“Kebebasan tak cukup diperjuangkan dengan kata-kata, darah dan air mata,
tapi juga dengan sekeping cinta”
Latihan Pertama EZRA di Studio Ryu dengan formasi lengkap
Sabit sunggingkan senyum di malam terhening, saat terbaik bagi anak-anak kehidupan untuk bercermin di jernih sungai. Saat terbaik untuk bercumbu dengan sunyi. Tapi tidak dengan anak-anak EZRA , mereka meriuhi malam dengan musik mereka. Malam itu adalah malam pertama latihan mereka dengan formasi lengkap di studio milik Ryu.
Ya...itulah latihan pertama mereka pasca konser mereka di Lapas kemarin. Entah karena sudah sejak awal terbangun chemistry, anak-anak EZRA tidak mengalami banyak kesulitan saat latihan pertama mereka lakukan. Sebagai pemanasan , mereka menyanyikan lagu-lagu yang mereka bawakan di konser amal di Lapas. Dua belas lagu usai mereka mainkan. Kini mereka rehat. Donny dan Ryu cari makanan, entahlah makanan apa yang masih mereka incar di tengah malam Bandung yang dingin menggigit tulang itu.
Sementara, ditemani tiga cangkir kopi, Davina, Debu dan Mozart duduk-duduk cantik di teras depan studionya Ryu. Menikmati jalanan yang lengang. Ditemani serangga malam yang berkumpul di pohon tabebuya besar yang berdiri anggun di halaman depan rumah Ryu. Bunga-bunga oranye indah, beberapa sudah tergeletak di rerumputan. Sebagian besar masih bertengger di dahan pohon. Bulan di kejauhan terpana menatap bunga-bunga oranye itu menari ditiup angin. Di kejauhan gemintang tak henti berkedip genit minta perhatian.
“Zart, thanks ya akhirnya lo mau juga gabung sama kita,” ujar Debu.
“Idih, formal amat bos, santuy ae...”
“Iya tapi tanpa kamu, kemaren latihan kita kacau Zart,” Davina menimpali.
“Ah masa sih?”
“Iya bener...kacau kaya ga ada nyawanya.” Imbuh Davina yang kemudian disambut dengan canda Mozart yang memang seringkali keterlaluan.
“Wadidaw ternyata Jaka Sembung merindukan hamba.” Candaan yang membuat emosi Davina yang memang temperamental bangkit.
“Heh...apa maksud lo Jaka Sembung ? terus sapa yang rindu sama lo hah, jangan sok lo!”
“Wey...wey...wey...santai nona...santai... ga enak sama tetangga dikiranya kita sepasang kekasih yang lagi marahan. Simpan amarahmu nona dan keluarkan senyum manismu!” Godaan Mozart yang seketika mampu meredam amarah Davina. Davina menyadari temperamennya bermasalah. Ia pun duduk kembali. Debu yang sempat tegang, kembali tenang.
Davina membatin, “Gila nih orang, edan...tapi ...”
“Sorry...sorry...gue ga bakalan manggil lo Jaka Sembung lagi deh...kapok...he...he...”
“Lagian lu tahu darimana gue suka dipanggil Jaka Sembung?” tanya Davina keceplosan.
“Eh...Jaka Sembung ngaku!” Wajah Davina memerah. Dia ga pernah semalu itu.
Debu yang sedari tadi diam. Angkat bicara.
“Udahlah Zart jangan digodain terus!”
“Iye...iye...abis dia lucu kalo lagi marah.”
“Hadeuh...lo tu gilanya ga ilang-ilang.”
“Gue ketinggalan obat Bu, sorry....”
Percakapan terhenti sesaat, sebuah mobil pemadam kebarakaran lewat tanpa suara sirine. Berarti ga ada kebakaran, para anggota damkar itu mungkin lagi latihan.
“Zart, apa kita pake lagu-lagu tadi buat album pertama kita?” tanya Debu. Kali ini Davina diem, dia kapok rupanya menghadapi kegilaan Mozart.
“Jujur ya Bu, kalo gue sebenernya lebih seneng kalo kita bikin lagu baru.”
“Oh ya, kenapa Zart?”
“Biar fresh, biar orisinil emosinya. Kalo lagu yang tadi itu udah ga fresh.”
“Tapi kan lagu-lagu itu udah jelas disukai banyak orang.”
“Justru itu, ga asyik kalo gitu, ga ada tantangannya.” Diam-diam Davina setuju dan kagum dengan idealisme bermusiknya Mozart.
“Jadi kita bikin lagu baru nih?”
“Ya...atau kita pake stok lagu kita yang lain. Gue tau lo punya banyak lagu kan?”
“Iya...tapi kayanya yang kemaren kita maenin itu udah juaranya.”
“Ah...nggak juga, gue tahu lagu-lagu lo yang lain. Jangan lo pikir gue ga tau lagu-lagu lo. Ga percaya? buka aja laptop gue. Gue simpen di folder ‘Wisteria’”
“Hah...seriusan Zart?”
“Tiga rius...”
“Jadi lo pengagum rahasia kita dong?” todong Debu.
“Yoi...” Mozart memperlihatkan sikap gentlemennya. Dia mengakui kehebatan lagu-lagu musuh bebuyutannya. Diam-diam Davina makin kagum dengan sosok gila di hadapannya.
“Kalo gitu, gue juga mau buat pengakuan ah.” ujar Debu.
“Apaan?”
“Gue juga pengagum rahasia lo, di laptop gue ada folder bernama ‘Amadeus’”
“Ha...ha...ha...tos bung...tos...!”