Tapak-tapak kaki Aisha mundur gemetaran. Dia berusaha mengalihkan pandangan dari pemandangan aneh itu. Namun, ke mana pun gadis itu menoleh, Wajah Anwir terus muncul mendekatinya sambil berbisik. “Ayo, kita main ….”
Bisikan yang serupa dengungan itu semakin meningkat menjadi deru angin kencang di dalam ruangan. Didera keputusasaan dan ketakutan, Aisha merasakan sentuhan dingin di bahu. Belum sempat dia berpikir, wajah Anwir yang menyeramkan itu kembali muncul tepat di depan hidungnya. Taring-taring mengkilat penuh liur yang dipamerkan segera mengarah ke pipi Aisha.
Kengerian yang memuncak memicu insting dasar Aisha untuk bertahan hidup. Dengan napas tersengal-sengal dan jantung berdebar hebat, Aisha berlari ke arah yang diyakininya sebagai pintu.
Begitu tubuhnya menabrak bentangan kayu tebal, Aisha meraba hingga menemukan gagang pintu dan mengayun-ayunnya agar terbuka. Tak ada hasil. Aisha mencari bagian paling lapuk dari daun pintu itu dan menghantamnya sekuat tenaga dengan tubuh hingga rusak dan memberinya celah yang cukup untuk dilewati. Aisha pun segera berlari menjauh sekencang-kencangnya.
Sesampainya di koridor yang terang-benderang, Aisha berhenti, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keping-keping pikiran yang berantakan. Benaknya dipenuhi dengan lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya. Pengalaman menakutkan itu tidak memberinya jawaban, hanya petunjuk bahwa ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap tersembunyi dalam kisah Anwir.
Kembali ke kamar, Aisha mendapati para santri sedang asyik membahas rencana besok. Tangannya masih gemetar. Lampu senter di genggaman terasa seperti benda asing. Perlahan, Aisha menyimpan benda itu ke dalam lemarinya dan beringsut menuju cermin.
Terlihat wajahnya pucat, dengan keringat dingin yang menetes lambat di dahi dan leher. Kerudungnya berantakan, menyembulkan beberapa helai rambut di bagian poni. Matanya lebar dan tampak lelah, dengan lingkaran hitam di bawahnya yang menunjukkan ketegangan emosional. Pandangannya kosong sejenak, seolah-olah masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
Memandangi tubuhnya di pantulan cermin, Aisha buru-buru menyingkirkan beberapa serpihan kayu yang masih menempel di sekujur pakaian hingga sandal. Aisha menghela napas lelah, lalu melepas kerudung dan jubah, seperti sedang menyandarkan beban untuk sementar.
“Kamu mau liburan ke mana, Aisha?” tanya Alika antusias tanpa memperhatikan kegelisahan Aisha sedari tadi.
“Liburan?” tanya Aisha bingung.
“Iya. Besok kan, tanggal merah. Abis kajian akbar, kita diizinkan berlibur sehari sampai sore,” terang Dinda yang datang mendekat. “Pas pelajaran terakhir tadi kan, diumumin?”
“Oh? Aku lagi ngantuk kali, ya?” dalih Aisha.
Alika dan Dinda tersenyum geli.
“Kita udah janjian sama Ustazah Zakia. Beliau akan nyetirin mobil buat jalan-jalan bareng di kota. Kamu ikut?” ajak Dinda.
“Hem, boleh, deh,” jawab Aisha.
“Okay! Abis kajian, kita langsung cabut!” sambung Alika bersemangat.
“Eh, abis kajian, ya?” potong Aisha ragu. “Kayanya, aku enggak bisa. Udah ada janji, ding.”