“Sahabat adalah sejenis anjing yang menggonggong saat kita dalam bahaya”
Album kedua hampir rampung. Tak ada persoalan berarti. Semua berjalan baik-baik saja. Fans lewat official medsos nya EZRA, banyak yang menyatakan sudah tak sabar dengan hadirnya album ke dua EZRA. Kang Anbin kewalahan menerima tawaran untuk interview dan penayangan release album ke dua EZRA di layar TV secara live.
Para personel EZRA tampak bersemangat menuntaskan proses penggarapan album mereka. Seperti kata Mozart, dengan mengalir, proses rekaman album ke dua telah mendekati final. Proses pemilihan lagu telah dilalui, tracking berjalan dengan mulus, begitupun mixing telah usai dilalui, tinggal lagi proses mastering. Tapi justru di proses ini Mozart dan Debu paling “cerewet”. Segala tetek bengek tentang pengurangan noise, pemantapan level, penaikan penurunan gain , dan lain sebagainya menjadi bagian kesibukan Mozart dan Debu.
Namun ditengah suasana yang penuh gairah, Donny tampak berbeda dari biasanya. Ia yang humoris kini lebih banyak diam. Candaan Ryu tak dibalasnya. Kegilaan Mozart yang biasanya bagai virus menulari sikapnya, belakangan ini, kegilaan Mozart seperti tak berbekas didirinya. Di saat anak-anak EZRA berkumpul , Donny lebih memilih menyendiri di taman belakang studio. Ada apa dengan Donny?
Mozart, sahabat sejatinya tengah sibuk-sibuknya dengan proses mastering. Kesibukan yang membuatnya luput melihat perubahan sikap Donny. Hanya Ryu dan Davina yang melihat dan merasakan perubahan itu. Suatu kali Ryu sempat menanyakan hal itu langsung pada Donny namun dijawab datar, “Ga ada pa pa kok.”
Proses mastering selesai, berarti tinggal producing. Untuk urusan yang satu itu, anak-anak EZRA ga ikut campur. Mereka tinggal mempersiapkan promosi dan mematangkan proses release album. Untuk itu kang Anbin ditemani mas Putu dari pihak label mengadakan meeting untuk mempersiapkan acara release dan promosi album. Sebelum meeting dimulai, semua bertanya tentang Donny.
“Zart, si Donny kemana?” tanya Debu.
“Hah...I dont know euy...”
“Iya si Donny kemana ya?” tanya kang Anbin.
“Udah dikabarin blom Kang?”
“Udah...semuanya sudah dikabarin.”
“Zart, lo kan sohibnya si Donny, pasti lo tahu masalah si Donny kan?” tanya Ryu.
“Hah...masalah? emang dia lagi bermasalah?”
“Hadeuh sohibnya gimana nih, belakangan ini si Donny beda banget Zart!” jawab Ryu.
“Beda gimana Ryu?”
“Bedalah...ga pernah bercanda lagi, diem aja di pojokan atau di taman belakang. Kalo ditanya kenapa, jawabnya pasti ga ada apa apa.”
“Iyah saya juga sempet nanya , tapi ya gitu jawabannya sama aja” ungkap kang Anbin.
“Oh gitu ya...gue sibuk banget mastering sampe ga sempet merhatiin yang lain,” keluh Mozart.
“Iya Zart, si Donny kayanya lagi ada masalah deh, trus masalahnya kayanya berat.” Davina ikut nimbrung.
“Tahu darimana lu kalo masalah dia berat?”
“Gue sering banget ngeliat dia bengong, mukanya kayanya mumet banget. Kayanya bebannya berat banget Zart.”
“Waduh ...gue kok luput yah. Coba gue telpon dulu deh.”
Belum juga ponsel di saku celananya berpindah tempat, Donny muncul dari balik pintu. Semua mata mengarah padanya. Donny masuk dengan wajah tertunduk, sesekali wajah nya terangkat dan ...benar kata Davina, wajahnya kusut, tatapannya kosong. Garis-garis wajahnya melukiskan resah yang terbelenggu gelisah. Mozart, lantas meyakini kebenaran omongan Davina. Sahabat sejatinya tengah dirundung masalah. Dan dia sebagai sahabatnya merasa bersalah karena luput melihat gejala itu.
“Eh...Don, barusan mau gue telepon dah keburu nongol” ujar Mozart memecahkan kekakuan.
“Oh...ya sorry...sorry semua...gue telat tadi abis jalan-jalan dulu, maaf mas Putu.”
“Iya Don ga pa pa belum mulai kok” jawab mas Putu yang sedari tadi asyik dengan ponselnya.
