Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #12

Eurika!

“Hal paling sederhana tapi paling sulit dilakukan manusia adalah mencinta”

 Manusia berencana Tuhan berketetapan. Maksud untuk merayakan hari jadi pertama EZRA dengan mengundang anak-anak jalanan terpaksa dibatalkan, diganti dengan berbagi dengan mereka langsung di jalanan. Selepas acara dan doa bersama masing-masing personel berlibur dengan caranya sendiri sendiri.

Debu

Tadinya Debu bermaksud mengajak ayah ibunya jalan-jalan ke luar negeri, tapi rencana itu bentrok dengan jadwal ayahnya. Padepokan ayahnya mendapat undangan dari pemerintah Rumania untuk menampilkan aneka budaya Sunda disana. Tak hanya calung tapi juga reog dan jaipong. Ayahnya harus memimpin rombongan berangkat ke Rumania. Semua biaya ditanggung panitia pengundang meski dengan jumlah terbatas.

Rombongan seni akan berada disana selama tujuh hari, dimana mereka harus menampilkan pertunjukan di dua hari dan tempat yang berbeda. Setelah berdiskusi akhirnya diputuskan Debu dan ibunya akan ikut serta ke Rumania dengan biaya sendiri.. Disana mereka akan menonton pertunjukan ayahnya dan setelahnya mereka bertiga akan mengunjungi ikon-ikon wisata di tanah dracula itu. Sementara rombongan akan pulang dipimpin oleh Kang Arif, tangan kanan ayahnya Debu.

Mereka berencana mengunjungi Baaile Herculane, kota kecil di lembah antara pegunungan Mehedinti dan Cerna. Kota yang tekenal dengan sumber air panas yang mengandung mineral yang bermanfaat untuk kesehatan. Mereka juga berencana mengunjungi Palace of Parliament dan Romanian Athenaeum di ibukota Bucharest. Lantas, bila memungkinkan mereka juga akan mengunjungi Bran Castle tempat legenda Dracula dulu hidup.

Rumania sedang bermandi salju. Tubuh tiga manusia itu menggigil ringkih. Mereka tak kuat dengan cuaca ekstrim di negeri Dracula itu. Akhirnya mereka putuskan untuk hanya mengunjungi Bucharest, ibu kota penuh aroma budaya eropa timur yang epik. Mereka mengunjungi Palace of Parliament tempat para wakil rakyat Rumania berkantor. Kantor atau lebih tepatnya istana itu memiliki luas lantai 365.000 meter persegi. Sementara luas bangunannya sendiri seluas 240 m kali 270 m. Pohon-pohon hijau bermahkota salju berderet rapi di sepanjang jalan masuk menuju istana parlemen.

Istana parliamen dibangun dengan gaya arsitektur neoklasik dilengkapi dengan tiga museum. Museum nasional Seni Kontemporer, Museum Totalitarianisme Komunis dan Museum Istana.

Mereka tak sanggup berlama-lama berfoto ria disana. Hawa dingin yang menusuk tulang tak mampu mereka tahan. Mereka putuskan untuk pulang keesokan harinya, yang semua itu tak akan bisa mereka lakukan tanpa bantuan orang kedutaan besar Indonesia di Bucharest.

Selebihnya , mereka bertiga berlibur ke Jogja dan Bali. Mereka lebih menikmati liburan disana, karena cuaca lebih bersahabat.

Donny

Donny menghabiskan masa liburannya dengan merenovasi rumah orang tuanya. Bentuk liburan yang sangat menghibur dirinya. Ia merasa sangat senang membantu mengaduk, mencat hingga berbelanja barang-barang interior rumah. Rumah mereka yang dulu kumuh , sekarang nampak lebih asri .

Tak hanya sampai disitu, dengan seizin pak camat, Donny juga membuatkan ibunya warung bubur ayam di halaman samping kecamatan. Tadinya ibunya berjualan bubur ayam hanya berbekal gerobak dan kursi plastik, sekarang warungnya dilengkapi meja dan kursi dan kipas angin. Sebenarnya Donny sudah meminta bapak dan ibunya berhenti berjualan tapi keduanya menolak dengan halus. Ibunya tetap berjualan bubur ayam sedangkan bapaknya tetap markir di kecamatan.

Ryu

Tak jauh beda dengan Donny, Ryu pun mengisi liburannya dengan membangun rumah. Rumah impian adiknya Rey. Rumah di tepi kota Lembang yang sejuk. Rumah yang luas dilengkapi kebun dan kolam ikan. Rumah berkamar enam, entah kenapa?

Ryu melakukannya dengan sepenuh cinta meski ia tahu ia sendiri belum tentu bisa berkesempatan menikmati rumah itu. Yang penting baginya adalah Rey, adik kesayangannya bahagia.

