Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #11

Obituary

“Kematian adalah satu-satunya kejujuran yang dimiliki dunia”



Satu tahun sudah EZRA berkiprah di kancah industri musik Indonesia. Sungguh tahun yang tak kan terlupakan. Tahun dengan pencapaian spektakuler sekaligus teramat melelahkan. Anak-anak EZRA yang belum terbiasa dengan ritme kerja band profesional kewalahan. Beberapa kali mereka dilanda sakit, terutama Ryu. Kang Anbin dan crew saling bahu membahu menjaga semangat anak-anak EZRA hingga meraih pencapaian setinggi itu.

Tapi keluh kesah dan jerih payah mereka terbayar dengan pencapaian yang luar biasa. Pencapaian yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Selain angka penjualan album dan lagu mereka yang meledak, berbagai penghargaan pun mereka dapatkan. Mulai dari pendatang baru terbaik, album terbaik, karya produksi terbaik, aransemen terbaik, Pencipta Lagu terbaik yang diraih Mozart & Debu dan tentu saja Lagu terbaik, lewat lagu Bandung Sore Itu. Tak hanya di dalam negeri, kesuksesan mereka juga merambah sampai ke level asia. 

Sebuah pencapain yang disikapi beragam oleh anak-anak EZRA. Debu makin bersemangat karena jadi lebih percaya diri. Donny dan Ryu lebih ke bersyukur. Davina gembira karena dengan pencapaian itu ia bisa lebih lepas dari sesuatu yang selama ini memenjaranya. Sementara bagi Mozart, semua pencapaian ini tak lebih dari sekedar keberuntungan. Dalam suatu kesempatan ia pernah menyampaikan pikirannya pada anak-anak EZRA.

“Wei...jangan pada lupa diri...! kita ini cuma sekumpulan orang yang beruntung. Kalo bicara kualitas, masih sangat banyak yang lebih bagus dari kita. Coba kalian ubek-ubek tuh musisi-musisi indie, gile ...keren-keren guys. Skali lagi gue bilang, kita ini cuma sedikit lebih beruntung.”

Kang Anbin manajer yang humanis. Ia tak mau memaksakan kehendaknya pada anak-anak EZRA. Setelah satu tahun penuh mereka bekerja keras, nomaden alias berpindah pindah tempat hingga mereka harus menunda keinginan mereka untuk berkuliah, tiba waktunya bagi mereka untuk diberikan waktu istirahat, waktu untuk rehat.

Kang Anbin mengumumkan hal itu selepas konser penutup di Salatiga. Selain mengumumkan liburan, Kang Anbinpun mengajak merayakan ulang tahun EZRA yang pertama di markas mereka di Bandung. Dalam rencananya, manajemen EZRA akan mengundang anak-anak jalanan untuk tampil di markas mereka dan selepasnya mereka akan diberikan santunan.

Rencana yang disambut hangat oleh anak-anak EZRA. Rencana yang akan mereka laksanakan lusa, dua hari lagi.

*****

Semesta punya cara kerja sendiri. Ia tak bisa dipahami, Ia misteri abadi. Antara duka dan suka cita datang silih berganti. Nyaris tak pernah ada bahagia yang datang beriringan, semesta hampir selalu menyelipkan duka diantara suka cita. Begitupun sebaliknya, semesta hampir selalu menyelipkan suka cita diantara rentetan derita. Begitulah yang dialami EZRA . Di tengah suka cita yang melambung, tiba-tiba semesta menyelipkan sebuah duka. Kang Mufti, pembimbing dan penasehat EZRA berpulang ke pangkuan Ilahi.

Kabar itu diterima kang Anbin tak lama setelah dia mengumumkan liburan dan rencana perayaan ulang tahun pertama EZRA. Merekapun menunda jadwal istirahat mereka. Mereka segera berkemas dan bergegas pulang kampung, ke Bandung.

Sesampainya di rumah duka jasad kang Mufti telah dikebumikan. Mereka terlambat lima belas menit. Keluarga besar kang Mufti tak mungkin menunggu kedatangan mereka terlalu lama. Istri dan ketiga anak kang Mufti meminta maaf atas peristiwa itu. Hal yang kemudian dimaklumi oleh semua crew EZRA.

