Aisha membuka mata, menatap sekeliling dengan pandangan yang lebih jernih. Para santri yang tengah lekat-lekat menatapnya dan Alika tampak lega dengan ketegangan yang masih tersisa.
Ustazah Lina memerintahkan semuanya kembali ke asrama lebih awal. Aisha, dengan tubuh yang masih agak lemah, berjalan ke kamar dipapah Dinda. Kejadian sebelumnya terulang kembali di kepala.
Kenapa dia merasuki kami? Apa dia mau menakutiku? Atau, ada alasan lain? Aisha bertanya-tanya.
Dia bisa merasakan aura roh di kamarnya, rasa dingin kembali menusuk sekujur tubuh. Meski selama ini sudah terbiasa, melihat wajah mereka yang mengerikan dan terdistorsi masih menggelisahkan hati Aisha.
***
Alunan suara Aisha memukau setiap peserta ekskul nasyid yang hadir sore ini, termasuk Ustazah Ira sang pembimbing. Vibrasinya terdengar begitu halus dan merdu, mengalir seperti air yang tenang, mengisi ruangan dengan kedamaian dan kehangatan.
Ada kejernihan dalam tiap nada yang Aisha pelajari secara otodidak dari kaset-kaset nasyid lama koleksi ayahnya, seolah-olah setiap kata dan melodi yang keluar tidak hanya didengar telinga, tetapi juga dirasakan oleh hati.
Ketika menyanyikan bait-bait tentang cinta dan kerinduan kepada Sang Pencipta, terasa kegetiran yang tulus. Saat beralih ke bagian yang lebih riang, suaranya berubah menjadi ceria dan penuh semangat. Terdapat pula ketegasan dan kekuatan ketika menyenandungkan lagu yang mengajak pada kebaikan dan perjuangan.
Aisha menutup sesi dengan nasyid “Ya Nabi Salam Alaika”. Lantunan yang awalnya sangat lembut dan intim, kemudian secara bertahap meningkatkan kekuatan suara pada puncak bait atau lagu, menciptakan efek dramatis yang memikat hati.
Ustazah Asma’ yang terkenal tegas itu pun sempat tertegun sejenak menikmati hingga selesai, sebelum kemudian teringat akan tujuannya mendatangi kelas nasyid. “Aisha, ada tamu untukmu," ujar beliau.
Aisha terkejut. Dia bertanya-tanya, siapa yang ingin menemuinya saat masih dua hari belajar di pesantren. Apa lagi, kata Ustazah Asma’, itu bukan ayahnya. Dengan rasa penasaran dan sedikit kegugupan, gadis itu berdiri dan segera merapikan penampilan sebelum berjalan mengikuti langkah ustazah menuju ruang tamu pesantren.
Bukan hanya Aisha, beberapa santri pun diam-diam mengikuti, ingin tahu siapa yang berkunjung. Saat mereka mendekati salah satu gazebo tamu, Aisha dapat melihat sosok tubuh tegap tinggi sedang bersila di sana.
Aisha kaget saat wajah lelaki itu terangkat dan tersenyum sekilas padanya. Kehebohan ekspresi para santriwati di belakang Aisha membuat lelaki itu malu dan kembali menunduk. Aisha menoleh ke Ustazah Asma’, memastikan persetujuannya. Perempuan itu hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Matanya terus awas mengikuti gerak-gerik Aisha yang menghampiri gazebo.
Aisha mengucap salam dan duduk bersimpuh di hadapan tamunya. “Haikal, ada apa?” tanyanya, tak mampu membendung keheranan yang terus berkelebat di benak.
Haikal menyodorkan sebuah kotak besar transparan berbentuk permata. Mata Aisha berbinar melihat warna-warni bungkus cokelat di dalamnya. "Ini oleh-oleh dari Mama dan Papa. Mereka habis dari Mesir. Katanya, kamu pasti kangen sama ini," kata Haikal.
Aisha tersenyum lebar. "Masyaallah, Jazakumullahu khairan. Kok, enggak kasih langsung ke sini aja? Aku kan, juga kangen sama Om Hasan dan Tante Nida," ungkapnya.