Matahari terbenam, Langit yang luas di atas pesantren berubah warna, dari biru cerah menjadi palet oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah alam sendiri sedang melukis kanvasnya yang tak berujung dengan warna-warna spektakuler. Bayangan panjang mulai terbentuk, menari di antara pohon-pohon dan bangunan.
Setelah salat Magrib, udara menjadi lebih sejuk, dan langit perlahan berubah menjadi biru tua hingga akhirnya hitam, diterangi oleh bintang-bintang yang mulai berkelipan. Lampu-lampu di pesantren mulai dinyalakan, memberikan cahaya yang lembut dan hangat, mengundang para santri untuk kembali ke asrama mereka.
Beberapa santri memilih berjalan-jalan di kebun pesantren atau duduk di tepi kolam kecil yang ada di tengah-tengah kompleks. Sedangkan Aisha, diam-diam memisahkan diri dan berjalan ke kantor guru sambil masih memeluk Alquran.
Saat dia memutar kenop pintu dan mendorong pintu hingga terbuka, pemandangan khas menyambut Aisha: tiga sofa yang disusun setengah lingkaran dan meja panjang dengan banyak kursi mengelilinginya. Tidak ada yang tampak luar biasa; mirip kantor guru standar mana pun.
Kayanya, normal aja. Apa memang cuma rumor? pikir Aisha.
Tiba-tiba, terdengar suara dari atas – langkah kaki di langit-langit dan goresan logam. Bulu kuduk di punggung Aisha merinding, mendorongnya meninggalkan kantor, hingga bertabrakan dengan seseorang.
“Aisha, kenapa kamu di sini?” Ustazah Asma’ berdiri di hadapan Aisha, matanya menyipit penuh curiga.
Aisha tertawa gugup, kehilangan kata-kata. "Aku, um ... aku cuma ..."
“Kamu bisa baca kalau ini area terlarang untuk santri, kan?” tanya Ustazah Asma’ tegas sambil menunjuk papan larangan di pintu yang segera dijawab Aisha dengan anggukan. “Pergi dan bersihkan lapangan!”
Aisha membungkuk cepat sebagai tanda terima kasih, mengucap salam, mengambil sapu, dan menuju ke lapangan. Galak banget! gerutu Aisha dalam hati sambil menyapu.
Alika, teman akrab Dinda, lewat dan menghampirinya. “He!, Aisha! Jam segini, kok nyapu lapangan, sih?” sapanya heran.
Aisha menghela napas dan berbalik menghadap Alika. "Aku ketahuan menyelinap ke ruang guru," jawab Aisha sambil mendesah.
Ekspresi Alika berubah dari penasaran menjadi prihatin. "Kamu penasaran sama rumor yang diceritain Dinda, ya?" tegur Alika lembut.
Aisha mengangguk pelan, mendorong Alika melanjutkan. "Jangan terlalu dianggap serius cerita Dinda itu. Dia memang terkenal suka mengarang dongeng-dongeng tentang pesantren ini," cetusnya.