“Bumi memang bulat, tapi dunia itu abstrak”
1,5 bulan sudah Ryu dirawat di rumah sakit. Kesehatannya berangsur membaik dan akhirnya diperbolehkan pulang. Tapi bukan berarti dia bisa langsung bergabung dengan EZRA. Dokter sebenarnya menyarankan Ryu tetap dirawat di rumah sakit, tapi akhirnya mengizinkan Ryu pulang dengan catatan panjang, Ryu tidak boleh melakukan hal-hal yang berat.
Bukan Ryu namanya kalau ia menuruti nasihat dokter. Ia pernah mencoba gabung latihan dengan anak-anak EZRA yang tengah mempersiapkan album ke empat. Tapi ia kembali tumbang dan terpaksa diangkut mobil crew pulang ke rumahnya. Sejak itu kang Anbin melarang Ryu ikut latihan, semua demi kebaikan Ryu sendiri.
Meski tak bisa memberikan kontribusi pada EZRA di penggarapan album ke empatnya, Ryu tetap mendapat perhatian yang besar dari anak-anak EZRA dan crew. Mereka bergantian menengok Ryu, seperti tanpa lelah dan bosan. Hal yang membuat Ryu tak enak hati. Tak hanya menengok, masalah biaya pengobatanpun ditanggung sepenuhnya EZRA. Itu adalah kesepakatan semua anak-anak EZRA dan manajemen. EZRA perlahan tapi pasti sedang berjalan, bertransformasi dari sekedar kumpulan anak-anak yang sekedar suka nge band jadi sebuah keluarga musik. Segala badai yang menghantam rupanya berhasil mengantar mereka pada sebuah kesadaran bahwa uang dan popularitas bukan segalanya. Tapi rasa sebagai sebuah keluarga, dimana di dalamnya ada rasa kasih, sayang, bahkan cinta adalah sesuatu yang jauh lebih penting.
Hingga suatu saat, badai kembali datang. Peristiwa yang dimulai saat mereka usai melakukan konser di Batam. Ketika semua personel dan crew pulang ke Bandung, Debu minta ditinggal. Ia beralasan ada keperluan. Kang Anbin tentu mengizinkan mengingat memang tak ada jadwal kegiatan dalam waktu dekat.
Rupanya yang dimaksud Debu dengan “keperluan” adalah ia bertemu dan berbincang panjang lebar tentang masa depan EZRA dengan seorang produser kawakan asal Singapura. Produser itu menawarkan prospek EZRA masa depan yang jauh lebih cerah. Ia menawarkan project “EZRA Goes to the World”
Dengan berbekal financial yang nyaris tak terbatas, akses dan networking yang sudah mendunia ia menjanjikan EZRA untuk banyak tampil di event-event international. Album mereka akan digarap, diproduksi dan dipasarkan dalam skala yang jauh lebih besar, skala internasional. EZRA akan diperlakukan sebagaimana band-band kelas dunia. Untuk mendapatkan semua itu EZRA tak perlu melakukan apapun selain lepas dari bendera Panorama dan berganti bendera dengan bendera “Light International”. Sebuah grup raksasa yang menaungi banyak artis dan band internasional yang sukses. Sungguh tawaran yang menggiurkan, terutama bagi Debu yang sangat terobsesi untuk membawa EZRA goes to the World dalam arti yang sesungguhnya.
Bagaimana dengan anak-anak EZRA yang lain?
“Bu...jadi lo ketemu Mr. Goldziher pas di Batam?” tanya Donny seperti meragukan keterangan Debu sebelumnya yang bilang ia gak sengaja ketemu Mr. Gold di Batam pas ia berburu barang-barang khas Batam.
“Iya pas gue jalan-jalan beli oleh-oleh buat kalian, eh...dia nyamperin trus ngajak ngobrol deh.”
Kalimat yang diyakini Mozart sebagai sebuah dusta belaka.
“Nah...gitu deh seperti yang gue ceritain ke kalian tadi, dia nawarin kita kesempatan guys. Kesempatan EZRA buat berkembang. Kesempatan EZRA untuk mendunia,” gebu Debu.
“Tapi kita kan terikat kontrak sama Panorama sampai album ke lima Bu.” Ujar Davina yang merasa dilematis dengan ajakan Debu. Bukan ia tak mau EZRA mendunia tapi komitmen EZRA pada kontrak dengan Panorama juga harus diperhatikan. Begitulah yang berkecamuk di dalam pikiran Davina. Sementara Mozart tampak tak acuh, ia memainkan gitarnya meski pelan. Kang Anbin menyimak dengan sangat hati-hati. Sementara Ryu masih terbaring di rumahnya.
“Oh masalah itu tenang aja, Mr Gold menjamin bahwa itu akan dia urus dengan mudah. Gue ga tau gimana caranya tapi pokoknya dia jamin kalo itu bukan masalah buat dia.”
“Tapi ya ga enak juga dengan Panorama lah Bu, apa ga lebih baik nunggu sampe kelar lima album, baru kita mikirin buat melebarkan sayap” ujar Donny.
