Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #18

Obrolan Bubur Ayam

“Bangun adalah saat terpenting dalam bermimpi”

Tak ada waktu yang tak berujung. Malam telah sampai di ujung nyawanya. Fajar bersiap menggantikan bulan yang letih menari semalaman. Seberat apapun beban sang malam, semuanya pasti berakhir di sang fajar. Beban berat itu buncah dan lantas terbang entah kemana saat sang fajar datang menyapa. Begitupun Davina. Hari-hari beratnya di rumah rehab telah sampai di ujungnya. Ada rasa sesal disitu, tapi buncah juga rasa bahagia karena dirinya telah bebas dari marabahaya.

Hari ini, Davina akan pulang. Hari yang ditunggu-tunggunya. Masa rehabilitasi telah dilaluinya dengan cepat. Ia dinyatakan bebas dari narkoba, meski masih dalam pengawasan dan dikenakan wajib lapor seminggu sekali. Sejak semalam ia telah sibuk berkemas. Hari-hari rehabnya akan segera berakhir. Ia akan kembali ke dunia bebas, meski ia belum tahu akan terbang kemana.

Hari-hari berat di panti rehab bisa ia lalui dengan cepat. Semua tak lepas dari peran Mozart. Perhatian penuh Mozart mampu membangkitkan kembali semangat hidupnya yang sempat ingin ia padamkan untuk selamanya. Mozart, yang rela mengontrak rumah dekat panti rehab agar setiap hari bisa mengunjungi dirinya, bukan saja membuatnya bangkit tapi juga membuatnya mekar berseri.

Perhatian Mozart bagaikan hujan yang menyirami bunga kehidupannya yang layu dan nyaris mati. Tetes demi tetes hujan itu begitu sejuk menyentuh jiwanya yang kerontang. Bunga kehidupannya yang telah kecoklatan kini kembali hijau merah kuning mekar berseri.

Selesai berkemas dan menyelesaikan proses administrasi ia pun segera menghambur keluar gerbang. Ia yakin kalau Mozart sudah menunggunya disana. Tapi nihil, diluar sana tak ada Mozart. Aneh pikir Davina, kemana Mozart? Aneh...saat dia menjalani rehab, setiap pagi Mozart sudah berdiri menunggunya di taman, tapi justru di saat ia bebas, sosok yang dicintainya itu tidak menampakan batang hidungnya.

Davina berdiri bingung. Ia tak tahu harus bagaimana dan kemana. Ke Bandung ke markas EZRA? Ah...tentu tidak, ia sudah bukan bagian keluarga besar EZRA lagi. Ke Jakarta, rumah mamahnya? Ah...tidak. Ia benci kalau harus bertemu si monster. Ke rumahnya di Bandung, mungkin? Ah...kamu kemana Zart? Keluh Davina dengan nafas yang berat. Ia tak pegang ponsel, ia tak bisa menghubungi Mozart.

Satu dua bus lewat dihadapannya. Tanpa perlu menyeberang dia bisa menaiki bus menuju Jakarta. Kalau menyeberang dia bisa naik bus menuju Bandung. Lagi, Davina diserimpung bingung tanpa ujung. Sekelebatan pikirannya kembali ke sosok Mozart. “Apa dia marah? Ah...rasanya kemaren ga ada apa-apa, tapi kemana lo Zart?”

Tujuh menit sudah ia berdiri mematung dalam bingung, hingga matanya tertuju pada sebuah tenda kuning, ‘Bubur Ayam Mang Sani’ tepat di seberang jalan. Batinnya mencetuskan sebuah keputusan, “Ah...mending gue makan bubur dulu lah, siapa tahu Mozart dateng.” Davina pun melangkah ke seberang. Tenda bubur ayam itu tampak asri dan bersih. Dua buah meja berdampingan memanjang dengan dua bangku di kedua sisinya. Bangku itu mungkin bisa memuat barang sepuluh orang penikmat bubur.

Davina memesan bubur dengan gelisah dan duduk dengan resah. Posisi duduknya memungkinkan ia untuk melihat gedung pusat rehabilitasi dengan jelas. Maka berjuta kenanganpun menyeretnya kembali masuk ke dalam gedung itu. Ia seperti sedang mengikuti perjalanan napak tilas detik demi detik kehidupannya di gedung itu.

Saat ia larut dalam lamunannya, tiba-tiba teriakan keras memecah lamunannya, “Surprise...!!!”. Edan pikir Davina, tiba-tiba dihadapannya muncul wajah yang paling ia rindukan Mozart. Tapi bukan hanya itu isi surprisenya, muncul juga Donny, Ryu, Kang Anbin, dan kang Aboy minus Debu. Ada lonjakan kegembiraan di hatinya yang sedari tadi resah gelisah. Meskipun kalau disuruh memilih ia lebih suka bertemu Mozart saja.

“Gila kalian ya...jahat ih...tadi ngumpet dimana?”

“Di belakang pohon samping tenda,” jawab Donny.

“Ih...gila kalian, terus kang Anbin ikutan ngumpet juga?”

“Iya neng, dibawah ancaman si Mozart. Ya dari pada nyawa melayang.”

“Ha...ha...sayang banget gue ga liat Kang Anbin ngumpet-ngumpet di balik pohon, kayanya seru banget tuh,” umbar Davina ramai.

“Ah...Kang Anbin doang yang disebut-sebut, da Kang Aboy mah apa atuh?” rengek kang Aboy percis Nobita.

“Eh...iya Kang Aboy, sorry kirain Lee Min Ho,” canda Davina.

“Lee Min Ho from Kawali!” balas kang Aboy. “Neng...kita semua kangen Neng...”

Kata-kata sederhana kang Aboy yang meredupkan tawa. Suasana sendu tetiba hadir. Ada haru yang menderu di benak mereka yang merindu. Setetes air mata tetiba membasahi pipi Davina yang memerah rindu.

“Vina juga kangen kalian semua,” jawabnya sendu.

“Kang...pesen bubur spesial , satu, dua euh...enam! tong dimangkokan! (jangan dimangkokin)” gelegar gila suara Mozart memecah kesenduan. Dan tawa mereka pun buncah, kecuali mang Sani, tukang bubur.

“Jadi dibungkus ini teh A?”

“Ah becanda itumah mang, makan disini Mang.” Jelas kang Aboy mungkin merasa kasian dengan kebingungan seorang tukang bubur yang belum naik haji itu.

Maka selanjutnya dapat ditebak keriuhan mereka dalam canda tawa diselingi lezatnya bubur spesial mang Sani yang enaknya ngalahin bubur buatan chef Juna.

“Eh...attention please...Kang Aboy mau ngasih tebakan, siapa yang bisa nebak boleh nambah buburnya.” Kang Aboy mulai memperlihatkan bahwa obat-obatan anti depressannya belum banyak memberi pengaruh terhadap kondisi kejiwaannya.

“Tebakan apaan Kang?” seru Ryu.

“Nih, burung, burung apa yang huruf e nya tiga?”

“Ee merak”

“salah!”

“Ee elang”

“Salah!”

Semua mikir sampe mengkerut tapi tak kunjung mendapat jawaban.

Lihat selengkapnya