Langit Pesantren At Tamam telah dibanjiri keheningan yang biasa menemani para santriwati ke alam mimpi. Namun, kedamaian di kamar Aisha segera tergantikan oleh denging suara mikrofon dari kejauhan. Berikutnya, terdengar suara musik dangdut yang meriah, mengalun dari sebuah panggung di tanah lapang desa.
Suasana mendadak riuh. Beberapa santriwati, yang tadinya sudah bersiap untuk tidur, bergegas mendekati jendela besar di kamar. Tanpa menunggu persetujuan, mereka satu per satu mulai memanjat ranjang Aisha, berebut tempat dengannya yang sudah terbaring.
Dengan mata berbinar penuh antusias, Alika membuka jendela lebar-lebar, mengizinkan semakin banyak paparan suara yang masuk mengisi kamar. Semua bersorak-sorai, termasuk Dinda. Melihat Aisha melotot kesal padanya, Dinda yang berdiri di lantai hanya bisa menatap penuh sesal tanpa tampak benar-benar menyesal.
Terjebak dalam keramaian tak terduga, Aisha tak mampu menahan sungut. "He! Hati-hati, dong! Aku mau tidur, nih," keluhnya sambil mencoba menyelamatkan selimut dan bantal dari injakan langkah yang mondar-mandir penuh semangat.
Tak ada santriwati yang peduli. Mereka malah bernyanyi mengikuti lagu cinta yang sedang berkumandang, sambil sesekali berjoget dengan gerakan jenaka diiringi tawa. seolah ingin melupakan sejenak rutinitas dan disiplin pesantren.
“Ayolah join, Sha! Kamu kan, jago nyanyi,” bujuk Alika sambil menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama.
“Iya. Apa lagi, liriknya sesuai suasana hati kamu yang lagi kasmaran sama Haikal, kan?” goda Dinda kemudian sambil mengerling.
“Eh! Aisha enggak mau, kok. Haikal buat aku aja!” tukas Alika segera yang sontak mengundang cibiran penuh canda dari yang lain.
Aisha menggeleng-geleng. Sebenarnya, dia ingin marah. Namun, melihat mereka begitu bahagia dan ceria dalam gelak, gerak, dan senandung, Aisha jadi tak tega. Dia hanya melirik ke arah pintu, seolah-olah mengharap bantuan dari luar.
Kok, musyrifah enggak patroli, ya? Biar bisa segera tertib dan bobo nyaman, gitu, keluh Aisha dalam hati.
Pikiran itu sejenak mengalihkan kejengkelan Aisha menjadi rasa bingung dan penasaran. Dia pun mengenakan kerudung instan dan ke luar kamar, berjalan menyusuri koridor asrama yang sepi sembari melepas sesak yang sedari tadi ditahannya.
Di ujung koridor, Aisha bertemu Ustazah Asma’ yang terlihat gelisah dan terburu-buru. Melihat ada santri berkeliaran, bukannya marah, beliau justru segera menghampiri dengan air muka penuh harap.
"Aisha, kamu lihat Ustazah Ira?” tanya ustazah bertubuh tinggi besar itu dengan nada khawatir. “Beliau keluar pesantren usai melatih nasyid tadi, mengambil beberapa buku di toko buku kota. Tapi, sampai sekarang belum kembali. Ponselnya juga enggak bisa dihubungi."