Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #22

Perempuan Pembawa Jagung

“Cinta pertama itu dokumen asli, sementara cinta ke dua, ke tiga dan seterusnya adalah fotocopy yang dilegalisir”

Perempuan cantik itu telah menua. Umurnya baru 48 tahun tapi penampilannyalah yang membuat ia tampak begitu tua . Lebih tua dari yang seharusnya. Perempuan itu bernama Clara, pekerjaannya membantu Bu Sukma berjualan jagung bakar di kawasan puncak Bogor. Bu Sukma teman kang Aboy, baru menyadari bahwa pembantunya adalah sosok Clara yang dicari anak-anak EZRA setelah membandingkan foto yang dikirim kang Aboy dengan wajah Clara.

Awalnya ia tak menduga bahkan tak perduli. Tapi lama kelamaan dia merasa bahwa Clara pembantunya itu adalah Clara ibundanya Mozart, musisi yang sedang naik daun. Apakah dugaannya benar?

Malam itu di puncak Bogor

 “Assalaamu’alaikum Bu, dengan bu Sukma?” tanya Mozart sopan.

“Iya...saya mas...dengan mas Mozart ya?”

“Iya saya Mozart bu, ini Davina”

“Ih atuh ini mah idola saya atuh mas Mozart, si neng Davina...aduh meuni geulis pisan.” Celotehnya kegirangan karena didatengi idolanya. Setelah minta foto berdua dengan Davina barulah bu Sukma bisa diajak bicara lebih lanjut.

“Bu...boleh ketemu bu Claranya?” pinta Mozart.

“Iya...iya sebentar...euh dia lagi ambil jagung ke rumah saya, bentar lagi juga dateng.”

Tak berapa lama, sebuah motor dengan keranjang besar berisi jagung dibelakangnya datang. Motor itu dikendarai seorang perempuan yang buram karena bayang malam menutupi.

“Tuh...Clara!” kata bu Sukma.

Didorong rasa penasaran yang teramat sangat, Mozart beranjak mendekati wanita yang baru saja memarkirkan motornya di halaman warung. Setelah dekat dan wajah wanita itu semakin jelas Mozartpun menghambur tak kuasa menahan diri. Ya...perempuan pembawa jagung itu ibunya ,Clara.

“Bu...!” Mozart memeluk ibunya erat

Yang dipeluk kaget bukan kepalang karena tiba-tiba seorang laki-laki memeluknya dan memanggilnya ibu.

“Eh...tu...tunggu...kamu siapa?”

Seketika Mozart menghadapkan wajahnya tepat dihadapan wajah ibunya.

“Hah...Mozart...ini kamu Nak?”

“Iya Bu...ini Mozart!”

Maka mereka berduapun berpelukan erat lama sekali. Tangis sesegukan terdengar menggema keluar dari mulut bu Clara. Tangisan tanpa kata. Dari lubuk hatinya sebenarnya ia merasa malu pada anaknya. Ia malu karena dulu ikut mengusirnya keluar dari rumah. Juga malu karena ia hanya seorang pembantu sedangkan anak yang diusirnya sudah jadi orang terkenal dan kaya raya.

Davina ikut melelehkan air mata haru. Ia bahagia sekali, Mozart, belahan jiwanya telah menemukan ibunya, perempuan yang kelak diharapkannya juga jadi ibunya.

Setelah haru mereda. Mereka bertiga duduk di kursi dengan bajigur dan bandrek menemani pertemuan malam mereka.

“Bu perkenalkan ini Davina.”

“Saya Davina Bu.” Ujar Davina rengkuh sambil menyodorkan tangan dan mencium tangan Clara.

“Iya ibu tahu ini Davina, Yaa Allah kamu cantik sekali Nak” puji bu Clara.

Davina tersipu malu.

“Kok ibu tahu Davina?” tanya Mozart.

“Zart, ibu tahu kamu, tahu temen-temen kamu, tahu EZRA, ibu selalu nonton kalau kalian ada di TV”

“Hah...jadi ibu sudah tahu Mozart sejak lama?”

“Iya nak, ibu tahu.”

“Ya ampun bu, Mozart tuh nyari-nyari ibu kemana-mana. Mozart juga nyari ibu ke rumah kita dulu tapi kata mang Darmin ibu udah pergi.”

“Iya Nak...ibu sudah tidak berhak lagi tinggal di rumah itu.”

