“Ketika cinta dan kebenaran berseberangan maka jadikanlah waktu sebagai jembatan.”
Konser release album kedua mereka ‘Perahu Tanpa Layar’ berjalan mulus dan mendapat perhatian dan pujian dari hampir semua kalangan. EZRA berhasil melalui ujian berat. EZRA nyaris kehilangan seorang pendirinya. EZRA nyaris kehilangan kebaikan seorang Donny yang diatas rata-rata.
Para hatters bungkam, sebaliknya para pemerhati musik bergantian memuji kiprah album kedua EZRA. Sebagian besar dari mereka menilai musik EZRA lebih dewasa, lebih matang dibanding album pertama. Pujian yang diamanatkan kang Anbin untuk tidak membuat mereka besar kepala. Pujian yang bukan membuat mereka terlena, tapi untuk semakin terpacu.
Suka cita mewarnai gelak canda anak-anak EZRA, terutama Debu, personel yang paling perduli eksistensi EZRA. Pujian dari banyak kalangan benar-benar membuat mereka bahagia, kecuali Mozart. Dari dulu ia tak terlalu perduli dengan pujian. Buat dia pujian jadi semacam penjara. Penjara yang mengerangkengnya dalam harapan-harapan orang lain. Ia ingin merdeka. Berbuat sesuka hatinya. Tak perduli pujian datang atau tidak. Dalam melakukan sesuatu, sepanjang tidak mengganggu dan tidak merugikan orang lain, Mozart pasti lakukan itu tanpa pamrih.
Berbeda dengan album pertama, di album kedua ini EZRA memutuskan untuk mengurangi tour konser mereka. Mereka lebih banyak mengambil tawaran manggung di layar kaca. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi kejenuhan dan kelelahan saat harus melawat ke berbagai kota di tanah air, yang itu semua sangat menguras tenaga dan waktu mereka. Sesekalinya mereka konser di suatu kota, itu menjadi wisata musikal yang ternikmati dengan keceriaan.
Untuk tahun ini tawaran manggung atau mengisi acara talk shom musik di TV mengalir deras. Tak hanya TV dalam negeri tapi juga beberapa negara tetangga. Malaysia, Singapore, Hongkong, Brunei hingga Australia dan Selandia baru.
Namun dibalik semua pencapaian dan suka cita EZRA, badai nampak dari kejauhan datang mengarah ke rumah EZRA yang sedang berbunga-bunga. Di rumah Ryu di Bandung terjadi sebuah pembicaraan rahasia.
“Don...lo liat sesuatu yang ga beres di EZRA ga?”
“Hah...ga beres? Apaan yang ga beres?”
Ryu mendekatkan posisi duduknya seperti khawatir semesta mendengar apa yang akan dibicarakannya.
“Don...kayanya rumah kita kemasukan maling nih,” bisik Ryu.
“Ih...lo to ya...ngomong yang jelas, pake bisik-bisik lagi, ntar dikira orang kita homreng lagi.”
“Ih...najis tralala trilili gue milih-milih juga kale.”
“Sompret lo beneran homreng?”
“Ih...ada-ada aja lo.”
“Ya udah lo mau ngomong apa?”
“Rumah kita kemasukan maling nih.”
“Hah maling?”
“Ih...jangan keras-keras mlehoy ini rahasia!”
“Oh sorry...sorry...maksud lo rumah lo kemasukan maling?”
“Bukan rumah gue, tapi EZRA. Ini bukan maling biasa Don dia ga nyuri barang tapi dia nyuri nyawa”
“Hah...maksud lo ada pembunuh nyusup ke EZRA?”
“Bukan pembunuh, tapi pengedar.”
“Hah...pengedar?”
“Iya pengedar...ganja man...ganja!”
“Yang bener lo?”
“Iya ...bener, gue sebenarnya udah lama curiga, tapi waktu itu gue blom punya bukti.”
“Sekarang lo punya bukti?”
