Lagu Untuk Davina

kieva aulian
Chapter #24

Lagu Untuk Davina

“Bahagia itu sederhana, saking sederhananya kita jadi begitu sulit mendapatkannya”

Lima Tahun kemudian

Arena of Nimes, Perancis, bangunan berbentuk elips dengan panjang 133 m dan lebar 101 m itu telah disesaki penonton. Tak kurang dari 24.000 penggemar The Code telah menunggu band idola mereka tampil. Gemuruh penonton seperti badai yang mengganas. Teriakan-teriakan mengelu-elukan The Code tak kunjung henti. Malam itu, Arena of Nimes jadi saksi kesuksesan The Code yang memang tengah berada di puncak popularitasnya.

Teriakan-teriakan bak badai seperti itulah yang selalu diimpikan Debu, Debu Antariksa salah satu personel The Code, band asal Inggris. Ya...The Code bukan band Indonesia seperti yang dicita-citakan dan diharapkan Debu. Debu tak berhasil meyakinkan Mr. Gold untuk menyematkan Indonesia atas nama The Code. Mr. Gold hanya mau menyematkan nama Indonesia bila EZRA dengan formasi lengkapnya yang bergabung ke manajemennya. Wal hasil, nama Indonesia sekedar terselip saja di dalam nama besar The Code. Publik hanya mengenal Debu sebagai salah satu personel The Code asal Indonesia. Tapi itu dulu, dua tahun yang lalu, sekarang tak ada lagi nama Indonesia yang bisa Debu bawa dalam nama besar The Code. Dua tahun lalu Debu telah berpindah kewarganegaraan. Dua tahun lalu ia telah resmi jadi warga negara Inggris.

Keputusan yang terpaksa diambil Debu untuk memenuhi bujukan gadis Inggris kekasihnya. Kekasih yang sangat dicintainya. Hal itu sejalan dengan keinginan manajemen Mr. Gold yang ingin merangkul pasar Inggris yang lebih besar dan menguntungkan dibanding pasar Indonesia. Hal itu juga dilakukan manajemen Mr. Gold untuk menghindari maraknya pembajakan yang dilakukan oleh warga Indonesia yang masih sulit untuk keluar dari kebiasaan lama, membeli cd bajakan dan melakukan freedownload untuk mendapatkan lagu-lagu favorit mereka. Keputusan yang dilematis bagi Debu yang sedari awal berkoar-koar untuk membawa nama besar Indonesia ke kancah internasional.

Keputusan yang mengundang murka kedua orang tua Debu yang merupakan duta budaya Indonesia di kancah internasional. Ayah Debu merasa citra dirinya sebagai duta budaya tanah air tercoreng. Sejak itu hubungan mereka merenggang. Ayah dan Ibunda Debu kecewa dan tak mau lagi mengakui Debu sebagai anaknya.

Saat Debu menikahi gadis asal Inggris itu, kedua orang tuannya tak merestuinya. Seperti lagu ciptaannya yang ikonik sewaktu di EZRA, Debu sekarang benar-benar jadi seorang solitude. Sendiri di tengah gegap gempita kesuksesan The Code. Tak seperti di EZRA yang begitu kental dengan suasana kekeluargaan, di The Code ia harus menelan pedihnya kesendirian itu seorang diri.

Ketenaran sebagai musisi dunia kini terasa hampa dirasakan Debu. Popularitas yang dulu begitu menggebu ia kais ternyata rasanya tak seperti yang ia harapkan. Ia memang berhasil mencapai puncak popularitas tapi ia tak bahagia, bahkan ia sudah lupa dengan namanya bahagia. Gelimang harta juga ternyata tak mampu membelikannya barang sebungkus kebahagiaan. Kebahagiaan yang dulu begitu murah untuk dibeli, kini tak mampu ia beli meski dengan segepok uang. Dulu ia bisa membeli kebahagiaan cukup dengan sebungkus nasi uduk seharga lima ribu perak. Sekarang dengan uang jutaan dolar ia tak mampu membeli kebahagiaan. Bahagia adalah kata yang telah lama hilang dari jiwanya.

Ia sendiri dalam duka. Istrinya sibuk dengan urusan sosialitanya. Teman-temannya di The Code sibuk dengan urusan pestanya sendiri-sendiri. Tak banyak tegur sapa antara mereka kecuali urusan musik. Tak ada celotehan Ryu yang sok kritis, Tak ada latahnya Donny yang selalu mengundang tawa. Tak ada cemberutnya Davina yang menggemaskan. Tak ada tegur sapa hangat kang Anbin. Tak ada kekonyolan kang Aboy. Dan tak ada lagi kegilaan Mozart yang kini amat ia rindukan. Debu terserimpung sepi yang menggigit.

Kini tak ada lagi kebanggaan seorang ayah dan ibu atas keberhasilan dirinya mencapai puncak kesuksesan. Debu dilarung bingung. Ia tak tahu bagaimana menikmati kesuksesannya. Ia memang berhasil menggapai kesuksesan, tapi kini ia tak tahu bagaimana menikmati itu semua. Ia tak merasakan kenikmatan saat menghirup kesuksesan itu sendirian. Ia ingin berbagi dengan orang-orang yang dicintainya, tapi siapa? Mereka semua sudah tak ada lagi di lingkaran hidupnya. Ia kini tak lebih dari seorang alien. Hidup di negeri orang tanpa seorangpun peduli. Sungguh kesepian yang menyakitkan.

*****

Kafe ‘Ryu’ namanya, ownernya Donny. Kafe yang lebih tepat disebut rumah musik, dimana para pemetik nada bisa nongkrong sambil ngopi-ngopi cantik. Sengaja diberi nama Ryu, untuk mengenang persahabatan mensejarahnya dengan Ryu.

Donny sendiri yang tampil menghibur bergantian atau bersamaan dengan Mozart dan Davina. Selain itu Donny juga bekerjasama dengan kang Anbin dan Komunitas Musisi Balada untuk menghibur para pengunjung sekaligus untuk memberi kesempatan tampil pada para musisi muda. Satu menu khas yang jadi andalan kafe itu adalah ‘Bubur Ayam Bu Marhamah’

*****

Komunitas Musisi Balada mengadakan pertunjukan. Anak-anak jalanan adalah bintang utamanya. Rencana EZRA yang dulu sempat tertunda, kini dapat terwujud berkat tangan dingin kang Anbin. Ia kini jadi ketua Komunitas Musisi Balada yang ditinggalkan kang Mufti dulu.

Kang Anbin tak lagi memanajeri EZRA karena EZRA telah terkubur dalam buku sejarah musik tanah air. EZRA hanya meninggalkan nama dan lagu-lagu yang masih terus dan mungkin akan terus didengar dari generasi ke generasi.

*****

Di padang rumput yang terhampar luas, hijau diselingi kuning merah bunga kamboja yang berguguran, seorang bocah berlarian dikejar anak remaja laki-laki yang kelihatan seperti kakaknya. Di belakangnya dua anak remaja laki-laki dan perempuan turut mengejar dan memanggilnya. Suara tawa bocah kecil itu bak nyanyian dewa, bergema meninju dunia. Anak remaja yang mengejarnya sepertinya kewalahan dan tak hentinya memanggil bocah kecil itu “Ezra...jangan cepet-cepet...” teriak anak remaja bernama Rey itu. Seperti tak perduli dengan kekhawatian Rey, Jaka dan Cinta, bocah bernama Ezra itu terus berlari. Rupanya ia mewarisi “kegilaan” ayahnya, Mozart.

Lihat selengkapnya