“Ya...keburu di patok ayam rezekinya Don. Kita berburu dengan waktu guys. Kesempatan ga dateng dua kali,” gebu Debu.
“Maaf Bu, saya sebenarnya setuju dengan usul kamu, tapi bener kata Donny kita harus menjaga komitmen kita dengan Panorama. Ok lah si Mr Gold bisa ngurus itu semua, tapi nama baik kita jadi tercoreng Bu.”
“Tercoreng gimana Kang?”
“Ya tercoreng, kontrak itu kan janji Bu, dari awal kita berkomitmen untuk menjaga dan memenuhi isi kontrak kita dengan Panorama.”
“Iya lagian mereka ga pernah tuh melanggar kontrak, semua kewajiban yang merupakan hak kita, mereka berikan sesuai dengan waktu dan jumlah yang tertera di kontrak. Mereka ga pernah ngelanggar kontrak, kok ini kita yang mau melanggar kontrak, ga elok Bu!” serbu Donny.
“Ya ga gitu juga Kang, Don. Menurut Mr. Gold, dia akan mengurus semuanya tanpa melibatkan kita jadi kita ga akan dicap melanggar kontrak.”
“Iya tapi gimana caranya Bu?” tanya Davina. Sementara Mozart masih asyik dengan petikan gitar pelannya, seolah mengiringi drama yang sejatinya akan jadi awal pecahnya EZRA.
“Gue kan dah bilang, gue ga tau caranya. Tapi kita kan udah sama-sama tahu reputasi Mr. Gold di industri musik dunia. Udah banyak musisi dan band yang bernaung di bawah manajemennya, semuanya berhasil dan mendunia, ya kan?”
“Iya sih kalo masalah reputasi dia udah ga perlu dipertanyakan lagi, tapi bagaimana dengan reputasi kita sendiri? Menurut gue reputasi kita tetap tetap dipertaruhkan disini. Apapun cara yang ditempuh Mr. Gold tetep aja nama baik kita akan tercoreng.” Ujar Donny dengan tensi yang mulai menghangat.
“Ya jangan samain kita dengan si Mr. Gold lah. Orang sekaliber dia pasti punya cara yang mungkin ga kepikir sama kita, jadi menurut gue sih jangan terlalu dipersoalkan lah hal-hal teknis kaya gitu.”
“Maksud lo Bu?” tanya Davina.
“Ya...yang penting EZRA bisa mendunia, biarkan masalah-masalah ecek-ecek gitu jadi urusannya dia. Apa kalian ga mau EZRA mendunia?, come on guys ini kesempatan besar dan langka!”
“Tapi maaf ya Bu, saya pernah membaca artikel yang bahas bandnya Irving Hall, ‘The Track’ yang hengkang dari manajemen Mr Gold karena ngerasa kebebasan mereka berekspresi dikekang.”
“Yah...itu lagi Kang, coba akang itung berapa yang keluar, berapa yang bertahan. Cuma The Track doang yang hengkang, yang lain anteng-anteng aja tuh. Udah deh pokoknya kita harus ambil kesempatan ini, jangan sampe kita nyesel.”
Semua diam, Mozart masih asyik dengan petikan gitarnya. Tak ada yang berani mengusik Mozart. Semua sudah faham keunikan Mozart. Dia akan bicara tanpa diminta. Dia akan bicara kalau dirasakan perlu saja.
“Guys, nembus pasar internasional itu susah guys. Nah ini kita ditawarin kontrak ekslusif untuk mendunia kok malah sibuk ngurusin tetek bengek hal yang ga penting, kapan kita mau maju guys?”
“Bentar bentar...,” tiba-tiba Mozart bersuara.
“Ada yang tau nggak kenapa tetek bisa bengek? Apa si tetek alergi sama bulu kucing? atau si tetek ga tahan udara dingin Lembang, makanya dia jadi bengek?” pertanyaan sinting yang merusak suasana tegang. Ada sesungging senyum dari mulut Davina, Donny dan kang Anbin, tapi tidak dengan Debu.
“Zart ...serius lah ini masalah serius Zart!” ungkap Debu kesal.
“Serius itu ada kepanjangannya Bu” Kebiasaan lama yang belum sembuh. Kebiasaan lama yang kemudian disambut Donny.
“Se...?”
“Semangat boleh tapi jangan sampai ga punya akhlak.”
“Ri...?”
“Ringan di mulut berat di perbuatan.”
“Widih...Us...?”
“Ustadz gue di kampung bilang, jangan pernah tinggalkan shalat!”
“Hadeuh Jaka Sembung...Jaka Sembung...kapan si lo bisa nyambung sama kehidupan?” Donny dengan muka bloonnya.
“Hih...bukan masalah Jaka Sembung inimah. Tuh adzan maghib sudah berkumandang. Kita shalat dulu. Jam-jam segini setan lagi pada wara wiri nyari orang dongo kaya lo Don!”
“Hiy...!!!” Donny bergidik
“Iya bener, ayo shalat Maghrib dulu!” ujar kang Anbin.
Dan percakapan tentang EZRA goes to the World pun tertunda. Menunda ambisi Debu. Menunda keraguan anak-anak EZRA untuk goes to the World.
*****