“Iya...gue punya bukti rekaman video hp gue. Diem-diem gue rekam aksi dia. Waktu itu gue lagi suntuk campur ngantuk. Gue rebahan di bus tour kita. Saat itu gue denger suara orang ngegerutu gitu. Penasaran gue liat siapa sih ni orang. Pas gue liat ternyata orang yang selama ini gue curigai. Makanya saat itu gue rekam aksi mereka.”
“Waduh gaswat ini Ryu, kita lapor kang Anbin aja.”
“Ih...jangan dulu, ini makanya gue ngasih tahu lo dulu karena ini bisa runyam kalo kang Anbin sampe tau.”
“Maksud lo?”
“Kang Anbin kan sejak awal tegas bilang akan memecat siapapun anggota keluarga EZRA yang terlibat narkoba, mau itu personel atau crew bakal langsung dipecat tanpa ampun.”
“Itu kan bagus Ryu.”
“Iya bagus, tapi apa lo rela salah satu dari kita dipecat?”
“Hah...jadi maksud lo ada personel yang terlibat Ryu?”
“Iya...makanya gue ngomong dulu ke lo, gue takut si Mozart tau, bisa gawat Don.”
“Mana videonya gue pengen liat!” gelegar suara Mozart yang tiba-tiba nongol di belakang mereka, membuat mereka kaget dan hampir terjatuh.
“Eh...elo Zart, euh...lo dateng kaya setan ga pake salam,” ujar Ryu kikuk.
“Iya nih, dateng duluan baunya...bau menyan” Donny mencoba menyembunyikan kekagetannya.
“Alah udah...jangan pada basa basi deh. Gue dah denger semua omongan lo Ryu.”
Hening sejenak.
“Gue penasaran kenapa lo bawa-bawa nama gue?”
“Oh...bukan bawa-bawa nama lo Zart, tapi...euh...”
“Ah kelamaan lo, mana sini gue pengen liat siapa orangnya. Gue sependapat sama kang Anbin siapapun orangnya harus keluar dari EZRA.”
“Euh...lo yakin Zart?”
“Iya ...gue yakin, mana gue liat!”
Akhirnya Ryu menyerah. Ia mengambil ponselnya dan memutar sebuah file rahasia. File video berdurasi 3 menit yang akan mengubah jalan EZRA ke depannya.
Mereka bertiga menyaksikan video itu dengan hati berdebar. Ryu, meski dia perekam dan sudah nonton puluhan kali video itu tetep deg-degan. Yang bikin dia deg-degan adalah reaksi Mozart setelah nonton video itu.
Di awal video tampak sosok seseorang menyelusup ke belakang bus tournya EZRA yang diparkir di halaman studio Panorama yang luas. Sosok itu hitam buram, tapi saat sebuah mobil melintasi jalan depan studio wajah orang itu terlihat sangat jelas, si Yosef. Crew EZRA yang menangani dokumentasi dan promosi. Orang yang sama yang membuat cover album kedua EZRA yang bermasalah.
“Gile...ternyata dia orangnya?” desah Mozart geram.
“Iya ternyata si Yosef, udah kita laporin aja ke kang Anbin,” ajak Donny.
“Tunggu...tunggu sampe kalian liat dan dengar semuanya,” cegah Ryu. Dan justru satu setengah menit terkahir dari video itulah yang paling ditakutinya.
Tak berapa lama satu sosok lain menghampiri si Yosef, samar, sampai cahaya sinar lampu mobil yang melintas memberikan Mozart dan Donny sebuah kejutan yang tak pernah mereka sangka. Ya...orang yang menghampiri si Yosef itu tak lain dan tak bukan, Davina!.
Seketika Mozart lemas tapi ia mencoba bertahan, ia ingin melihat dan mendengar apa yang dilakukan dan dibicarakan Davina dengan si Yosef.
“Sef...gimana ada barangnya?”
“Ada...ada...tenang aja nih,” jawab si Yosef sambil menyerahkan sebungkus rokok. Tak lama kemudian Davina memberinya segepok uang.
“Ok...thank you Vin...ini ganja nomor satu Vin makanya harganya ga seperti yang biasa. Ini langsung gue dapet temen Aceh gue”
“Iya...gue tau...ga lo itung dulu duitnya.”
“Nggak lah gue percaya ama lo.”