Semburat merah di langit semakin menipis tersebar oleh kabut. Aisha duduk di jok samping sopir, menunggu ayahnya yang sedang berkeliling mencari bantuan. Matanya terus memandang cemas ke luar jendela.
Sejurus kemudian, tampak sosok Pak Irfan berjalan mendekat dengan gusar. Beliau masuk mobil dan duduk di bagian kursi pengendara untuk menghalau hawa dingin yang menggigit. Pak Irfan memijat kepala dengan gelisah.
“Sepertinya, kita tersesat, Nak,” ucap Beliau. “Abi lupa ini tadi belok ke mana. Kita kaya di antah berantah, deh. Enggak ada bengkel, bahkan orang yang lewat.”
Aisha menghela napas sambil menepuk-nepuk pundak ayahnya. Setelah agak tenang, Pak Irfan mencoba menghidupkan mesin mobil. Keduanya terdiam, mendengarkan suara mesin yang gagal menyala.
Pak Irfan melirik jam di ponsel. “Sudah lewat Magrib. Pesantren tidak berkenan menerima tamu malam-malam. Kamu bantu dorong mobil, ya? Kalau beruntung, kita bisa ketemu musala buat bermalam. Kalau enggak, terpaksa, tidur di mobil. Enggak apa-apa, ya?” tanya Beliau memastikan.
Aisha mengangguk dan keluar mobil diikuti Pak Irfan. Mereka mulai mendorong sambil memandang awas ke sekitar, mencari tanda-tanda kehidupan. Mobil bergerak perlahan. Sesekali mereka melintasi rumah yang terlantar. Seperti kota hantu, pikir Aisha.
Setelah beberapa saat dalam kegelapan, Pak Irfan menunjuk ke kejauhan. “Itu ada yang lampunya menyala. Ke sana dulu, ya. Mungkin kita bisa bertanya atau minta bantuan,” usul Beliau.
Mereka berhenti tepat di depan bangunan lama, berdiri sendirian di tepi jalan sepi, tersembunyi oleh kabut tebal yang melingkupi area sekeliling. Cahaya hangat dari lampu-lampu tamannya yang redup ibarat jawaban atas harapan.
Bangunan itu memancarkan aura yang seolah-olah terhenti oleh waktu. Beberapa genting tanah liat yang tersusun di atapnya terlihat retak dan hilang. Dinding yang tampaknya pernah dicat dengan warna putih itu telah menjadi kelabu dan mengelupas, menampakkan batu usang di dalamnya yang dihiasi lumut di sela-sela. Warna jendela-jendela kayunya pudar dengan kaca berdebu. Di sekeliling bangunan, tanaman merambat dan semak-semak yang tak terawat tumbuh liar.
Pak Irfan dan Aisha saling pandang, merasakan getaran aneh di udara.
Mereka tetap diam dan menatap penginapan. Aisha merasakan dingin menyusup ke tulang-tulang. Karena tak punya pilihan lain, mereka pun turun dari mobil dan menapaki jalur yang tersusun dari batu-batu besar, membawa dari jalan utama menuju pintu depan penginapan. Di kedua sisi, lampu-lampu taman yang sudah berkarat dan sebagian tidak berfungsi menciptakan bayangan yang menari-nari.
Seekor burung gagak terbang melintas, membuat mereka terkejut luar biasa. Gagak itu duduk di dahan pohon dekat pintu rumah, menatap mereka. Pak Irfan tersenyum canggung. “Sepertinya, itu bayangan hitam yang sedari tadi kita lihat,” ucap beliau sambil menunjuk ke burung untuk menghibur diri dan putrinya.