Lagu Pengantar Tidur Mayat

Hideyo Sakura
Chapter #16

Dikuasai Cinta

"Aku ... aku baik-baik saja," kata Bu Nur lemah dengan napas terengah-engah, berusaha bangkit di hadapan Haikal yang bersimpuh di dekatnya dengan roman wajah penuh kecemasan. "Jangan ... jangan khawatirkan aku. Lindungi ... Aisha."

Tubuh Aisha bergetar. Kedua telapak tangannya menggenggam kuat-kuat. Dia sungguh tidak ingin menyerah pada rasa keputusasaan yang mulai merayapi benak. "Cukup, Anwir! Kamu tidak akan menang!" teriaknya dengan suara penuh kekuatan yang membuat dirinya sendiri terkejut.

Namun, sudah terlambat. Dengan senyum yang lemah, Bu Nur menatap Haikal dan Aisha yang wajahnya masih terlihat dari balik bahu sang pemuda. "Kalian harus ... melanjutkan. Jangan biarkan ... kegelapan menang," ucap beliau sebelum kemudian sepasang bola mata itu terus bergerak ke atas dan berhenti tepat di puncak. 

Tawa Anwir memecah menjadi suara-suara lain yang tidak bisa dipahami, seakan-akan koor kekejaman yang beriringan dengan ilusi pandangan berkunang-kunang. Dinding-dinding losmen tampak kabur dan bergerak mendekat, langit-langit semakin turun, menciptakan rasa terjebak dan tak berdaya.

“Haikal! Ayo, pergi!” seru Aisha. Dia bergeser ke ruangan yang lebih dalam sambil berpegangan pada bagian yang dipercaya masih merupakan dinding yang nyata.

“Stop, Sha! Kita keluar aja! Di dalam bikin kita makin terjebak!” pekik Haikal panik.

Aisha berbalik dan melihat Haikal melotot. Namun, dari arah belakang sepupunya itu, terdengar derap langkah yang menabrak lantai dan memekakkan telinga, membawa gema dari dunia lain, melaju kencang ke arah sang gadis.

Anwir meregangkan lengan panjangnya tempat di mana kuku-kuku tajam itu menggantung, mencoba meraih Aisha sambil menggeram. Tubuh kelam sosok bengis itu membentang menghalangi cahaya matahari yang menerobos melalui kaca jendela. 

Insting terdalam Aisha untuk bertahan hidup pun terpicu. Dia berlari sekuat tenaga menyusuri koridor dalam yang sempit dan gelap. Cahaya lampu yang berkedip-kedip menciptakan bayangan menakutkan yang menari di dinding, menambah suasana mencekam saat Aisha nyaris terkena cakaran Anwir. Semburan angin busuk dari lubang hidung Anwir yang kesal pun menyerbu, meninggalkan rasa dingin yang menusuk tulang.

"Kamu tidak bisa lari dariku, anak piatu!" dengkus Anwir menggelegar dan sangat mengancam. Udara seakan tergoncang oleh hawa kebencian dan kemarahan.

Aisha terus berlari dengan air mata yang mengucur deras mendengar sebutan Anwir untuknya. Napas yang semakin tersengal-sengal membuat Aisha menoleh sejenak ke belakang, mengukur posisi dari makhluk dengan ribuan mata yang menyala-nyala penuh nafsu untuk menghancurkan. 

Itu adalah detik yang menentukan—Aisha tahu dia harus membuat keputusan segera. Dengan adrenalin yang mengalir deras dalam darah, Aisha menggunakan instingnya untuk mengejar cahaya yang datang dari kamar terdekat yang pintunya terbuka. 

Lihat selengkapnya