Maka meeting pun berjalan dengan seru kecuali Donny.
“Jadi udah fix ya kita release tanggal 28 Oktober pas sumpah pemuda, itu berarti waktu persiapan kita mepet, cuma dua mingguan” jelas kang Anbin.
“Iya...masalahnya kalian siap ga? Waktu kalian cuma dua minggu loh?” tegas mas Putu.
“Kayanya sih kita siap-siap aja mas, lagian momentumnya pas. Ada sumpah pemuda dan ulang tahun fanbase kita yang harinya sama,” jawab Debu.
“Ok...yang lain gimana?” tanya mas Putu.
“Ok...mas siap!” hampir semua menjawab kompak kecuali Donny.
“Terus...euh...apa tadi tuh...oh...masalah station TV yang mau liput kita, kita dah sepakat ya?” beber kang Anbin.
“Ya sepakat Kang, cuma konsepnya kalo bisa sih jangan sama dengan yang pertama dulu” pinta Debu, personel EZRA paling serius.
“Maksud kamu gimana Bu?” selidik kang Anbin.
“Euh...kalo tahun kemaren konsep background ceritanya kan lebih banyak flash back perjalanan EZRA kalo sekarang kayanya lebih pas kalo yang diangkat itu spirit kita sebagai anak muda, spirit anak muda yang ga ngelupain sejarah perjuangan para pendahulunya. Pokoknya relate sama sumpah pemuda lah.” Beber Debu panjang lebar, yang disambut pekik kemerdekaan Mozart.
“Merdeka !!!”
Tawapun buncah memecah kekakuan. Semua buncah kecuali Donny. Tampaknya pikirannya sedang tidak ada di tempat. Pikirannya sedang mengembara jauh entah kemana. Degup jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan tapi lidahnya kelu, hatinya tak memberi restu.
Mas Putu sempet kaget dengan kegilaan Mozart, tapi buru-buru ia kembali ke kesadarannya bahwa dia sedang menghadapi sejenis mahluk langka.
“Ok sih...tapi Kang Anbin euh... apa pihak TV- nya siap, itu ga gampang loh?” tanya mas Putu.
“Saya langsung telepon aja ya Mas, biar clear,” jawab kang Anbin.
“Wah bagus itu Kang.”
Begitulah kang Anbin selalu gercep. Cara kerja yang sangat membantu EZRA untuk sampai di pencapaian sekarang ini. Tak lebih dari lima menit, masalah ide Debu pun kelar. Pihak TV setuju dengan ide itu dan akan ngebut mempersiapkan segala sesuatunya.
“Ok...masalah release beres...tinggal kalian besok mulai latihan bareng crew dari pihak TV” jelas kang Anbin.
“Besok Kang?” tanya Mozart.
“Iyalah besok...waktu kita mepet banget ini Zart.”
“Ashiaaappp!!” pekik Mozart, mungkin tadi pagi lupa minum obat.
“Kang...maaf ini bukan mau set back, tapi gue kok kaya masih ada yang ganjel nih” ujar Ryu.
“Masalah apa Ryu?” tanya kang Anbin.
“Cover Kang.” Anak jago gambar ini emang sangat teliti buat urusan gambar menggambar.
“Emang cover kita kenapa Ryu?” Mozart penasaran.
“Si Yosef kan yang bikin?” tanya Debu. Yosef adalah salah satu crew EZRA yang menangani dokumentasi dan promosi.
“Iya si Yosef yang bikin,” jawab Ryu.
“Menurut gue sih keren tuh Ryu,” ungkap Davina.
“Iya keren, tapi kalo gue selikidi ...” Ryu masih menyelipkan canda.
“Selidiki kali” Mozart terpancing.
“Oh iya...selikidi...eh...selidiki lebih detail gue ngeliat ada logo barang haram disitu! Kecil emang tapi kayanya bahaya kalo sampe ada yang ngeuh...terus mempersoalkan logo itu, EZRA nanti yang kena.
“Ih...logo apaan sih Ryu?” Mozart dan semua yang hadir disitu penasaran kecuali Donny. Dia asyik dengan gemuruhnya sendiri. Asyik dengan gelisahnya sendiri. Asyik bercumbu dengan resahnya sendiri.
“Itu...logo daun lima jari.”
“Mana?” semua kompak
Maka Ryu pun mengambil cover album mereka yang sebenarnya sudah jadi dan sudah diproduksi banyak oleh pihak label. Dengan sigap, ia menunjukan keberadaan logo itu. Gambar kecil yang nyaris tersembunyi dari layout cover album mereka. Mas Putu yang berkacamata minus sampai harus merem melek untuk melihatnya dengan jelas.
