Sosok Anwir yang tertera di halaman itu mendefinisikan ulang kata 'menyeramkan' dalam benak Aisha, Haikal, dan siapa pun yang berani melihatnya. Tinggi besar dan menakutkan, Anwir berdiri dengan aura gelap, memancarkan ketakutan murni.
Kulitnya tampak kasar dan gelap, seolah terbakar oleh api kebencian yang tidak pernah padam. Ribuan matanya di sekujur tubuhnya menyala dengan cahaya merah yang dingin, menunjukkan kekosongan yang mengerikan. Yang terbesar tetaplah yang berada di bagian depan wajahnya. Kuku tangan Anwir, panjang, berkilau, dan teramat runcing, mencerminkan kebrutalan tanpa belas kasihan.
Yang paling menakutkan Aisha dari sosok ini adalah taring-taringnya yang mengkilat, panjang dan tajam, seperti pisau-pisau yang siap untuk merobek daging. Taring-taring tersebut penuh dengan liur yang menetes, memberikan gambaran haus akan kekacauan dan kehancuran. Anwar menggambar sepasang benda yang pernah hendak merobek pipi Aisha itu sama persis dengan apa yang diingatnya.
Hari ini, aku bertemu dengan sosok yang ... luar biasa. Aneh. Meski penampilannya menyeramkan, aku bukannya takut, tetapi justru penasaran. Toh, kita enggak seharusnya cepat menghakimi dan mengucilkan seseorang hanya karena dia berbeda dengan kita, kan? Apa lagi, sampai dirundung sepertiku.
Namanya Anwir, mirip dengan namaku. Yang membuatku sangat tertarik, dia menawari untuk mengajarkanku sesuatu yang enggak pernah kuduga dan kuimpikan selama ini: sebuah lagu.
Lagu ini, menurut Anwir, bukan sembarang lagu. Katanya, melodi tersebut memiliki kekuatan luar biasa, bisa membuka pintu ke pengetahuan yang tak terbayangkan. Katanya, itu adalah lagu pengantar tidur mayat, lagu yang mengantarkan manusia menuju kedamaian abadi.
Enggak tahu kenapa, aku percaya sama dia. Mungkin karena caranya berbicara. Walau suaranya membuat seluruh permukaan kulitku merinding, tetapi mengandung kepastian untuk mewujudkan apa yang dijanjikan.
Begitu aku bersedia, Anwir melatihku menguasai melodi ini tanpa alat musik. Lagu itu ... memikat. Ada sesuatu yang menghipnotis dalam nada-nadanya. Setiap not seperti memanggil, menarik lebih dalam. Saat aku mempelajarinya, aku merasa sedang menyentuh sesuatu yang kuno dan sangat agung, yang ibu pun belum tentu memilikinya. Kata Anwir, musik adalah sumber energinya.
Aku bahagia sekali. Hari ini, aku memiliki teman. Meskipun sangat keren, tetapi dia tetap mau menerima dan membantuku meraih keinginan.
"Anwar sangat mengidolakan ibunya. Sejak kecil, dia selalu ingin bisa pandai bernyanyi seperti Ira,” urai Bu Nur, suaranya bergetar tetapi penuh kebanggaan. “Namun, sepertinya itu bukan bakatnya. Ira berkali-kali menguatkan rasa percaya diri Anwar bahwa keahliannya adalah menggambar, dan itu tidak buruk. Tapi, Anwir hadir menawarkan sesuatu yang lebih indah di mata Anwar."
Bu Nur menghentikan ceritanya sejenak, menarik napas panjang, berjuang menahan rasa sakit di dada yang kembali muncul. Aisha dan Haikal saling pandang, tak tahu harus berkata apa. Mereka hanya bisa terus mendengarkan penuh simpati.