“Mengatur dan diatur, dua kata yang sulit ada secara bersamaan di dada manusia.”
Tak ada manusia yang sempurna, yang sempurna itu cuma lagunya Andra & The Backbone. Kesempuranaan tak ada dalam diri manusia, paling banter manusia cuma punya ide tentang kesempurnaan. Tapi manusia tak henti mencari kesempurnaan meski mereka tahu tak akan pernah bisa mendapatkannya.
Guna menyempurnakan ikhtiar mereka dalam bermusik dan sesuai janji mereka pada mas Rendy dan didorong kebutuhan mereka akan tangan kreatif seorang manajer, merekapun sibuk berburu manajer. Hal yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Maklum masih abg, bermusik ya bermusik saja tanpa memikirkan hal-hal lain yang sebenarnya tidak kalah penting dari bermusik itu sendiri.
Mozart tidak mengajukan satu namapun, ia merasa tidak memiliki teman, saudara atau orang yang memenuhi kriteria seorang manajer band handal. Dia hanya sibuk mempersiapkan kriteria manajer band saja. Listnya panjang, kriteria yang akan sulit dipenuhi oleh manusia manapun di muka bumi. Ia tidak sedang serius. Dia sedang mencandai waktu dengan mimpi.
Inilah list kriteria manajer band handal versi Mozart:
“Anjay...!!!” itulah reaksi Davina, Ryu, Donny dan Debu saat membaca list kriteria manajer band yang handal versi Mozart.
“Gila lu Zart, mana ada manusia model begini,” protes Debu.
“Ada lah...lu cari aja pasti ketemu.”
“Kalo emang ada lo pernah nemu orang kaya gini?”
“Blom sih, tapi gue percaya semesta sedang menyembunyikannya”
“Hadeuh...pake bawa-bawa semesta.”
“Eh...gue serius Bu, kalo kita cari dengan sungguh-sungguh, semesta pasti mengeluarkannya dari persembunyiannya.”
Tak hanya Debu, Ryu pun protes.
“Zart yang nomer tiga tuh, emang ada orang yang ga mata duitan?”
“Ya ada lah...masa ga ada. Manusia di dunia itu menurut Worldometers ada 7,85 milyar jiwa. Masa ga ada satupun yang ga mata duitan?”
“Iye banyak tapi masa kita mesti periksa satu-satu, ngaco lo ah!”
“Ya pake sampling dong ga usah semua diuji.”
“Hadeuh...Zart, Zart, emang apa cirinya orang mata duitan.”
“Gampang...kasih liat duit seratus ribuan, kalo bola matanya berubah ijo berarti mata duitan.”
“Kok bisa?” tanya Davina
“Bisa lah! secara duit seratus rebuan itu kan merah. Nah...orang yang mata duitan itu matanya bakalan ijo ...kalo orang normal matanya bakal merah.”
“Hidih...penjelasan yang teramat kekanak-kanakan, absurd, tak bermutu, tak berstandar sekaligus tak bermoral!” ejek Donny.
“Hidih...norak lo Zart...,” protes Debu dan Ryu.
Tak hanya Debu dan Ryu, Donny pun protes.
“Zart, yang nomer 18, jangan terlalu tua, apa maksud lo Zart?”
“Iya...lo cari yang mudaan dikit jangan ketuaan.”
“Emang kenapa kalo yang tuaan?”
“Kalo yang renta takutnya pikirannya masih feodal , kita ga maju-maju bung.”
“Ye...ga semua orang yang udah tua itu feodal kali. Justru yang tuaan itu lebih bijak.”
“Ga juga...si pak Jazuli makin tua ga makin bijak tapi makin jelek.”
“Heh... kualat lo, guru matematika itu bro.”
“Iya...guru matematika yang ga bijak-bijak kan?”
“Hah terserah lo deh, pokoknya menurut gue bakal susah kita nemuin manajer kaya gitu.”
Lain Debu, Ryu, Donny, lain pula Davina
“Yang pertama gue salut sama kriteria lo, lo ga masukin kriteria gender, itu gue salut.”
“Trus...?”
“Yang nomer delapan, yang menguasai dua bahasa. Kenapa bahasa gaul bukan bahasa Inggris. Itukan bahasa internasional?”
“Ye...ngapain jago bahasa inggris tapi ga gaul.”
“Ye...otak lo tuh yang kebalik-balik. Orang Indonesia yang belajar bahasa inggris berarti orang itu gaul.” Jelas Davina dengan nada tinggi.
“Belum tentu! Yang sudah jelas gaul itu yang ngerti bahasa pergaulan, yang bisa ngerasain pergaulan. Itu maksud gue.”
“Ah...seterah deh...suka-suka lo”
“Ok...”
“Terus yang nomer lima, humble jangan songong, hello...!!! ngaca bos...ngaca!”
“Maksud?”
“Nah lo sendiri songong ga ketulungan. Ini pake ngasih syarat manajer ga boleh sombong.”
“Iyalah...manajer ga boleh songong, anak band boleh songong.”
“Hadeuh...ngaco lo Zart.”
“Manajer ga boleh ngaco, anak band boleh ngaco.”