“Tiga pilar kebahagiaan adalah, kebersyukuran, kebaikan dan cinta”
Rupanya Debu masih menggebu. Kepergian Ryu tak menyurutkan ambisinya untuk membawa EZRA lebih mendunia. Tawaran yang dulu sempat diberikan Mr Gold namun urung terlaksana, kini datang lagi dengan iming-iming yang lebih menggiurkan. Debu yang terobsesi jadi musisi kelas dunia pun kembali mengguncang EZRA yang baru saja berduka akibat kehilangan Ryu.
“Guys, ini bener-bener kesempatan emas guys. Tahun ini banyak sekali event besar berskala internasional. Kalo kita ikut manajemennya dia, kita bisa ikut event itu. Dan itu kesempatan emas buat EZRA.”
“Kita masih berduka Bu,” sela Donny.
“Hey...jangan lo kira gue ga berduka, gue juga sedih EZRA harus kehilangan Ryu, tapi kita harus cepet move on.”
“Iya move on, tapi move onnya ke album kelima, bukan loncat pagar!” sergah Davina.
“Hadeuh...gini deh...coba kita semua pake perspektif lain deh!”
“Maksud kamu gimana Bu?” tanya kang Anbin sabar.
“Maksud gue tuh, kita coba jangan egois!”
“Maksud egois?”
“Ya jangan cuma mikirin diri kita sendiri, jangan cuma mikirin EZRA tapi coba ngeliat dari sisi fans kita!”
“Maksud?”
“Coba bayangin, kalo kita berhasil mendunia, bukankah fans kita bakal senang dan bangga?”
“Iya tapi...,” sela Donny yang keburu dipotong Debu yang kembali menggebu.
“Belum lagi Indonesia, Indonesia bakal bangga guys. Nama baik Indonesia akan terangkat. Cobalah liat dari sisi itu. Masalah kontrak kita dengan Panorama biar Mr. Gold yang urus, kita mah fokus aja sama kerjaan bermusik kita.”
Semua terdiam termasuk Mozart. Betapapun, kehilangan Ryu masih membekaskan luka yang cukup dalam di hatinya.
“Gimana guys?” kembali Debu memecah hening.
“Kalau saya tetep pada komitmen awal, kita tuntaskan kontrak kita dulu dengan Panorama, setelah itu baru kita mengambil sikap, lanjut dengan Panorama atau pindah ke lain hati. Itu sikap pribadi saya, ga tau kalo yang lain?” ungkap kang Anbin bijaksana.
“Gue sih setuju dengan kang Anbin, kita beresin dulu lah sama Panorama kan tinggal satu album lagi,” ujar Davina
“Gue idem, setuju ma Davina dan kang Anbin, lo gimana Zart?” tanya Donny
“Ehm...dari awal gue udah bilang kalo gue mah lebih seneng kita mengalir aja. Bukan ga pengen bergerak lebih maju, terbang lebih tinggi. Bukan ga mau membanggakan Indonesia, tapi ya itu tadi ...mengalir.”
“Maksudnya, tuan Socrates?”
“Mengalir...episode kita sekarang sedang bersama Panorama ya nikmati saja. Kedepannya kita akan gimana...ya biar mengalir aja!”
“Aduh ga jelas lo Zart!” potong Debu yang mulai emosi karena lagi-lagi idenya tak disambut baik oleh anak-anak EZRA dan kang Anbin.
“Bu...dalam bermusik gue selalu pegang prinsip berkarya, bermusik, bernyanyi...itu saja. Sorry kalo gue harus bilang, kalo gue ga peduli dengan semua hingar bingar popularitas. Mau lokal kek...mau intenasional kek...mau dunia akhirat kek...gue ga perduli. Itu semua cuma bonus Bu”
“Ok...emang salah ngejar-ngejar bonus?”
“Ga ada yang salah kalo lo mau kejar, ya kejar aja, cuma kalo gue males.”
“Hah...lo Zart,” keluh Debu kecewa.
“Buat gue, bonus itu cuma bayangan diri kita sendiri. Dikejar dia lari, berpaling dia ngikutin.”
“Hadeuh...terus terang gue kecewa guys. Ide gue ga pernah diterima. Gue kaya ga dianggap di EZRA! Padahal semua ini gue lakuin buat EZRA juga. Buat kemajuan EZRA!”
“Bukan ga pernah diterima Bu, sudah banyak kan ide kamu yang kita terima selama ini. Cuma untuk masalah ini kita ga setuju karena kita masih terikat kontrak dengan Panorama, itu saja.” Tandas kang Anbin masih dengan ketenangannya.
