Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #8

Jaka Sembung

“Rahasia disembunyikan semesta, manusialah yang ramai bercerita”

 Bandung, Jumat sore yang hangat. Matahari masih enggan pergi ke balik punggung Tangkuban perahu. Angin yang hanya sepoy, sesekali mengusik bunga flamboyan untuk jatuh ke tanah. Sebagian merelakan dirinya jatuh, mengering dan kemudian terlupakan. Sebagian lain bertahan indah di dahan-dahan. Mereka belum bosan mempertontonkan kemolekan mereka pada dunia. Mereka belum mau terlupakan.

Mozart dan kawan-kawan dibawah arahan manajer baru mereka kang Anbin memutuskan untuk menginap di rumah Davina di Jakarta selama mereka mengerjakan proses rekaman. Itupun hanya sabtu dan minggu saja. Selebihnya mereka harus sekolah, secara mereka kelas 12, sebentar lagi ujian nasional, kecuali Donny yang sudah lama putus sekolah. Pihak label sebenarnya menawarkan penginapan tapi ditolak dengan “halus” oleh Mozart. Penolakan yang tak mampu ditolak oleh personel yang lain. Mereka menganggap Mozart sudah terlalu banyak mengalah, dan sekarang tidak ada salahnya memberi Mozart sedikit keleluasaan.

Terminal Leuwipanjang masih ramai. Meski menjelang petang beberapa calo penumpang bus antar kota masih sibuk berseliweran menawarkan jasa. Mozart, kang Anbin, Davina, Debu, Ryu dan Donny sudah lima menit duduk di jok barisan belakang. Sementara Ryu asyik dengan berbagai sajian khas bus antar kota yang dijajakan anak-anak terminal, Mozart asyik “nanggap” pengamen kakak beradik yang masih bocah.

Si adik, anak laki-laki berumur kurang lebih 11 tahun berperan jadi gitaris. Dengan gitar kopong yang sudah tua renta ia tampil bak Iwan Fals. Ikatan senar gitar pada tuning machinenya ga beraturan. Sepertiga nutnya sudah patah. Senar yang sudah berkarat berjejer tak rapi dan kurang stem. Di bodynya ada dua tiga lubang kecil. Seperti penampilannya, suara yang keluar dari gitar itupun ga jelas.

Sementara si kakak, anak perempuan mungkin sekitar 13 tahun, jadi vokalis plus instrumen telapak tangan alias tepuk tangan yang berperan sebagai cymbal. Meski suara gitarnya fals, ketukan cymbalnya out of tempo, vokal si kakak meleset satu not sejak awal hingga akhir lagu, Mozart tetap menikmatinya. Bahkan ada bulir yang menggelayut di sudut matanya. Baginya suguhan kakak beradik itu jauh lebih indah dari suguhan Coldplay, BTS bahkan The Beatles.

Usai sudah dua lagu mereka persembahkan. Mereka berkeliling dari satu penumpang ke penumpang lain dengan bungkus permen tempat penampungan uang di tangan mereka. Sampailah mereka di hadapan Mozart yang duduk bersebelahan dengan kang Anbin.

“Hei...siapa nama kamu anak cantik?” tanya Mozart. Dengan ragu bercampur takut anak perempuan itu menjawab dengan menunduk. “Cantik ka”.

“Widih...nama kamu cantik?”

“Iy...iya Kak.”

“Itu adik kamu?”

“Iya...”

“Siapa namanya?”

“Jak...euh...Jaka.”

“Jaka?”

“Iya, Jaka.”

“Wah sama dong dengan temen kakak, nih yang ini.” Sambil tangan Mozart menunjuk Davina yang duduk di seberang.

“Hih...sialan lo Zart!” umpat Davina tak berani keras, takut jadi tontonan tak sehat buat anak-anak.

“Kalian berdua Cantik dan Jaka keren, kalian keren!” puji Mozart asyik dengan bincang-bincang cintanya, sementara Kang Anbin memperhatikan drama itu dengan seulas senyum yang sedari tadi mengembang.

“Kalian masih sekolah?”

“Nggak Kak.”

“Kenapa?”

“Nggak Kak...nggak ada uang.”

“Oh...terus bapak ibu kalian?”

“Ehm...ayah sudah meninggal, ehm...ibu ga tau dimana.”

“Terus kalian tinggal sama siapa?”

“Banyakan Kak.”

“Hah...banyakan...emang kalian tinggal dimana?”

“Di bawah fly over.”

Air mata Mozart hampir saja turun menelusuri pipinya. Tapi masih tertahan. Sementara Kang Anbin sudah duluan buncah. Meski bungkam, tangan kang Anbin tak henti mengusapi kepala Cantik dengan lembut. Dari seberang, Davina mencoba membuang muka, ia tak mau leleh air matanya jadi bahan candaan Mozart.

“Eh kamu Jaka, kamu jago maen gitarnya, kamu keren!” Puji Mozart membesarkan hati si Jaka yang baru saja bergabung dalam percakapan surga itu.

Yang dipuji hanya senyum-senyum malu sambil matanya jatuh di lantai bus.

Supir bus sudah naik, pertanda bus akan segera berangkat.

“Ini buat kalian.” Ucap Mozart sambil mengeluarkan selembar uang merah dan mengepalkannya di tangan Cantik. Tak hanya itu gitar hijau kesayangan Mozart yang tersimpan rapi dalam tas gitar hitam dan sedari tadi ia dekap dalam pangkuannya, ia berikan pada Jaka.

“Ini buat kamu ngamen...ayo ambil!” paksa Mozart.

Setelah sempat ragu, Jaka menyerahkan gitar bututnya pada Cantik dan meraih gitar hijau pemberian Mozart dengan ceria. Jenis keceriaan khas anak kecil yang kelak akan memudar seiring pergumulan manusia dengan dunia.

Seperti tak mau ketinggalan, Kang Anbin, Ryu, Donny, Debu dan Davina ikut memberikan uang untuk kakak beradik menggemaskan itu. Tak hanya uang, Davina memberi mereka berdua sebuah pelukan hangat dan lama. Sebuah adegan yang membuat siapapun yang melihat pasti meleleh. Mozart menyaksikan semua itu dari ujung matanya. Ada sebentuk rasa yang mendesir di hatinya saat melihat drama elegi itu.

Tak lama kemudian mereka berdua turun. Bus mulai melaju. Dari balik jendela, Mozart, Kang Anbin, Davina, Ryu, Donny dan Debu melambaikan tangan. Cantik dan Jaka membalas lambaian tangan mereka dengan senyum mengembang. Sungguh senyum terindah yang pernah mereka lihat. Perlahan menjauh, senyum itu lantas hilang ditelan lamunan.

Mozart dalam lamunannya,

“Anak-anak surga yang disia-siakan dunia

Berdiri di sudut dunia yang ringkih menindih mereka dengan sadis

Tanpa belas kasihan

Dunia peras keringat mereka hingga burai jadi air mata

Di sudut kota, mereka kais sisa-sisa dunia yang menyampah

Lihat selengkapnya