Udara di dalam losmen terasa lebih berat. Buru-buru Aisha menutup semua jendela di ruangan itu. Dia kemudian menoleh ke Haikal dengan ekspresi tegang. Tampak pemuda tersebut gelisah beberapa kali menyentuh layar ponsel dan menempelkan ke telinga.
"Duh! Sinyal ilang lagi. Gimana cara minta jemput Pak Jamil, coba?” tanya Haikal sambil menunjukkan ponsel.
Bu Nur menawarkan pesawat telepon di meja resepsionis. Sayang, nada panjang yang terdengar menunjukkan alat itu sedang tidak berfungsi.
"Ada yang enggak beres, Haikal. Kayanya, ada yang sengaja mengisolasi kita di sini," ujar Aisha, suaranya penuh kekhawatiran.
“Serius?” tanya Haikal dengan bisikan cemas. “Kamu melihat mereka?”
Aisha mengangguk.
Haikal terkesiap. “Kita harus bersiap sebisanya. Baca Ayat Kursi dan tiga surat terakhir Alquran, Nek!” ujarnya sambil menoleh ke Bu Nur.
Perempuan renta itu mengangguk. Sambil komat-kamit, beliau masuk kamar.
Aisha, dengan pikiran yang berputar cepat, mencoba mencari solusi. "Kata Anwir, musik adalah sumber energinya,” rapal gadis itu.
“Ya, itu yang disebutkan dalam buku harian. Mungkin, untuk meyakinkan Anwar atas kemampuannya bernyany-,” sahut Haikal dengan nada heran mendengar Aisha membicarakan hal acak di situasi genting.
“Bukan. Itu rahasianya. Itu kenapa Anwir bisa bertahan di pesantren yang penuh orang salih," potong Aisha. Dia menceritakan dengan cepat kebiasaan para santriwati di kamarnya saat ada pertunjukan musik di desa sebelah.
Haikal melongo sesaat, kemudian mengangguk paham. "Barusan juga Bu Nur sempat berdendang, kan? Apa menurutmu …?" tanya Haikal.
Aisha mengerjap-ngerjapkan mata. “Sepertinya, bukan cuma karena lagunya. Tapi, ratapan dalam hati itu yang membuat kita lemah. Itu yang terjadi pada Ustazah Ira, kan? Juga, mungkin itu yang dirasakan teman-teman saat mengusir sepi dengan mendengarkan lagu,” tuturnya sambil terus berpikir.
Haikal mengangguk-angguk setuju. “Okay. Mungkin, amalan kita belum sebanyak Ustazah Ira. Tapi, mental kita enggak boleh goyah. Kita harus tangguh menghadapi Anwir!” cetusnya.