Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #2

EZRA Dalam Lipatan Waktu

“Sejarah adalah kenyataan tak tertulis, bila tertulis, maka ia tak lebih dari sekedar resep nasi goreng”

 

Ezra terbentuk dengan cara unik. Ezra lahir di sebuah Lapas. Mereka berlima Mozart, Debu, Ryu, Davina dan Donny ditangkap, dibawa dan dikurung oleh polisi di sel yang sama. Mereka ditangkap karena diduga terlibat perkelahian masal antara fans Amedeus dengan fans fanatiknya Wisteria. Sebenarnya Mozart tidak terlibat, dia sangat anti dengan tawuran. Sebenarnya Mozart tak lebih dari korban tendangan mae gerinya Davina yang menganggap siapapun yang berada dipihak Amadeus adalah lawannya. Sebuah tendangan yang akan jadi bagian sejarah mereka berdua yang tak kan pernah terlupakan.

Kejadiannya berawal saat sabtu siang menjelang sore di sebuah GOR yang sering digunakan untuk pertunjukan musik anak-anak Bandung. Awalnya pertunjukan berjalan adem-adem saja. Band-band pengisi awal acara mendapat sambutan biasa-biasa saja dari penonton. Suasana mulai berubah ketika giliran Amadeus akan segera naik panggung. Teriakan-teriakan para fans fanatik Amadeus memanaskan suasana. Teriakan dibalas teriakan. Cacian dibalas cacian. Makian dibalas makian. Hinaan dibalas hinaan. “Amadeus....Amadeus...Amadeus...!!” Teriakan koor para penggila Amedeus. Sementara musuh bebuyutan mereka tak mau tinggal diam. Mereka melempar cemoohan yang nyaris berubah jadi baku hantam masal bila tidak dipagari oleh para petugas kepolisian dan relawan dari ormas pemuda.

Dengarlah cacian mereka setiap kata Amadeus bergema, “Anjing...Anjing...Anjing...!!” Bisa dibayangkan bagaimana panasnya suasana waktu itu. Udah kaya perang Iran Irak. Tapi untung, mereka masih menyimpan sedikit kewarasan. Tak ada satupun yang membawa sajam, batu atau ketapel.

Baru teriakan fansnya aja udah bikin Weaponsteria panas, apalagi saat Amadeus benar-benar tampil, lemparan botol dan gelas bekas air mineral beterbangan ke arah panggung. Lemparan yang kemudian di balas oleh fans fanatik Amaedus dengan lemparan yang sama. Donny yang biasanya mampu menahan diri, hari itu lagi ketiban sial. Dia kepancing emosi. Dia membalas lemparan para Weaponsteria. Hal yang membuat Debu dan teman-teman Wisteria yang lagi nunggu di backstage ikut-ikutan naek ke atas panggung. Perkelahian antar personel kedua band tak terhindarkan. Si Mozart kena tendang Mae Gerinya Davina, cewek pemegang sabuk hitam karate yang jutek itu. Tendangan yang membuat Mozart muntah-muntah dan susah bangun lagi. Debu dan Ryu ngeroyok si Donny. Personel yang lain memilih menyingkir dan turun dari panggung.

Dan begitulah, lima orang personel band itu akhirnya dibawa ke polsek. Dan ini bukan yang pertama kali. Ini sudah yang ketiga kali. Tapi memang baru kali ini mereka berlima ditempatkan dalam satu sel yang sama. Entah apa maksud bapak-bapak polisi itu. Semalam mereka dikurung di sel Polsek, besoknya mereka di kirim ke Lapas , biar kapok kali?. Temen-temen mereka yang lain udah dibebaskan karena dianggap tidak terlalu terlibat dalam perkelahian masal itu, hanya mereka berlima yang tetap ditahan karena dianggap pemicu kerusuhan.

Malem-malem dikurung dalam sel yang sama dengan musuh bebuyutan, bisa dibayangkan gimana situasinya. Kaku, mencekam dan menegangkan. Mozart dan Donny duduk di pojokan kanan, sementara Ryu, Davina dan Debu duduk selonjoran di pojok kiri. Sesekali sudut mata bertemu dan disaat itulah bara kembali menyala di ujung mata masing-masing. Dua tiga kali sudut mata bertemu tak menimbulkan kegaduhan, sampai akhirnya di pertemuan sudut mata ke empat kalinya emosi kedua pihak tak terbendung. Diawali Mozart yang berdiri dan bergerak menuju Debu. Hal yang dibalas kemudian oleh Debu dan Davina. Si Ryu sih anyep-anyep aja. Dia percayakan sepenuhnya soal baku hantam pada Davina.

“Ape lo...masih penasaran ama gue?” teriak Mozart menantang.

