Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #1

Prelude

“Musik adalah cara semesta berkata-kata”

Personel EZRA

Mozart

Mozart begitu ia bisa dipanggil. Saat menyapa, teman-teman memanggilnya “Zart”, mengambil ujung suku kata namanya. Sapaan yang kalau di lidah kang Jajat penjaga kantin sekolah, yang asli Tasik, terdengar jadi “Jat”, seperti memanggil namanya sendiri. Nama lengkapnya Ryan Mozart Pratama. Ryan dibaca Rian bukan Rayen. Nama pemberian ayahnya yang pengusaha real estate sukses. Nama yang lahir secara ironis, secara ayahnya itu bukan penggemar musik apalagi penggemar musisi klasik sekelas Mozart. Lebih dari bukan penggemar, ayah Mozart boleh dibilang termasuk salah satu jenis mahluk langka. Ia sejenis mahluk pembenci musik.

Nama Mozart punya sejarahnya sendiri. Saat Mozart mau brojol ke dunia musik ini, ayahnya cuma punya dua kata untuk nama anaknya, Ryan Pratama. Istrinya alias ibundanya Mozart, sesaat sebelum proses persalinan ngambek berat dan minta suaminya mencari nama tengah untuk calon anak mereka. Dengan kalut ditengah suasana panik, sang suami berusaha mencari nama tengah untuk anaknya. Kebetulan dia sekilas melihat iklan di TV LED rumah sakit, iklan speaker bass. Iklan yang dibintangi orkestrasi ala Mozart. Nama itulah yang kemudian dia comot tanpa tahu siapa sebenarnya Mozart. Peristiwa asal comot yang di kemudian hari akan disesali dan dikutukinya seumur hidup.

Secara ganteng Mozart sebangun dengan Jon Bon Jovi, Alex The Calling, Andi Deris Helloween, David Gilmour Pik Floyd, atau Kurt Cobain. Sedang kejeniusan bermusiknya selevel dengan Jhon Lennon, Chris Martin, Ahmad Dani (Selamat datang kembali di dunia musik bro!), Kurt Cobain, bahkan mungkin selevel dengan Wolfgang Amadeus Mozart. Tingkat kebengalannya mungkin bisa disandingkan dengan Billie Joe Armstrongnya Green Day, almarhum Kang Harry Roesli (salam baktos Kang!), bahkan Freddy Mercury. Tapi secara akademis dia sepintar Brian May, Dexter Hollandnya The Offspring bahkan sepintar Kang Ombat Nasutionnya ‘Tengkorak’ (Fully Respect Kang Ombat!).

Gitar adalah pacar setianya. Ia lebih memilih nengteng gitar dibanding nengteng tas ke sekolah. Hal yang membuat Pak Adeng, guru sejarah yang baik hati pernah menghukumnya. Menghukumnya dengan hukuman teraneh di dunia. Hukumannya adalah Mozart disuruh bernyanyi dengan iringan gitar selama jam pelajaran sejarah. Hukuman yang benar-benar dinikmati Mozart. Hukuman yang juga dinikmati anak-anak kelas 12 IPA 3 yang ngerjain tugas sambil diiringi petikan gitar dan alunan vokal beratnya Mozart yang jadi ciri khasnya. Tak hanya mereka, diam-diam Pak Adeng yang sebenarnya penggemar rahasia Mozart ikut menikmati setiap alunan lagu Mozart. Dan Pak Adenglah yang paling menyesal saat bel tanda jam pelajaran sejarah usai berbunyi.

Mozat, si anak terbuang. Sejak kelas 10,5 SMA sudah tinggal di kostan sempit sebuah gang . Kaya Iwan Fals, ia sudah nyari duit sendiri dari ngamen di kafe atau komplek perumahan. Ia memilih hengkang dari rumahnya karena ayah dan ibunya tak suka Mozart bermusik. Mereka adalah orang tua yang keras. Saat kelas 10,5 SMA, mereka memberi Mozart pilihan, sekolah atau bermusik. Bila memilih sekolah, maka mereka akan membiayainya sampai kapanpun. Tapi bila memilih bermusik, maka Mozart dipersilahkan pergi dari rumah itu dan menentukan masa depannya sendiri. Dan Mozart memilih opsi kedua Ia pergi dari rumah itu dan mungkin tak kan pernah kembali.

Selain ngamen di kafe, Mozart juga bikin grup band beraliran alternatif pop rock bernama ‘Amadeus’ bersama sahabat sejatinya Donny. Untuk menjaga eksistensi Amadeus, mereka berdua seperti kepompong, ngegantung di kantong tebalnya Vika, sang basis, anak juragan pabrik mie instant kelas nasional. Bahkan untuk keperluan mie instan bulanan, semuanya ditanggung Vika dengan suka cita dan cerah ceria.