 Mozart

Pentolan EZRA ini mengisi liburannya dengan berburu lokasi untuk membangun studio impiannya. Tadinya ia mau mengajak Donny, tapi Donny sedang sibuk dengan renovasi rumah bapak ibunya. Ia pun mencoba mengajak Ryu, tapi Ryu pun sama. Ia sedang sibuk dengan pembangunan rumahnya di Lembang. “Debu, ah...dia sedang jalan-jalan ke Rumania sama bapak ibunya,” gumam Mozart.

Davina, si Jaka Sembung, itu harapan terakhirnya. Sebuah pesan berupa ajakan ia sampaikan lewat pesan WA. “Bung...mo ga besok ikut gue nyari lokasi buat bikin studio impian gue?”. Lama tak kunjung ada jawaban.

Davina tak kunjung menjawab karena dia sedang bercumbu mesra dengan barang kesayangannya, ganja. Nasihat almarhum kang Mufti belum mampu sepenuhnya menjauhkan dia dari barang haram itu. Ia baru bisa menguranginya saja. Ia hanya menggunakan bila gelisah setengah mati menyiksanya. Bila masih bisa diatasi biasanya dia mengalihkan keinginannya pada hal lain seperti mendengarkan musik atau sesekali kegelisahannya itu dia atasi dengan shalat.

Malam itu ia benar-benar gundah. Gelisah yang tak jelas datang dari mana dan karena apa, tak mampu ia tepis dengan hal lain selain ganja. Ia sedang membunuh dirinya secara perlahan. Ia bukan lupa dengan nasihat kang Mufti untuk tidak menyerah pada dunia, tapi ia merasa dirinya begitu lemah, dan satu lagi ia merasa sendirian, ia kesepian dalam keramaian.

Tak ada satupun orang yang tahu kalo dia pemakai, hanya almarhum kang Mufti. Makanya ia merasakan kesendirian yang teramat menyiksa. Dulu sewaktu kang Mufti masih ada, Davina selalu menelepon kang Mufti bila godaan untuk memakai ganja datang menyerang, dan itu selalu berhasil. Tapi sepulangnya kang Mufti ke haribaan-Nya, Davina kehilangan pegangan, ia kembali terjerumus goda rayu syetan meski tak separah dulu.

Mozart putus asa. Jawaban Davina tak kunjung tiba. Ia mengira Davina marah karena terus dipanggil Jaka Sembung. Ia pun mengambil ponselnya dan sebuah pesanpun meluncur ke nomer Davina.

“Eh maaf bukan Jaka Sembung tapi Davina Herminie Waiden, gimana mau kan besok?’ kembali sunyi tanpa jawab. Mozart putus harapan. Ia putuskan besok ia jalan sendiri.

Keesokan harinya, ia sudah bersiap dengan jaket jeans belelnya dan tas pinggang kebanggaannya. Tas pinggang hitam dengan knop merah di pinggir dan sketsa wajah Jhon Lennon di tengahnya. Ia pun mengeluarkan motor dari ruang tamu, dan ia terkejut mendapati sesosok gadis cantik tengah duduk di kursi terasnya. Davina, si Jaka Sembung!

“Wei...sombong amat Bu, ga jawab w.a gue?”

“Sorry...sorry gue ketiduran.”

“Halah...alesan, paling juga marah ma gue karena di panggil Jaka Sembung.”

“Ah...buat apa marah sama lo Zart, ga ngaruh.”

“Jadi ga marah nih gue panggil Jaka Sembung?”

“Seterah lo deh, suka-suka lo, mau manggil gue apa kek, seterah aja... kagak ngaruh buat gue.”

“Oh...ok...ok...kalo gitu gimana kalo gue panggil “sayang”?”

Wajah Davina seketika memerah entah karena apa? Mungkin ia kaget dengan kegilaan Mozart yang tak bisa ditebak.

“Gimana...boleh nggak?”

“Ah...sompret lo!”

“Katanya suka-suka gue, gimana sih?”

“Ah udah...hayu ah...!”

“Eh... emang lo jadi ikut?”

“Yeh...ngapain gue cape-cape kemari kalo ga mo ikut ?”

“Wah asyik dong ada yang bayarin bensin si codot sama beliin es dawet nih.”

“Idih ... artis ga tau malu, bensin ama minum aja masih minta.”

“Biarin gue kan lagi ngirit, gue lagi nabung.”

“Halah...nabung, nabung buat apa?”

“Nabung buat masa depan kita lah!” kegilaannya semakin menjadi. Davina salah tingkah dibuatnya. Ia tidak tahu apakah itu sekedar candaan atau serius. Ia belum bisa membedakannya. Ia belum mengenal Mozart dengan baik dan benar.

“Udah ah...ayo...keburu siang!”

“Ok...eh lo ga bawa jaket Vin?”

“Nggak lah ga pa pa...gue biasa t-shirt an.”

“Eh...ini naek motor Neng, jauh pula... ntar masuk angin baru nyaho.”

“Udah ah cepetan hayu...”

“Ih ni cewek bandel amat sih, ntar kalo owak owek muntah... dikira tetangga hamil baru deh kapok.”