“Eh...ape luh...gue ga pernah takut sama elu!” balas Debu tak kalah sengit. Sementara Davina segera berdiri diantara mereka.

“Lu lagi yah...cewek minggir deh...gue ga ada urusan ame lo...gue cuma punya urusan sama dia tuh...si nyolot itu tuh...” teriak Mozart sambil tangannya nunjuk-nunjuk Debu.

“Eh...jangan salah lu yah...kalo lu ada urusan sama dia berarti lu punya urusan ame gue. Ngarti loh?” tandas Davina.

“Aduh maaf nyonya gue males urusan sama cewek, minggir deh!”

“Hah...gue juga males urusan sama cowok brengsek kaya loh!” balas Davina tak kalah sengit.

“Heh...lu pengecut...looser! Jangan ngumpet di punggung cewek luh, sini maju!” bentak Mozart mengarah pada Debu.

“Ok...siapa takut...Vin...minggir Vin...biar ini jadi urusan laki-laki!” ujar Debu.

Mendengar itu, Davina minggir tiga langkah ke kanan grak! Dan berhadapanlah dua musisi jenius, bukan untuk jaming tapi untuk tanding. Buat pukul-pukulan. Buat nunjukin siapa yang paling hebat. Ryu lagi-lagi anyep-anyep aja di pojokan kaya si Donny. Ryu sebenernya udah bosen dan jenuh dengan permusuhan itu. Ryu ga ngeliat ada manfaatnya. Ngapain bermusik kalo pake musuh-musuhan, gelut, pukul-pukulan? Bukankah musik itu seni? Bukankah seni itu mengasah jiwa kemanusiaan kita biar lebih halus dan berbudi? Begitu kurang lebih gumam Ryu dalam hati. Ryu juga bingung kalo ditanya apa penyebab permusuhan antar dua band itu dan kapan permusuhan itu dimulai.

Belum lagi adu jotos terjadi, satu bentakan dari sipir penjara mampu menghentikan keduanya. Tiga sipir berbadan kekar itu masuk dan menarik Debu dan Mozart keluar. Keduanya dibawa ke suatu ruangan tertutup. Ryu, Davina dan Donny udah ngebayangin apa yang akan terjadi di dalam ruangan tertutup itu. Ryu ngebayangin pasti mereka dipukulin, disunut pake puntung rokok, atau disetrum pake setruman buat ngurek (alat buat nyari belut di sawah). Ryu ga bisa bayangin betapa nanti babak belurnya mereka berdua.

*****

Dalam Ruangan Tertutup

“Hah kolabs Pak?” seru Debu dan Mozart bersamaan.

“Iya kolabs...kolaborasi. Masa anak band ga tau istilah kolabs, cupu kalian!” Renyah kata-kata Hermawan Sonjaya, Kalapas yang jadul tapi gaul.

“Maksud bapak, kami berlima berkolaborasi gitu Pak?” Tanya Debu mencoba meyakinkan apa yang baru saja didengarnya.

“Iya kalian berlima kolaborasi, bikin grup sementara aja, terus kalian tampil menghibur warga binaan, gitu loh. Gampang toh?” Pak Hermawan mencoba meyakinkan keduanya.

“Waduh...apa kata dunia Pak?” seru Mozart.

“Emang dunia ngomong apa sama kamu Zart?”

“Eh...nggak Pak, maksud saya ehm...gimana ngomongnya yah?” Mozart bermaksud memulai protesnya. Sementara Debu terdiam. Pikirannya kalut memikirkan apa yang akan terjadi bila mereka yang notabene musuh bebuyutan itu benar-benar berkolaborasi. Apa kata fans fanatik mereka.

“Gimana ngomongnya? lah mana saya tau, kamu yang mau ngomong kok saya yang harus mikir, apa kata dunia?” Pak Hermawan membalas candaan Mozart.

“Oh gini Pak, maksud saya, kami kan...ehm...punya band sendiri-sendiri. Saya punya Amadeus sedangkan si Debu punya Wisteria. Kami ga bisa mutusin sendiri Pak, istilahnya kita perlu koordinasi dengan teman-teman di grup band kami masing-masing.” Terang Mozart sok ilmiah.

“Halah pake koordinasi sgala. Lagak kamu tuh dah kaya presiden, pake koordinasi..koordinasi.”

“Iya tapi kan emang penting Pak.”

“Ya tinggal ngomong, tinggal telpon kan gampang, emang kalian ga punya pulsa hah?”

“Pulsa sih ada Pak tapi kan ga enak, kalo ga ketemu langsung tuh gimanaaaa gitu Pak.”

“Halah mbulet...susah susah...yo wis saya teruskan tuntutan pidananya ya?” ancam Pak Hermawan.