“Tapi kalau ibu tahu Mozart, kenapa ibu ga nyamperin Mozart?”

“Euh...ibu malu Nak.” Tiba-tiba tangisnya kembali terisak.

“Ibu malu ...dulu ikut-ikutan ayah kamu ngusir kamu. Ibu bener-bener malu Nak.”

“Ya Allah bu...Mozart kangen sama ibu” bisik Mozart seraya tubuhnya condong ke ibunya.

“Ibu ga berani datengin kamu Zart. Ibu cuma pembantu Zart, sedang kamu sekarang sudah jadi orang terkenal, kamu sudah jadi artis besar. Ibu takut disang-...”

“Bu...kok mikirnya gitu sih. Ga mungkin lah bu Mozart mikir kaya gitu. Pokoknya ibu sekarang harus ikut Mozart.”

“Hah...ikut kemana Nak?”

“Ikut Mozart ke Bandung. Ibu harus tinggal sama Mozart!” tegas Mozart.

“Tapi ibu ga bisa Nak, ibu sudah betah disini. Biarpun cuma berjualan jagung, tapi ibu senang.”

“Bu ibu sayang kan sama Mozart?”

“Iya...ibu sayang sama kamu Nak.”

“Nah...kalo ibu beneran sayang sama Mozart, ibu harus ikut Mozart. Ibu harus tinggal sama Mozart” paksa Mozart untuk kedua kalinya.

Clara terdiam. Ia meragu. Bagaimanapun bayangan kesalahan masa lalunya menahannya untuk mengikuti ajakan Mozart. Ia malu dan merasa tak kan sanggup mendengar hinaan atau sindiran padanya kelak.

“Bu ...sudah lama sekali kita ga bersama-sama, sejak kelas dua SMA kita sudah berpisah. Apa ibu ga kangen Mozart?”

“I...Ibu kangen sama kamu Zart, tapi apa nanti kata orang kalo ibu yang cuma penjual jagung...euh...”

“Sudahlah bu, jangan denger kata orang. Sekarang waktunya Mozart bahagiain ibu. Ibu dulu yang merawat dan menjaga Mozart, sekarang giliran Mozart yang jagain ibu.” Kalimat yang membuat hati Clara luruh. Akhirnya ia bersedia diboyong Mozart ke Bandung.

Angin mendesir diantara dedaunan teh yang sedang saling bertukar kata. Mereka asyik bergosip tentang peristiwa yang baru saja mereka lihat. Gemintang sesekali kedip, seperti mengingatkan para dedaun yang salah dialog. Bulan tersenyum sabit melihat drama kasmaran itu. Tonggeret dan jangkrik yang dilewati mobil Mozart, Davina dan Clara bershalawat cinta. Mengiringi cinta yang pergi meninggalkan dinginnya malam Puncak. Seperti kepenasaran burung malam yang tak henti mengikuti , di dalam mobil yang menuju Bandung, tiga kali Clara bertanya pada Mozart dan Davina, “Kapan kalian nikah?”

 *****

Clara tak menyangka hidupnya kembali berputar. Setelah mengecap kemewahan bersama ayahnya Mozart dulu, ia terhempas begitu saja hingga harus menjadi pembantu penjual jagung di Puncak. Dan kini dunia kembali berputar. Ia kini tinggal di rumah yang tidak mewah, namun besar dan asri, rumah Mozart. Rumah yang dibeli Mozart setelah Donny hengkang dari kostan mereka dulu.

Ia merasakan kebahagiaan kembali datang menghampiri hidupnya, meski ia seringkali merasa kesepian bila Mozart pergi keluar kota atau ke luar negeri. Bukannya Mozart tak mengajaknya ikut, tapi ia sendiri yang menolak dengan halus. Ia tak mau mencampuri urusan pekerjaan anaknya. Untuk itu ia mencoba menikmati kesepiannya. Ia mencoba menyirami kesepiannya dengan gerimis syukur. Betapapun sepi, tapi kini ia bahagia bisa menebus kesalahnya pada Mozart, anak satu-satunya.

Hari itu, Mozart dan anak-anak EZRA sedang manggung di kota Malang dan Clara kembali terendam sepi. Ia menyalakan televisi hingga ia menemukan sebuah berita “Ryu personel EZRA meninggal dunia”

Lihat selengkapnya