“Panggil saja “pus”, “kur...” atau “guk” orang yang bilang nama itu ga penting”
Siang yang gahang. Matahari tampil egois. Awan dan mega menyingkir ke tepian langit tanpa protes atau sekedar menggerutu. Tak ada dahan yang tak menjerit merasakan kulitnya dibakar arogansi matahari. Tanah berubah jadi timah panas. Anak-anak manusia mengumpulkan angin untuk meredakan gerah. Sementara angin lebih memilih berteduh di bawah rindang flamboyan yang gembira ditemani sejuk.
Tiga hari, itu sisa hari menuju konser amal mereka di lapas. Latihan tinggal pematangan. Mereka semakin kompak, sinergi telah terjalin, chemistri telah didapat. Mereka telah benar-benar siap, hingga ponsel Mozart berbunyi, Inspektur Vijay rupanya.
“Hallo Assalamu’alaikum pak Vijay...eh maaf pak Hermawan.”
“Wa’alaikum salam, siapa itu Vijay?”
“Oh...itu temen saya barusan nelepon jadi kesebut-sebut deh, maaf ada apa ya Pak?”
“Lho kok ada apa, gimana kalian udah siap?”
“Oh...udah...udah Pak kami tinggal mematangkan saja.”
“Bener nih udah siap?”
“Ashiaap Pak...siap.”
“Bagus kalo begitu, saya mau perintahkan anak buah saya untuk bikin panggung dan sewa sound systemnya, eh...ngomong-ngomong apa nama grup band kalian? Saya kan harus bikin spanduk dan poster. Jadi apa namanya?”
“Hah...nama?”
“Iya nama...masa kalian ga punya nama? Terus saya mesti nulis apa dong di spanduk,? masa saya tulis ‘Soneta’, 'Slank' atau ‘Kla Project’ kan ga mungkin.”
“Oh iya...iya Pak.”
“Lho kok iya-iya terus, nama band kamu apa?”
“Waduh...belum punya tuh Pak.”
“Hah belum punya? Please jangan ngaco deh, masa udah mau konser ga punya nama?” Vijay, si Jadul tapi gaul mulai menunjukan taringnya.
“Iya maaf Pak lupa.”
“Hadeuh payah...payah...kalo gini. Udah gini aja...saya tunggu sampe sore ya, kalau belum ada namanya juga, konser batal, kalian balik ke penjara.”
“Ja...jangan Pak, saya janji nanti sore udah ada namanya Pak.”
“Ya udah...saya tunggu ya.”
“Ya Pak baik Pak.”
Mozart berteriak kencang, “Temen-temen kita belum punya nama!!!”
Semua terperanjat, bagaimana ini bisa terjadi?. Mereka latihan hampir dua minggu dan berhasil. Mereka sudah siap tampil, tapi nama? Mereka lupa memberi nama pada band mereka sendiri.
“Padahal apalah arti sebuah nama, ga penting!” celoteh Donny protes.
“Eh...ngaco lo, sapa bilang nama ga penting?” tanya Ryu.
“What is in a name? begitu kata mas Shakespeare kan?” jelas Donny.
“Makanya kalo ngutip tu yang lengkap biar kita ngerti, bener apa nggak yang kita kutip !” sergah Mozart.
“Emang gimana lengkapnya gitu?”
“What is in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet, gitu bapak Donny!”
“Emang bedanya apa, versi biasa dengan versi lengkapnya?” tanya Donny mlongo.
“Mas Shakespeare ngomong gitu karna dia cuma pake hidung ga pake mata ama telinga” jelas Mozart.
“Tunggu...tunggu ane makin kagak ngarti ini?”
“Dia ngomong nama itu ga penting cuma karena bunga ros sama-sama wangi dengan bunga lain. Coba dia pake mata, pasti dia protes kalo mawar kita sebut sedap malam atau babadotan” beber Mozart.
“Udah ah ga mudeng gue.” Kilah Donny.
“Tunggu...tunggu...tunggu...gue pernah baca kalo nama itu takdir,” ujar Debu.
“Hah...masa iya sih?” tanya Davina.
“Iya bener, lo coba baca deh tulisan-tulisannya Ananta Wajendra. Kata dia dalam setiap nama terkandung nasib si pemiliknya. Kalo dalam nama seseorang ada makna kematian tak wajar, maka ia akan mati tak wajar.”
“Ah...aneh ah...udah ah...serem,” kilah Donny.
“Ya serem, tapi keren juga kalo buat orang yang dalam namanya terkandung makna yang keren.”
“Misal?” tanya Mozart.
“Adam Levine, Lee Min Ho, Ariel, Syahrini dan masih banyak yang lain.”
“Ih...beneran tu Bu?”
“Iya, bahkan setiap nama itu punya ukuran kekuatannya, namanya ‘Power Name’.”
“Mantap pa Debu!” puji Mozart.
Mozart bertindak cepat. Dia minta dalam satu jam, masing-masing personil mengajukan lima nama. Nama itu akan dibawa ke sidang pleno dan hari itu juga harus ditetapkan nama band mereka.
Maka dalam satu jam para personil asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri. Mozart mengambil posisi di teras halaman depan studio. Donny di bawah pohon nangka. Debu di teras belakang. Davina di dalam studio. Dan Ryu di warung indomie kang Amung seberang studio.