“Oh jangan...jangan Pak...ok nanti kita koordinasikan,” seru Mozart.

“Halah lagakmu itu Zart...Zart, kaya ketua parpol pake koordinasi sgala. Udah ah saya capek, sekarang tinggal jawab ya atau tidak , mau apa nggak? Gitu aja repot banget sih kalian ini.”

“Tapi Pak masih ada persoalan yang lebih besar lagi Pak.” Sela Debu yang sedari tadi diam.

“Halah...ini lagi, persoalan apa yang lebih besar dari masalahmu hah?”

“Anu Pak...eh anu...” jawab Debu terbata.

“Anu...anu...anumu kenapa?”

“Eh anu saya ga apa apa Pak, maksud saya fans Pak...fans...ini masalah besar Pak.”

“Maksud kamu?”

“Gini Pak, mereka kan selama ini bermusuhan...mereka itu fanatik banget Pak...lah nanti kalau kita kolabs ga kebayang marahnya mereka Pak...bahaya ini Pak!” beber Debu berapi-api berharap simpati dari pak Hermawan.

“Ya...itu deritamu bukan deritaku,” timpal pak Hermawan enteng.

“Waduh kami bisa dianggap penghianat ini Pak,” sela Mozart.

“Hadeuh kalian ini yah...anak SMA...ngaku cinta musik tapi ga ngerti filosofi musik parah...parah!”

“Hah...maksud bapak?” tanya Mozart penasaran.

Pak Hermawan menarik nafas sebentar, kemudian bangkit dari kursinya. Perlahan ia berjalan mondar-mandir di sekitar Mozart dan Debu. Kelakuannya mirip inspektur Vijay dalam film Zanjeer. Sambil menatap Mozart dalam-dalam dia bergumam dengan keras.

“Hmm...keberatan...ya...keberatan.” Seperti ngomong sendiri. Mozart yang ditatap tentu rikuh. Ia pun bertanya, “Maksudnya keberatan apa Pak?”

“Nama...nama...nama kamu keberatan. Mozart itu terlalu berat buat kamu.”

“Maksud bapak?”

“Begini anak-anak. Musik itu menanamkan dalam jiwa manusia perasaan dan budi yang halus atau orang menyebutnya etika. Karena musik, jiwa manusia akan mengenal harmoni dan irama atau ritme, keduanya adalah landasan yang baik untuk menghidupkan rasa. Jadi musik itu dihadirkan Tuhan ke muka bumi untuk menciptakan kedamaian bukan permusuhan. Bila musik tidak mampu menciptakan kedamaian maka ada yang salah dengan si musisinya bukan musiknya itu sendiri.” Engah Pak Hermawan menutup sementara pidatonya.

“Anjay...!!” Mozart berseru mendengar pidato epik itu.

“Hah...apa kamu bilang?” tanya pak Hermawan.

“Oh...nggak...ngak Pak maaf tiba-tiba sekelebatan saya inget si Lutfi.”

“Kalo saya lagi ngomong itu didengerin jangan ngelamun. Udah pidatonya gratis pake ditambahin ngelamun , hadeuh...Quo Vadis generasi Z?”

“Anjay...!!, kali ini Debu yang berseru.

“Hadeuh ini lagi...kenapa? kamu inget si Lutfi juga? Suka...? kamu suka sama dia?”

“Ih amit-amit nggak lah Pak,” jawab Debu sambil bergidik.

“Kalian ini ngaku musisi tapi ga bisa menjadikan musik sebagai media pemersatu, media pendamai, malah menjadikan musik buat kubu-kubuan, buat musuh-musuhan. Jangan ngaku jadi musisi deh...malu!” hentak Pak Hermawan.

  Debu dan Mozart terdiam. Mozart bergumam dalam hatinya. “Hmm...benar juga omongan si inspektur Vijay nih...gue emang ga pantes disebut musisi. Gua belum bisa jadiin musik sebagaimana mestinya. Musik buat gue cuma buat unjuk ego.”

“Ya udah saya kasih waktu sampai besok, kalau besok kalian mutusin bersedia tampil maka persoalan pidananya akan saya batalkan, tapi kalau kalian tidak bersedia...siap-siap aja ketemu di pengadilan...dan siap-siap saja masuk bui. Ok...see you tomorrow!”

“Anjay...!!” seru Mozart dan Debu bersamaan.

*****

Hampir satu setengah jam mereka berdua berada di ruangan itu. Hingga akhirnya mereka keluar dan kembali dimasukan ke dalam sel. Aneh! wajah mereka nggak babak belur , biasa-biasa aja. Malah mata mereka kaya abis nangis. Tampang mereka waktu itu, kaya Nobita pas ga bisa ngerjain PR, kasian tapi nyebelin.

Lihat selengkapnya