*****

Gerimis merintihkan luka, luka kehilangan. Luka yang bisu diujung kelu. Seolah mengiringi air mata anak-anak EZRA yang berduka, gerimis tak henti menangisi mereka yang tengah larut dalam duka di pusara kang Mufti.

Mozart, ia teringat kembali awal perkenalannya dengan kang Mufti dan komunitas musisi balada. Perkenalan yang tak disengaja. Semestalah yang membawanya bertemu dengan sosok yang sangat diseganinya. Kurang lebih dua tahun lalu, Mozart terlibat perkelahian dengan seorang preman yang kedapatan sedang malak pedagang gorengan di pinggir jalan.

Seperti biasa, Mozart tanpa ba bi bu langsung ngamuk dan menghajar habis preman itu hingga babak belur. Si preman yang tak terima, memanggil teman-temannya, dan terjadilah kejar-kejaran tak seimbang. Mozart yang sendirian dikejar tujuh sampai delapan orang preman bersamurai. Mozart yang tak mau mati konyol berlari menyelamatkan diri. Namun naas, ia terjatuh di sebuah pertigaan. Di saat bersamaan, para preman datang mendekat dan dengan wajah garang dan samurai di tangan, mereka tanpa ragu segera menyerbu Mozart.

Tapi satu teriakan mampu menghentikan langkah mereka. Teriakan yang bagai halilintar. Teriakan yang keluar dari mulut seorang Mufti. Musisi balada yang bukan cuma berkesenian tapi juga jadi jawara Tadjimalela yang sangat disegani.

“Wei...berhenti!!!”

Semua mata preman yang beringas itu menoleh mencari arah teriakan. Mata mereka yang membara seketika redup, emosi yang menggunung seketika surut. Mereka tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kang Mufti, tokoh paling disegani, jawara ahli silat Tadjimalela. Ia memang bukan guru besar perguruan, ia bukan juga anggota resmi perguruan itu, tapi semua tahu seberapa tinggi ilmu silatnya.

“Eh...euh...Akang?” ujar mereka sambil mundur dua tiga langkah.

“Rek naraon maraneh heuh?” (mau apa kalian hah?)

“Euh...punten Kang...mung salah faham.” (Maaf Kang ini cuma salah faham) ujar salah seorang preman, pemimpinnya mungkin.

“Salah faham gimana, kalian pake bawa samurai segala.”

“Euh tadi...euh...”

“Sudah-sudah, sini kumpulin samurainya!” Suara kang Mufti yang berwibawa membuat layu para preman bermuka sadis itu. Dengan mengkerut mereka menyerahkan samurai-samurai yang nyaris menebas batang leher Mozart itu.

“Hey...kamu nggak apa-apa?” sebuah tanya yang ditujukan pada Mozart yang duduk terjatuh.

“Oh...nggak apa-apa Kang.”

“Ya sudah kamu bisa berdiri?”

“Eh..bisa...bisa Kang, saya ga pa pa kok.”

“Siapa nama kamu?”

“Mo...Mozart Kang.”

“Waduh meni gaya euy, Mozart?”

“Iya Mozart Kang.”

“Nah...sekarang jawab pertanyaan saya, kenapa kamu dikejar-kejar mereka?”

Maka tanpa tedeng aling-aling Mozart menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Mana orangnya yang malakin tukang gorengan?” tanya kang Mufti tegas.

“Tuh, itu tuh Kang, yang paling jelek !” Sambil menunjuk preman bertubuh gempal, wajah dipenuhi tato, dan gigi ompong dua di tengah. Kegilaan Mozart secara refleks muncul.

“Maneh nu malak teh heuh?” (Kamu yang malak ya?)

“Eu...eu...eu...” preman serem tapi loyo itu tak mampu menjawab. Ia sedang dalam penguasaan penuh alkohol. Sel-sel kelabu di kepalanya sedang rebahan. Dunianya sedang berputar-putar tak tentu arah.

“Ih ilaing kalah kah teurab di tanya teh.” (Ih kamu mah saya tanya malah sendawa) kalimat yang membuat geli Mozart, ia terkekeh tanpa rikuh.

“Kalian dengerin semua, berhentilah menyakiti orang, berhentilah menakuti orang. Cari kerjaan jangan terus aja ngerjain orang.”

Lihat selengkapnya