Aisha merasa ketakutan dan hampir putus asa. Namun, sebuah suara berat dan dalam yang sangat familiar terdengar di telinga. “Umi dulu gagah berani menanggung beratnya penyakit kanker sendirian, Sha. Dia tidak pernah mau menyusahkan kita. Dia terus berjuang hingga takdir berkata. Abi yakin, kamu pun punya kekuatan itu. Kamu akan selalu berusaha hingga Allah menghendaki hal lain."
Aisha menoleh ke arah suara itu. Dia melihat sosok tegap mengusir bayang-bayang yang ditebarkan Anwir. Air mata kelegaan mengalir di pipi gadis itu. Dia merasakan energi dan tekad mengalir kembali ke dalam diri. Dengan khusyuk, Aisha membaca Ayat Kursi.
Aisha mulai merasakan dirinya tenggelam dalam kabut yang tebal dan lembut. Napasnya menjadi ringan dan tidak teratur. Gadis itu dapat merasakan setiap denyut nadi di tubuh. Sensasi pertama yang menyapanya adalah rasa nyeri yang tumpul di seluruh tubuh, seolah-olah setiap inci kulit dan ototnya menceritakan kembali pertempuran fisik yang baru saja dilaluinya menghadapi Anwir.
Sambil meringis pelan, perlahan kabut di pikiran Aisha menghilang, digantikan suara mesin yang teratur dan bisikan lembut dari figur pelindung yang terakhir dilihatnya tadi. Dia menyadari betapa lemah tubuhnya yang sedang berbaring, sulit diajak bergerak.
Aisha mencoba membuka mata, proses yang terasa membutuhkan lebih banyak kekuatan daripada yang pernah dia bayangkan. Ketika kedua kelopak mata Aisha akhirnya berhasil terangkat, cahaya redup ruang ICU menyambut, membuatnya harus mengerjap beberapa kali sebelum bisa beradaptasi.
Tampaklah di sisi tempat tidur, wajah yang sangat akrab penuh kelegaan—ayahnya. Mata pria itu berkaca-kaca dan segera menjatuhkan diri tersungkur sujud syukur menghadap kiblat.
Setelah beberapa detik bermesraan dengan Sang Khalik, beliau kembali bangkit sambil terus tersenyum memandang putrinya. Sesaat, senyum itu pudar melihat Aisha kembali mendesis menahan perih di perut.
Meski agak mengganggu, kembali merasakan indera perabanya bekerja membuat Aisha bersyukur dan hanya menggeleng untuk meredakan kecemasan sang ayah. Kedua telapak tangan kekar itu menangkup telapak tangan kanan Aisha dalam kehangatan. Dengan lembut, Pak Irfan menciumnya sebagai bentuk dukungan.
"Selamat datang, Pejuang," ucap beliau bangga.
“Terima kasih sudah mengingatkanku pada ketangguhan Umi, Bi,” sahut Aisha dengan suara lemah.
Ayahnya terkejut, tak percaya. “Kamu mendengarnya?” tanya Beliau.
Aisha memejamkan mata sejenak sebagai isyarat jawaban. Tiba-tiba, pandangannya berubah sedikit panik. “Haikal … Di mana dia?” tanyanya penasaran.