Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #9

Bandung Sore Itu

“Sukses itu bukan meraih tapi melepas”

   Kehandalan kang Anbin terbukti. Lewat kemampuannya bernegosiasi, mencari dan menangkap peluang, peluncuran album perdana EZRA akan disiarkan secara live di salah satu station TV swasta ternama. Sebenarnya mereka telah menyusun rencana release album perdana mereka di sebuah kafe tanpa liputan televisi, hanya media-media online yang konfirm akan meliput. Rencana yang harus mereka ubah demi melihat peluang yang lebih menjanjikan.

  Kang Anbin dengan persetujuan para personel EZRA merekrut dua rekannya yang sudah berpengalaman dalam menangani konser. Kang Aboy sebagai Road manajer dan Teh Wina sebagai Stage manajer. Kang Aboy bertugas membantu kang Anbin mengatur segala keperluan ketika berada di venue sebuah event. Kang Aboy juga lah yang bertanggungjawab penuh terhadap kelancaran, keamanan dan kebutuhan artis ketika manggung. Sedangkan teh Wina bertugas mengatur kelancaran jalannya konser. Ia lah yang mengatur sound engginer untuk mendapatkan sound yang bagus.

  Mereka hanya memiliki waktu satu minggu untuk persiapan, karena slot yang dimiliki pihak station TV sangat terbatas. Maka inilah situasi para personel EZRA di backstage, satu jam sebelum tampil.

  Donny mondar-mandir ke toilet. Ryu jadi patung bengong. Debu membasahi bibirnya dengan air mineral ga sampai ke kerongkongan. Davina asyik ngerokok di taman belakang studio, kebiasaan buruk yang belum mampu ditanggalkannya. Sementara Mozart asyik dengan gitar baru pemberian diam-diam seseorang yang namanya dirahasiakan dari teman-temannya yang lain. Begitupun Mozart, ia bersedia menjaga rahasia si pemberi gitar itu sampai titik darah penghabisan.

  Lima belas menit sebelum perform, mereka berkumpul. Kang Anbin berinisiatif untuk mengobrol sambil menenangkan kegelisahan anak-anak asuhnya.

“Gimana Bu, udah abis berapa botol?”

“Ha...ha...ha...ini satu botol juga ga abis-abis Kang.”

“Iyalah ga pa pa dari pada kebanyakan minum ntar di panggung malah nahan pipis.”

“Iya kang...he..he..he..”

“Kalo kamu udah berapa balikan ke toilet Don?”

“Hadeuh ga keitung Kang, tegang banget nih...aduh gimana ya?” Sebelum kang Anbin menjawab, si Mozart dengan keusilannya mendahului.

“Kenapa bolak-balik...ga keluar-keluar?”

“Justru keluar terus padahal gue belom minum.”

“Bukan keluar itu maksud gue...keluar yang itu tuh...keramas...keramas...”

“Hah sompret lo, mau konser masih piktor aja lo”

“Eh...jangan salah, Maradona itu kalo mau tampil di lapangan, gituan dulu tau!”

“Hah gituan apaan?” tanya Davina penasaran.

“Ah...ini lagi, gadis kecil nan lucu mau tau aja urusan bapa-bapa.” Sebuah tinju pelan mendarat di lengan Mozart, untung bukan choku tsuki (pukulan lurus dalam karate).

“Kalo kamu Ryu ngapain bengong aja?” Sela kang Anbin yang mulai khawatir dengan kegilaan Mozart.

“Ah...nggak...nggak Kang...ga pa pa cuma gelisah aja.” Lagi-lagi Mozart menimpali dengan keisengannya.

“Ceile...gelisah...geli-geli basah. Ganti tu celana!”

“Eh...sompret pikiran lo tuh ngeres mulu.”

“Mending ngeres bung daripada gelisah, bener ga?”

“Iye juga sih...he...he...he...,” jawab Ryu polos.

“Lah...kamu sendiri ngapain Zart meluk-meluk gitar mulu, bukan dimainin kek?” sindir Debu.

“Ah...gue lagi ngebayangin melukin cewek pemberi gitar ini” celetuk Mozart. Seketika mata Davina melotot dan wajahnya memerah. Dia takut Mozart kelepasan ngomong. Untung saja bacot Mozart masih aman dan terkendali. Dan beruntung lagi, karena wajahnya yang memerah lolos dari pengamatan teman-temannya. Davina memaksa memberikan gitar hijau itu pada Mozart dengan alasan ia ingin berempati pada si Jaka, bocah kecil pengamen yang diberi gitar oleh Mozart. Entah, apakah memang itu alasannya?

“Emang tuh gitar ada yang ngasih?” tanya Debu penasaran.

“Ada dong...gini-gini gue udah punya fans. Cewek Bu...wuah... cakep banget Bu...bangetnya pake ga ketulungan.” Wajah Davina kembali memerah. Antara marah dan senang.

“Gue janji nih guys, ga bakalan nyakitin tuh cewek. Gue bakal jaga dia dengan darah dan cinta.” Ujar Mozart berapi-api bak Chairil Anwar.

“Halah...gombay...gombal bin lebay!!” teriak Ryu dan Donny serempak.

Dan tibalah waktunya buat mereka tampil. Ketenangan Mozart membawa pengaruh positif pada para personel lainnya. Mereka tampil dengan brilian. Tak tampak sama sekali kalo mereka adalah band ingusan atau band kemaren sore seperti kata Rendy. Mereka tampil begitu percaya diri. Rasa percaya diri yang menjadikan penampilan mereka enak ditonton. Mereka berhasil di tantangan besar pertama mereka. Keberhasilan yang tak bisa dipisahkan dari peran Mozart sang leader yang memberi mereka rasa percaya diri dan ketenangan.

*****

Esoknya, official medsos EZRA dibanjiri pujian. Tayangan ulang youtube konser mereka di view tak kurang dari satu juta kali dalam dua hari. Jumlah yang terus bertambah dari hari ke hari. Penjualan keping CD merekapun meroket. Tak hanya itu penjualan lagu-lagu versi digital mereka di platform online music store pun ikut meroket.

Dan lagu karya Mozart yang ini yang paling jadi pusat perhatian, ‘Bandung Sore Itu’

Bandung Sore Itu

Kabut senja dingin merayapi

kaki langit di ujung sore yang basah

Dan mentari enggan bersembunyi

menemani gerimis di sore ini

Dan bayangmu turut menghiasi

Jemari hati yang lama bersembunyi

Yang mencoba melupakan kamu

endapkan bulir-bulir cinta yang rapuh

Reff:

Banyak cerita terserak di sudut kotamu

Lihat selengkapnya