“Bu...jasa lo buat EZRA udah ga keitung bro...Bahkan menurut gue , lo tu yang paling besar perannya dalam mendirikan, membangun dan mengembangkan EZRA,” ujar Mozart membesarkan hati Debu.
“Ya bener, yang selalu nyemangatin kita pas kita down itu lo Bu,” tambah Davina.
“Ah...bacot kalian!” Sumpah serapah Debu dengan emosi yang makin memuncak. Nafasnya terdengar menderu, tanda badai emosi tak mampu lagi tertahan.
“Kalo kalian beneran nganggep gue, kenapa ga mau ikut ide gue. Gue cape bareng orang-orang yang susah diajak maju.” Suasana makin memanas.
“Bukan ga pengen maju Bu, gue cuma ga pengen jadi penghianat itu aja kok.” Ungkap Donny yang juga mulai panas.
“Halah pake bawa penghianat-penghianat segala, bukannya kita emang sudah jadi penghianat dari dulu. Kita udah jadi penghianat pas kita gabung di EZRA!” Debu makin memanas.
“Loh kok lu bawa-bawa itu lagi sih?” sergah Davina yang juga mulai terbawa bara suasana.
“Ya emang...kita emang sudah jadi penghianat dari awal, jadi jangan sok suci lah!”
“Wey...wey...sabar bung...ja-...” upaya Mozart dipotong Debu.
“Ah...udahlah Zart, kalo emang kalian ga mau terima ide gue, gue mundur dari EZRA. Gue udah muak!” pekik Debu.
“Bu...sabar Bu” lagi Mozart mencoba menenangkan.
“Halah...sudahlah Zart, lagian gue juga dah bosen dikangkangin lo terus, gue dah bosen jadi nomer dua!”
Hening sejenak, hening yang membara. Mozart yang biasanya gila, kali ini mencoba bersikap lebih tenang. Kata-kata Debu barusan menyadarkannya bahwa secara tidak disadari dia telah berdiri terlalu tinggi. Ia tersadar bahwa egonya seringkali menafikan ego orang lain, terutama Debu.
“Bu...sorry kalo selama ini gue egois, gue ga bermaksud jadi nomer satu atau bermaksud ngangkangin lo. Tapi kalo lo pengen jadi nomer satu, dengan senang hati gue nurut Bu.”
“Ah...udahlah kalian semua munafik. Sok suci...sok bener...sok ga mau jadi penghianat padahal kalian sendiri itu penghianat!” Debu rupanya sudah tak bisa didinginkan.
“Ya sudah...kalo lo udah ga mau denger kita lagi, kalo lo udah muak, gue ga akan menghalangi. Kalo lo emang mau pergi ya...silahkan!” ujar Mozart masih dengan nada suara datar.
“Ok...gue cabut dari EZRA...gue keluar dari EZRA. Gue kecewa berat...anggap aja gue ga pernah ada! Gue muak!” serbu Debu seraya beranjak dari hadapan anak-anak EZRA dan kang Anbin yang terpaku.
“Brak!!!” pintu markas dibanting dengan keras, seiring perginya seorang Debu dari rumah EZRA, rumah yang dibesarkan dan membesarkannya. Pintu itu menggetarkan duka. Bagaimanapun pintu itulah yang pertamaka kali dimasuki Debu saat masuk rumah EZRA. Dan kini Debu telah pergi melewati pintu yang sama. Pergi dengan membawa gunung amarah yang memuntahkan lahar panas. Bagaikan dust in the wind, Debu pergi keluar dan menjauh dari rumah EZRA. Pergi ditiup angin utara entah kan bermuara dimana.
“Ini bagaimana Kang?” tanya Donny.
“Ya...ga gimana-gimana, terpaksa kita jalan terus.” Ujar kang Anbin membesarkan hati Donny yang tampak limbung.
“Iya...kita jalan terus, paling tidak satu album lagi. Udah gitu kita mikir lagi,” ujar Mozart.
“Iya gue setuju,” ungkap Davina.
“Tapi kita tinggal bertiga Zart,” cemas Donny.
“Three-pieces Band bertebaran di dunia Don. Dan mereka keren-keren bro! The Police juga bertiga, Nirvana, Motorhead, Green Day, Muse, Blink, belum lagi Lex Trio, mereka bertiga tapi tetep keren kan?” hibur Mozart