“Emang itu logo apaan Ryu? Debu penasaran.
“Itu logo ganja bung...!”
“Hah...ganja?” semua serempak kecuali Donny.
“Oh...iya gue baru inget, gue pernah liat logo itu. Setahu gue yang punya logo ga bermaksud negatif kok,” ujar Mozart.
“Tapi kayanya terlalu beresiko Zart buat kita,” ungkap Ryu.
“Iya bener sih...resikonya terlalu besar, mending dihapus aja” ujar Mozart setuju dengan Ryu.
“Apa ga lebih baik tanya dulu si Yosef nya?” kang Anbin angkat bicara.
“Ya itu lebih baik” ujar mas Putu.
“Gue udah tanya Mas sama dia, jawabannya dia itu semua cuma iseng dan kepentingan estetika aja katanya” jelas Ryu.
“Waduh iseng yang sangat berbahaya!” cetus kang Anbin.
Mas Putu bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah itu. Percis kang Anbin, ia pun segera menelpon bagian produksi dan meminta mereka untuk menghentikan sementara proses produksi. Ia pun memerintahkan pada bagian Layout cover untuk menghapus logo itu. Dan lagi, satu masalah selesai.
“Waduh...rugi bandar dong Mas?” canda Mozart pada mas Putu, yang dijawab mas Putu sambil nyengir. Mas Putu memang sangat berbeda dengan mas Rendy dulu. Mas Putu sangat low profile dan humble.
“Ya gitu deh Zart, salah kami juga kurang teliti memeriksa.”
“Wah...kami yang salah Mas” ujar kang Anbin buru-buru. “Ide covernya kan dari kami.”
“Iya tapi filter dan eksekusinya kan di kita Kang, jadi ya sudahlah kita lupakan saja. Kita jadiin pelajaran aja buat ke depan.”
Sebuah dialog indah yang jauh dari kesan egois dan saling menyalahkan.
“Ok...semua udah beres ya...sekarang kita semua istirahat, besok kita harus berjuang keras buat persiapan release album kedua kita, moga sukses,” tutup kang Anbin. Itulah kang Anbin yang tak pernah menyebut dan memperlakukan anak-anak EZRA dengan sebutan “kalian” tapi “kita”. Meski ia bukan personil EZRA yang secara langsung memainkan instrumen atau melantunkan vokal, kang Anbin selalu ada di dalam. Ia selalu menempatkan dirinya adalah bagian dalam EZRA.
Sejak album perdana, anak-anak EZRA sudah meyakini bahwa pilihan kang Mufti tepat adanya. Mereka telah lama membuang keraguan akan kapasitas kang Anbin. Mereka seperti mendapat berkah tak terduga dengan kehadiran kang Anbin dalam rumah EZRA. Perjalanan bermusik mereka terasa lebih terarah lewat tangan dingin kang Anbin. Tapi yang paling utama yang mereka rasakan adalah, kang Anbin mampu menciptakan suasana rumah, suasana kekeluargaan di band sebesar EZRA.
Semua berucap syukur, dan bersiap beranjak dari meeting seru yang melelahkan, kecuali Donny. Saat semua telah berdiri dari kursi, suara Donny menghentikan semuanya.
“Maaf...eu...boleh gue bicara?” tumben sopan. Semua yang sudah berdiri duduk lagi.
“Ya Don...ngomong aja, biasanya juga celetak celetuk kok,” respon kang Anbin.
“Euh...gini temen-temen...Gue..euh...gimana yah...Gue mau mundur dari EZRA.”
“Blarrr!!!” halilintar menyambar studio Panorama. Tak ada yang tak kaget, terutama Mozart.
Tak ada yang bisa bicara, semua terdiam. Omongan Donny menyulap mereka jadi patung.
“Sorry kalo mendadak. Bukan keputusan yang mudah, tapi udah gue pikirin bolak balik. Udah gue pikirin mateng-mateng.”
“Tapi kita dah mau release Don, dah mepet banget ini, kenapa baru sekarang lo ngomong?” Akhirnya Debu keluar dari kutukan patung. Debu, personel EZRA yang paling peduli dengan EZRA. Buat dia apapun yang terjadi EZRA harus tetap eksis ga perduli apapun yang terjadi. Termasuk bila personelnya keluar masuk, yang penting EZRA tetap eksis.
“Iya gue ngerti Bu, tapi gue bener-bener udah ga bisa nerusin.“