Satu jam kemudian masing-masing mengumpulkan tugasnya. Setiap usulan nama dibacakan dan langsung dikomentari dan diambil keputusan diterima atau ditolak. Dan inilah daftar nama-nama Band versi mereka
Mozart: Vincula, Strange Union. Heartbeats, The Vibe, The Prisoner
Melihat list yang disodorkan sudah dapat ditebak, perdebatan panaspun kembali terjadi. Entah karena nama-nama itu terlalu bagus atau terlalu jelek. Tidak main-main, perdebatan itu berlangsung penuh peluh hampir tiga jam lamanya.
Dari nama-nama yang disodorkan Mozart, tak satupun nama yang diterima. Personel yang lain menganggap nama-nama yang diajukan Mozart terlalu kebarat-baratan. Kurang Indonesia. Kurang membumi.
“Vincula...serem ah...kesannya kaya Dracula!” ujar Davina.
“The Prisoner juga serem, emang sih kita lahir di penjara tapi ga prisoner juga kali,” kilah Debu.
Debu : Celda , qelize . Huceyra, zelula , Saibo
Ini juga sama. Personel lain menganggap nama-nama itu terlalu sok latin.
“Duh...apaan tuh Zelula, kedengerannya kaya zelulit! Nggak ah!”
“Saibo juga kedengerannya kaya tai kebo, jangan ah!”
Donny : Tecenda, Epiphany, Kalposia, Serendipity, Madeira
Nama-nama dari Donny dianggap terlalu berat dan beberapa keselipet-selipet di lidah kalo diucapin.
“Ketinggian Don...nyadar woy...ngaca!” seru Mozart protes.
Davina : Gumusservi, Hiraeth, Ephemeral, Iridescent, Fika
Nama-nama dari Davina dinilai terlalu feminin, kurang macho. Ga sejalan dengan musik mereka yang dinamis.
“Terlalu menunjukan siapa yang ngusulin namanya," tegas Mozart.
“Maksud lo?” keluh Davina siap-siap marah.
“Namanya cantik-cantik kaya orangnya,” ledek Mozart. Ledekan yang mampu memerah delimakan pipi Davina yang pura-pura ngambek.
Ryu : Karpet Merah, Kantin Sekolah, Jalan Setapak, Elegi Sendal Jepit, Pemanasan Global.
Nama-nama dari Ryu ditolak dengan alasan terlalu aneh. Terlalu unik.
“Kantin Sekolah? emang lo mo beli bala-bala?” canda Donny.
“Karpet Merah? Ga sekalian karpet mushola?” ledek Mozart.
Pesan WA dari inspektur Vijay masuk menagih janji. Maka kepanikanpun melanda studio milik Ryu. Hingga pada satu titik, Mozart berteriak, “Kalo begini terus, kapan kelarnya, kita butuh penolong, kita butuh EZRA!” Sebuah keajaiban, kata terakhir yang keluar dari mulut Mozart itu merasuk ke hati para personel lainnya.
“Nah itu bagus, EZRA!” pekik Davina.
“Iya tuh, keren EZRA,” dukung Donny.
“Ok tuh...kece tuh...EZRA,” ujar Ryu bersemangat.
“Hmm...bagus juga sih...ok lah...EZRA...hmm...asyik tuh,” gumam Debu.
Dan begitulah nama itu terlahir dari keputus-asaan seorang Mozart. EZRA yang dalam bahasa Ibrani berarti penolong dianggap nama yang cukup tepat untuk nama band sementara mereka. Nama itulah yang kemudian menghiasi poster dan spanduk konser pertama mereka, memang bukan di GBK atau Sabuga tapi di Lapas.
*****
EZRA Untuk Pertama dan Terakhir
Nama EZRA untuk pertama dan terakhir. Nama yang hanya mereka gunakan saat kolaborasi untuk memenuhi tuntutan inspektur Vijay. Setelah konser amal di Lapas kelar, mereka berlima sepakat untuk bubar. Suatu hal yang disesali inspektur Vijay. Menurut mereka penampilan EZRA adalah penampilan spektakuler. Begitupun para narapidana, mereka mengaku puas pada penampilan anak-anak remaja brilian itu.
Tapi begitulah sisa-sisa ego mendorong mereka untuk melayukan bunga yang baru saja mekar. Bubar jalan, semua kembali ke kesibukan masing-masing. Berjalan sendiri-sendiri. Mozart ngamen lagi bareng Donny. Ryu, sekolah dan maen forex. Davina sekolah dan melatih karate anak-anak SD. Sementara Debu, asyik dengan bikin lagu buat sendiri. Diciptakan sendiri, dinyanyiin sendiri, direkam sendiri, didengerin sendiri, diketawain sendiri, dibuang sendiri.
Hingga suatu hari kelimanya heboh. WA mereka dipenuhi chat. Activity Feed IG mereka kecuali Mozart karena dia males maen IG, dipenuhi komentar. Di WAG mereka masing-masing beragam chat masuk, mulai dari yang marah, murka, memuji setinggi langit, salut, bahkan ada yang mengancam. Tapi yang paling heboh memang di IG.
Rupanya konser EZRA waktu di Lapas direkam oleh vendor yang di hire pak Vijay. Video konser itu lantas diupload di youtube tanpa izin anak-anak EZRA. Dan hebohlah dunia permusikan kota kembang.
Komen terpilih untuk masuk di novel ini adalah:
“Wadidaw ada band baru rupanya, baru tapi jadul, dasar looser penghianat keparat!”