“Kesempatan tak pernah datang dua kali, mungkin tiga atau empat kali”
Sore yang cerah. Kota hujan sedang tak ingin rintik. Matahari bulat jingga di tepi barat, bersiap menjemput lembayung yang masih lelap. Senja sudah tak sabar tuk berpose. Angin hembuskan awan jadi gurat rindu putih putih. Samar di kejauhan tekukur nyanyikan lagu cinta. Sore sedang kemayu rupanya.
Mozart dan Davina sedang duduk berdua di bangku taman pusat rehabilitasi ketergantungan obat dan narkoba. Sementara beberapa orang lain sedang berkumpul bersenda gurau di sudut taman yang lain. Saling berbagi cerita kelam tentang masa lalu sekaligus berbagi cerita tentang harapan di masa depan.
Gitar hijau pemberian Mozart di tangan Davina yang masih harus menjalani program rehab untuk tahap re-entry sementara gitar hijau pemberian Davina berada dalam dekapan tangan Mozart.
“Zart semalem gue bikin lagu.”
“Oh...ya...coba dong gue pengen denger!” ujar Mozart antusias.
“Ah...malu Zart, jelek.”
“Ih...ga pede amat bu, pede aja lagi.”
“Ehm...tapi jangan diketawain ya,” rengek Davina.
“Ya pasti gue ketawain lah.”
“Tuh kan...males ah...”
“Ya masa gitu aja ngambek, ayo dong beneran gue pengen denger”
“Abis lo mau ketawain”
“Ya ketawa lah masa gue mesti manyun. Lo ga ngerti sih arti ketawa yang sesungguhnya.”
“Emang apa arti ketawa yang sesungguhnya tuan Wolfgang Amadeus Mozart yang tampan,” goda Davina. Detak kehidupan rupanya telah kembali berdegup di jantungnya. Nafas harapan telah kembali mengisi rongga jiwanya yang dulu hampa. Senyum telah kembali terbit di ufuk jiwanya yang dulu gelap. Candanya telah kembali. Tapi ada satu yang mencolok, sikap maskulinnya. Sikap itu memudar.
Sebenarnya, Davina adalah sosok perempuan yang amat feminin. Namun semua itu berubah saat ia mengalami deraan sexual harassment dari ayah tirinya. Sikap berontak merubah watak aslinya menjadi maskulin. Tapi Mozart telah berhasil mengembalikan jati dirinya. Meski sikap tomboynya masih cukup kentara, tapi sikapnya sekarang jauh lebih lembut.
“Ketawa itu ada kepanjangannya.” Davina sudah hafal model candaan begini dan ia pun meladeninya.
“Ke?”
“Kepadamu segenap cinta kan tercurah”
“Ta?”
“Tahukah kamu kalo kamu itu jago bikin lagu”
“Wa?”
“Wanita mana yang bisa menandingi kecantikanmu”
“Waduh gombal jadul”
“He...he...he...lumayanlah jadul jadul juga hidup. Ayo Vin, mainkan!”
“Euh ok deh...tapi blom kelar trus belom ada judulnya juga Zart”
“Ya ga pa pa.”
Mozart tanpa malu tiba-tiba berdiri dan dengan suara lantang ia berteriak.
“Hadirin yang kami hormati, kami tampilnya Artis paling berbakat dunia akhirat, Da...vina dengan lagu yang belum ada judulnya.” Beberapa orang penghuni taman menoleh.
Maka mengalunlah sebuah lagu yang tak di sangka tak dinyana membuat Mozart terpana. Melodinya begitu lembut mengalun, liriknya dalam . Ada kesan gloomy sekaligus cheerful. Mozart tak menyangka ternyata Davina menyimpan bakat menulis lagu yang brilian.
Belum ada Judulnya
Ketika kau terpuruk dalam kesendirian
Terhanyut dalam kepedihan teramat dalam
Disaat yang bersamaan semesta hadir
Menemanimu dengan simfoni yang terindah
Maha indah.....maha indah..
Reff: matahari tetap menginspirasimu
Angin tetap hembuskan hidup
Sang pelangi tetap warnai harimu
Dedaunan tetap menari....tetap menari
“Dah...baru segitu”
“Bravo...bravo...” pekik Mozar tak tahu malu.
“Ah...udah Zart malu gue.”
“Eh...maaf mas tadi denger kan lagunya dia?” tanya Mozart pada seorang pasien yang kebetulan lewat dekat mereka dan sengaja berhenti untuk mendengarkan lagu Davina.