan seperti mutiara di bawah cahaya mentari.
Sosok itu tinggi dan langsing, dengan siluet yang elegan dan gerakan yang lembut seperti tarian. Terlihat seperti seorang wanita, makhluk itu memiliki rambut panjang yang mengalir seperti air, bergerak seirama dengan angin pagi yang sejuk.