"Firasat tajam karena keheningan dan tumpul karena keriuhan”
Sehari setelah Davina didepak dari EZRA, Davina berkemas. Malam yang sunyi. Markas EZRA sepi, hanya ada dua tiga orang crew. Davina sedang sibuk dengan beres-beres barang-barang pribadinya. Ia ditemani supir mamahnya, pak Siswo. Davina berencana pindah ke Jogja. Ia akan pergi melupakan EZRA dan memulai kuliah yang sempat tertunda disana.
“Pak...gitar itu ga jadi saya bawa pak, tolong kembaliin ke dalem!”
“Oh...yang ini non?”
“Iya...yang hijau itu, kembaliin aja pak, itu bukan punya saya.”
“Oh baik non,” dan pak Siswo pun menghilang dibalik dinding studio yang temaram.
“Gitar itu punya lo!” suara Mozart memecah sunyi. Suara yang sangat mengagetkan Davina. Suara yang dulu amat dirindukannya, namun kini suara itu jadi suara yang paling dia benci.
“Hah...lo Zart, masih berani ngeliatin muka lo hah?” Bentak Davina dengan emosi yang siap meledak.
“Hai...tenang dulu Vin...tenang biar gue jelasin dulu.” Seperti di sinetron-sinetron lawas, Davina menolak memberi kesempatan pada Mozart untuk memberi penjelasan.
“Halah...apa lagi yang lo mo jelasin, di mata gue , lo tu sampah!” maki Davina. Pak Siswo yang baru muncul dari dalam studio mengurungkan niatnya untuk menghampiri. Ia memilih berdiri di kejauhan di sudut tembok studio.
“Ya...sampah juga punya masih punya nilai kali?”
“Huh...ga lucu tau, gue pikir lo to gila doang ternyata lo jahat. Gue juga ga nyangka lo ternyata dengki sama gue. Emang gue salah apa sama lo huh? Gue punya salah apa sampe lo tega berbuat itu sama gue huh.?!”
Mozart sadar sepenuhnya sedang berhadapan dengan siapa. Ia sedang berhadapan dengan Davina yang sangat membencinya. Ia membiarkan semua uneg-uneg Davina tumpah. Ia memberi ruang pada Davina untuk berekspresi. Ia tak berkata sepatah katapun. Ia berjalan mendekat dan berdiri tepat di hadapan Davina. Mozart seperti menyerahkan diri untuk dihukum.
“Gue udah salah menilai lo. Gue pikir lo tu asyik...ternyata lo munafik. Anjing lo!” Deru nafas Davina menggema meninju langit Bandung yang sunyi. Mozart masih dengan sikap yang sama, diam.
“Gue juga bodo sih...lo gombalin gue mau aja...gue ga tau kalo lo punya maksud jahat. Lo permainin perasaan gue, Mozart sialan...!!! Dan plak...plak...plak... tiga tamparan mendarat di pipi kanan kiri Mozart. Emosi Davina mencapai puncaknya. Mozart masih dengan sikap diamnya. Ia sama sekali tak berniat melawan. Bagaimana mungkin ia melawan dan menyakiti perempuan yang amat dicintainya. Perempuan yang jadi cinta pertamanya.
Davina benar-benar lepas kendali, ia mencengkram leher jaket bromster Mozart, wajahnya mendekat ke muka Mozart. Deru suaranya bercampur tangis yang tertahan.
“Kenapa lo diem aja, ayo lawan...gue...!” Mozart tetap dalam sikap diam sempurna.
“Hey Mozart sialan, puas lo udah mempermainkan perasaan gue...puas lo huh? Puas hah!!!” dengus nafasnya membuncah di wajah Mozart. Mozart menghirupnya dengan ketenangan seorang petapa.
“Gue pikir lo mencintai gue...ternyata lo cuma mempermainkan perasan gue. Lo liat gue...Gue ga bakalan diem. Lo bakal rasain.” Akhirnya mata bertemu mata. Tatapan Davina adalah tatapan letusan gunung merapi sedang tatapan Mozart adalah tatapan telaga, hening, sejuk dan teduh.
Saat kedua mata bertemu, untuk beberapa saat mata Davina masih membarakan murka, tapi perlahan mata itu layu. Ia tak kuat menatap mata telaga Mozart. Sementara emosi yang telah mencapai kulminasi justru merontokan sisa-sisa kekuatannya. Kakinya goyah. Suaranya tak lagi lantang. Suaranya kini adalah lengkingan srigala terluka. Srigala yang tersakiti, Srigala yang terbuang. Suara Davina adalah lolongan kepedihan yang menggigit jiwa.
“Zart, sialan lo...kenapa lo tega permainkan perasaan gue...gue bego...bego mau ikut permainan lo...gue bego mencintai lo...padahal lo cuma mau mempermainkan gue...” hening sejenak.
“Zart ...jadi gini balesan lo atas cinta gue...gue salah udah mencintai lo...sialan lo Zart...”dan “bruk!!” Inilah cara Davina nembak Mozart secara tak sengaja. Davina rubuh. Kakinya tak lagi kuat menahan derita yang kini menindihnya dengan kejam. Menguras sisa-sisa harapannya hingga tandas. Ia terjatuh dan menangis. Jatuh dan menangis di pelukan Mozart. Meski tubuhnya sudah ambruk, tapi mulutnya masih mengeluarkan lolongan kepedihan yang menyayat hati.
“Sialan lo Zart...sialan lo Zart!”