Mozart, yang sekarang anak SMA kelas 12 IPA 3, Juara 1 sejak kelas 10 tiap semesternya. Juara 1 juga untuk peringkat bolos tertinggi. Juara 1 untuk peringkat paling sering berantem. Untuk masalah berantem, dalam dunia persilatan anak SMA, Mozart dikenal sebagai spesialis head to head yang sangat anti tawuran.

Untuk urusan bikin lagu, tak kurang dari 123 lagu yang sudah dia ciptakan. Tapi cuma 23 yang dia suka. Lagu-lagu yang kemudian dia bawakan bersama ‘Amadeus’ ke panggung-panggung pensi atau festival musik. Jangan salah, meskipun selevel pensi, ‘Amadeus’ sudah punya fanbase bernama ‘Amadeusly’ . Tak hanya itu mereka juga punya penggemar fanatik die hart yang memiliki nama cukup serem, ‘Amadeus or Die’ . Fans die hart inilah yang selalu memanaskan suasana perseteruan antara Amadeus dengan Wisteria. Band besutan Debu Antariksa, pengusung modern jazz rock yang juga punya penggemar garis keras yang tak kalah serem bernama ‘Weaponsteria’. Anak-anak SMA se-Bandung sudah tak asing lagi dengan perseteruan dua fans garis keras Amadeus dengan Wisteria, dua band beda sekolah ini. Hampir di setiap panggung pertunjukan, perseteruan dua fans berat itu ikut manggung. Bahkan tak jarang berujung perkelahian.

Mozart, sosok solitare ini cenderung benci keramaian. Lebih seneng dekem di kamar dibanding dugem, meski ia adalah penyanyi kafe. Lebih seneng ngitungin suara toke dari pada ke karaoke. Lebih seneng ngeliatin kambing dari pada klubing. Lebih seneng basah-basahan dengan hujan rintik dari pada ke diskotik.

Genre musiknya unik, perpaduan antara rock, alternatif, pop dan balada. Lirik-liriknya tajam dan ekspresif. Pola melodinya kaya dengan variasi. Dia penyuka musik delapan puluhan model-model LCLR dulu. Dia juga penyuka orkestra. Tak heran dalam beberapa lagu yang dirasakannya cocok, ia memasukan warna-warna orkestasi yang kental. Kalo di denger-denger secara lebih seksama musiknya seperti perpaduan Progressive rocknya King Crimson dengan rock alternativenya Coldplay. Seperti pikirannya yang suka jlimet, tingkat kesulitan aransemen versi Mozart hampir sama dengan kerumitan musiknya Dream Theater.

Debu

Debu, nama lengkapnya antik, Debu Antariksa. Sayang tak ada catatan sejarah yang dapat ditelusuri mengenai asal-usul ayahnya memberi nama antik itu, yang jelas ayahnya bukan karyawan LAPAN atau karyawan Observatorium Boscha. Ayahnya adalah seorang seniman calung ternama Purwakarta. Ia menghidupi keluarganya dari calung dan sesekali ngemsi (MC) kawinan. Sementara ibunya Debu adalah seorang pegawai administrasi keuangan sebuah pabrik sepatu lokal.

Ga kalah ganteng sama Mozart, cowok berkulit putih nan cool ini dijuluki cewek-cewek si Ice Bear. Meski cool, dia udah punya cewek, Sania namanya, ratu angkatan di SMAnya Mozart, musuh bebuyutan Debu, tapi sudah putus. Penyebabnya sampai sekarang masih misterius. Gosip diluaran bilang kalo mereka putus karena sudah tidak ada kecocokan satu sama lain. Mungkin karena Debu seneng banget mie kocok, sedangkan Sania, baru denger nama mie kocok aja udah muntah-muntah. Entahlah, yang pasti, mereka putus setelah sama-sama dengerin lagunya Kansas ‘Dust in The Wind”.

Sebenarnya dia adalah tipe cowok yang humble tapi seringkali ledakan egonya tak tertahankan. Ia cenderung dominan dan ambisius. Jiwa kepemimpinannya mirip Jenderal Mac Arthur atau Musholini. Terkadang saat arogansinya memuncak ia jadi mirip Kaisar Nero atau bahkan Firaun. Kepalanya keras sekeras hati dan kemauannya. Kalo sudah ada maunya, maka apapun caranya bakal ia jabanin.

Keyboard dan piano adalah instrumen kesayangannya. Tangannya udah nyatu sama otaknya. Jadi kalo main piano atau keyboard udah ga pake ngeliat tuts. Debu pertama kali mengenal dan akhirnya jatuh cinta pada piano setelah mendengar lagu “Piano”nya sang raja dangdut H. Rhoma Irama.

Lihat selengkapnya