Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #5

Diplomasi Singkong Rebus

“Kita semua adalah murid-murid kehidupan, yang membedakan hanyalah jam pelajarannya”

Senja tak pernah sama. Tampil beda di setiap kemunculannya. Hari ini ia memakai oranye abu-abu sebagai bawahan. Sementara untuk atasannya ia menggunakan putih semburat kuning. Tapi yang paling beda dari penampilan senja hari ini adalah topi. Ia menggunakan topi dari awan yang didesign angin. Sungguh salah satu penampilan tercantik dari senja selama ini.

Senja itu Debu mendatangi Mozart. Berupaya sekuat tenaga mengajaknya meneruskan kiprah EZRA. Tapi sepertinya mandeg. Mozart geming. Ia tak tertarik sama sekali dengan ide melanjutkan EZRA.

“Ya udah kalian lanjutin Ezra minus gue aja.” Elak Mozart ketika setengah dipaksa Debu yang mewakili teman-temannya untuk melanjutkan Ezra.

“Ya ga bisa gitulah Zart, lo itu nafasnya Ezra.”

“Halah lebay lo Bu.”

“Nggak...gue ga lebay. Lo inget kan kita semua milih lo jadi leader kita, dan liat apa yang terjadi? Ezra yang awalnya kehilangan arah, setelah lo jadi leader, Ezra berjalan dengan baik, Ezra menemukan arahnya Zart,” Debu berapi-api.

“Kalopun gue dianggap berhasil mimpin kalian, itu karena kalian yang hebat, bukan gue.”

“Zart, orang yang bisa mimpin orang-orang hebat, maka dia pasti lebih dari sekedar hebat.”

“Widih, bahasa lo Bu...dah kaya Guevara”

“Gue serius Zart.”

“ Hidup jangan serius-serius amat lah Bu, tralala trilili lah!”

“Zart, coba lu baca komen orang-orang, mereka sangat menyukai EZRA.”

“Iye...mereka suka EZRA bukan Mozart,” ngeyel Mozart.

“Ya ga gitulah, mereka suka EZRA karena ada lo didalemnya.”

“Hah...dari mana lo tau itu?”

“Ya logikalah...logika bung!”

“Logika? Lo gila kali...he...he...he...”

“Ih lo tuh yah susah amet serius.”

“Oh ok...ok...sorry...sorry...”

“Zart, EZRA disukai karena lagu-lagu lo.”

“Lo tau darimana Bu, dah riset?”

“Nalar...otak...otak lo kebanyakan rebahan sih.”

“Ha...ha...otak gua emang kaya anak pantai, santai.”

“Santai bukan berarti ga bisa serius kan?”

“Ya udahlah pokoknya gue kagak minat titik!”

Hening sejenak. Debu mencoba mencari jurus-jurus lain. Jurus-jurus yang dititipkan Davina, Ryu dan Donny ternyata tak mampu menembus tembok pertahanan Mozart yang bagai baja, kuat tak tergoyahkan.

“Hmm...jangan-jangan lo masih takut dibilang traitor ya?”

“Hah...itu lagi, gue bodo amat kalo soal itu.”

“Terus kenapa dong lo ga mau gabung?”

“Ya males aja, gue pengen sendiri. Gue masih trauma sama Amadeus.”

Wajah Debu mencerah. Akhirnya ia tahu apa alasan Mozart menolak bergabung.

“Oh...jadi lo trauma?”

“Ya...semacam itulah.”

“Gue baru nyaho orang kaya lo bisa trauma juga.”

“Ya bisalah, trauma itu manusiawi.”

“Iya manusiawi ...buat manusia yang takut.”

“Takut gimana maksud lo?”

“Takut akan masa depan gara-gara masa lalu, itu kan cemen bung!”

“Waduh...tajem juga bacot lo yah!” Emosi Mozart mulai meninggi.

“Eit...sorry...sorry...no offence, maksud gue kenapa lo mesti takut masa depan cuma gara-gara masa lalu lo yang belum tentu sama dengan apa yang akan lo hadapi di masa depan.”.

“Widih...Mr. Plato makin on fire nih.”

“Zart, sorry...bukan gue sotoy, tapi menurut gue hidup itu pasti menjatuhkan kita, tapi hidup juga memberi kita pilihan, mau bangkit atau mati terpuruk.”

“Gue ga pilih dua-duanya. Gue cuma pilih mundur selangkah.”

“Kenapa harus mundur?”

“Saat badai mengganas, tak bijak kita tetap menembus, kita perlu mundur selangkah, menunggu badai di luar reda, agar badai di hati ikut surut.”

“Wadidaw, ternyata tuan Socrates rupanya, ga nyangka gue.”

“Emang tongkrongan gue ga ngedukung ya?”

“Kagaklah, tongkrongan lo kaya si Agizal!”

“Hah sapa tuh?”

“Orgil di perempatan Dipati Ukur.”

“Sompret lo!”

“Ok...jadi ceritanya lagi nenangin diri dulu nih?”

“Nggak juga ...gue tenang-tenang aja kok, gue cuma pengen sendiri .”

“Ok lah kita tunggu mas Socrates, sampai keluar dari persembunyiannya”

“Ye...ngapain lo tungguin, ga ada kerjaan apa?”

“Kita bakal setia menunggu Jaka Sembung turun gunung.”

“Kagak nyambung, Jaka Sembung lagi kembung kebanyakan makan ikan kembung jadi dia males turun gunung, dia males gabung,” tegas Mozart.

Begitulah keduanya sama-sama “keukeuh” yang satu keukeuh maksa harus gabung, yang satu keukeuh nolak. Akhirnya mereka memang seperti Jaka Sembung, kagak nyambung.

*****

Lihat selengkapnya