Tak ada teriakan paling berani, selain sebuah perlakuan dari hati yang sejati. Tentu terdengar menggelegar, menggebu, dan mampu mengimbangi sengat mahatari. Tak peduli, udara panas yang terus bertiup ke penjuru kota ini. Orang akan melihat api semangat itu tumbuh di mata para pendemo. Gedung DPR yang berdiri kukuh, seakan-akan dunia asing yang tak pernah benar-benar dimiliki oleh rakyatnya sendiri di negeri ini.
Para musisi yang hadir, kulihat berbaur. Tak ada sekat, suara mereka kali ini untuk rakyat. Bukan suara yang semata hanya untuk menghibur. Mencari untung dan mendayung kepopuleran.
Dengan beberapa kawan, aku menolak reklamasi teluk Jakarta yang sampai saat ini masih juga tak ada kejelasan dan begitu mengkhawatirkan. Meski puluhan kilometer jaraknya, aku dan mereka yakin, inilah saatnya kita mendapat solusi baik untuk proyek yang jelas merugikan itu. Di manapun berdiri, maka berdirilah di pihak yang berani meruntuhkan tirani. Akan kulantunkan lagu demi lagu, dengarlah!
Dari gedung DPR, tentu saja tak ada seorang pun yang berani keluar. Mungkin mereka tak lagi punya rasa malu mengaku mewakili kami, malah diam-diam asyik sembunyi.
“Mungkin mereka lupa cara mendengar karena terlalu banyak bicara!” Aku bergurau di sela-sela rehat tengah siang ini. Suaraku agak serak.
Aku memang bukan orang Jakarta, hanya lelaki keturunan Indonesia Timur, yang sejak dulu jarang diperhatikan aspirasinya. Makanya, ketika ada ajakan untuk turun bersama mereka ke jalan meneriakkan ‘suara hati’, dengan kesadaran sendiri, aku pun turun. Hampir sebagian besar, demo ini diikuti para musisi. Ada bayangan alam yang sedang merintih kesakitan, terdengar ngilu bagi kalbu-kalbu kami.
Saat rehat itulah, aku melihat beberapa orang lalu-lalang. Beberapa dari mereka tertarik oleh isu yang kami suarakan. Menjaga ekosistem alam, mempertahankan bumi nusantara dari mereka yang bisa menghancurkannya dengan semena-mena.
Orang-orang mengenakan kaus putih sebagai bentuk peduli, bertuliskan “Tolak Reklamasi”. Beberapa memakai ikat di kepalanya dengan slogan perlawanan. Apa pun latar belakangnya, mereka berkumpul bersama-sama. Di mata mereka, aku dan kawan musisi lain tak ada yang mesti diragukan lagi, selain melawannya sampai titik penghabisan.
Fatamorgana siang merayap di atas permukaan lapang parkiran. Panggung kecil sedang sepi, hanya ada beberapa alat musik berceceran. Meski jeda orasi dari atas mobil, beberapa masih membagikan stiker dan mempersilakan menandatangani petisi “Tolak Reklamasi” di bentangan spanduk yang panjang.
Aku pun memilih duduk di pinggiran. Parkiran saat itu memang tampak lebih luas karena kami “mem-bookingnya” untuk demonstrasi. Aku reguk air botol mineral, dan seketika betapa dahaga terasa telah lama melanda tenggorokanku.
Aku masih melemparkan pandangan ke kerumunan orang-orang yang bersiap kembali aksi. Entah ada perasaan apa yang membuat diri ini menjadi bahagia di tengah mereka. Padahal bersama dengan langit Jakarta yang seolah setiap hari dilubangi asap polusi, panas terik yang menusuk ke ubun-ubun, dan jerit klakson setiap detiknya--jiwa dan tubuh ini letih sebenarnya.
Hanya ketika tiba-tiba bertemu orang-orang yang masih memiliki itikad dan peduli seperti mereka ini, seluruh rasa lelah itu terbayar lunas. Juga karena aku bertahun-tahun terbiasa menjalaninya rutinitas aksi. Betapa nikmat, tiap kali aku tahu memiliki mereka, teman diskusi dan buku demi buku yang setia menemaniku di tengah kewajibanku--konser demi konser.
Jadwal panggung yang padat, tak membuatku harus mengeluh. Aku tersadar, di luar sana masih ada yang cemas--demi hidup harus mengerjakan apa pun. Pada saat itulah, manusia mungkin tak bisa membedakan perbuatannya, apakah benar atau salah? Sulit jika tak pandai-pandai bersyukur.
Sebuah Mercy S-Class berwarna hitam meluncur ke lapang parkiran tempat kami melakukan aksi--mimbar bebas. Pantulan sinar dari kacanya membuyarkan lamunan. Pikiran-pikiran yang menyenangkan menguap, seiring dengan kilau dari jendela kendaraan yang seakan menabrak mataku.