“Ya gimana dong secara gue emang ga bawa jaket, gimana?”

“Gampang nona, pake jaket gue aja. Baru dicuci dua minggu lalu sedikit berdebu namun penuh rindu”

“Hadeuh makin ga je, mana?”

“Mana apa?”

“Heuh mlehoy...mana jaketnya?”

“Oh iya bentar-bentar.”

Jaket bomber khas anak basket hitam putih itu diberikan Mozart pada Davina. Sebelum memakainya Davina menciuminya dulu dengan curiga. Melihat itu keisengan Mozart terpancing.

“Jangan diciumin gitu jaketnya, ntar yang punya ngiri”

“Ah...” hanya itu yang keluar dari mulut Davina. Mungkin ia sudah lelah marah. Atau ia malah seneng.

“Gimana wangi kan?”

“Iya wangi Firaun ga mandi tujuh minggu.” Sungut Davina lengkap dengan seulas senyum. Entahlah, dimata Mozart, senyuman Davina kali itu teramat cantik dan manis. Seumur hidupnya ia merasa belum pernah melihat senyum secantik itu.

Davina menggunakan jaket itu tanpa memasang sletingnya, mungkin ia malas dan tak terbiasa memakai jaket. Melihat itu Mozart melakukan sesuatu yang tak diduga oleh Davina. Sesuatu yang tak disangkanya namun juga tak ditolaknya. Mozart mendekati Davina, lantas memasangkan sleting jaketnya lengkap dengan sebuah kalimat, “Disletingin dong yang.”

Davina tak mampu menjawab atau marah. Dia diam membatu, ia benar-benar kaget dengan apa yang dilakukan Mozart. Seperti ada rasa ingin marah, tapi tak bisa ia lakukan. Seperti ada rasa senang tapi tak mampu juga ia katakan. Jadinya ia hanya bisa membatu. Hingga teriakan Mozart memecah lamunannya.

“Wey...Jaka Sembung, hayu!”

*****

Sudah tiga jam mereka keliling-keliling ga jelas. Mozart berburu tanah seperti berburu combro, maen asal jalan aja, tanpa petunjuk iklan atau google map. Dia seperti Indiana Jones berburu harta karun Firaun tanpa peta. Wal hasil mereka nihil, tak dapat satupun lokasi yang mereka cari. Sementara pantat mereka sudah terasa sangat tipis. Si Codot yang shockbreakernya sudah renta tak mampu memberi kenyamanan pada dua pantat yang mendudukinya. Tak hanya itu, perut merekapun sedari tadi menyanyikan lagu keroncong secara bergantian dan kadang bersamaan. Mozart sesekali meledek nyanyian keroncong yang keluar dari perut Davina

  “Eh...Mba Sundari Sukotjo blom sarapan Mba?” Tak berapa lama terjadi kebalikannya. Nyanyian keroncong terdengar keras dari perut Mozart dan direspon kejailan Davina, “Eh Mas Mamiek Slamet, blom sarapan Mas?” Keduanya buncah dalam tawa. Si Codot makin kerepotan menahan beban yang sudah berat tak mau diem pula.

  Sampai akhirnya si Codot menepi di sebuah warung mie rebus dan kopi.

“Ah ini dia restoran para dewa.” ujar Mozart. Dua mie rebus dan dua gelas kopi hitam segera mereka pesan. Tak ada orang lain di warung itu, hanya mereka berdua, eh bertiga deng sama si Oleh penjual mie rebus. Dari wajah dan penampilannya, nama Oleh dinilai pantas oleh Mozart disematkan di dada penjual mie itu.

Saat hidangan dan kopi mendarat di meja, seuntai pantun meluncur dari mulut Mozart.

“Bersama dia makan di meja”. “Cakep!” jawab si Oleh tiba-tiba nimbrung. “Ini dia makanan para raja.”

Tak sampai lima menit dua mangkok itu ludes tanpa setetes kuahpun tersisa. Dua mahluk kelaparan itu memang tak punya urat malu. Mereka bersantap dengan lahap lengkap dengan segala bebunyian yang menyertainya. Si oleh mlogo selama lima menit. Dalam pikirannya kalau diterjemahkan kurang lebih begini, “ Perasaan pernah liat muka dua orang ini tapi dimana ya? Ini orang pacaran tapi kok kaya gini ya?. Makan minum srapat-sruput ga pake malu. Yang cewek ga jaim yang cowok apalagi malu-maluin. Ntar anaknya kaya gimana ya?”.

Beruntung, keartisan Mozart dan Davina belum terlalu mendunia, tampang mereka masih membutuhkan penelusuran google untuk bisa sampai pada taraf diingat banyak orang apalagi warga pedesaan seperti si Oleh. Kalau tampang mereka sudah nempel di ingatan orang banyak maka jangan harap mereka bisa seenaknya makan di warung mie tanpa gangguan fans atau paparazi.

“Udah Mas brapa? Jangan mlongo mulu,” hentak Mozart.

Lihat selengkapnya