Panggih menatap meja makan yang sekarang kosong melompong. Tak ada kopi, sepiring nasi, atau bahkan sekadar ubi. Sarapan paginya hanyalah sepotong sepi dan kehampaan yang semakin melesak ke ulu hati.
Sebulan lalu, masih ada sang ibu yang memasak nasi goreng meski terbatuk berkali-kali. Masih terdengar teriakan wanita itu saat Panggih melesat pergi tanpa permisi.
"Panggih …."
Suara itu adalah hal yang paling Panggih rindukan kendati dulu terdengar sangat memuakkan. Lelaki itu memang bukan lagi remaja, tapi dengan berpulangnya sang ibu, hidupnya tak lagi bermakna.
"Bapak mau bicara."
Panggih mendongak, menatap sang ayah yang sekarang duduk di depannya, hanya terhalang meja.
"Bapak mau menikah lagi."
Tidak ada menu sarapan paling tengik yang pernah Panggih dapati selain kalimat barusan. Belum genap empat puluh hari sang ibu berpulang, ayahnya justru berbicara tak jauh dari urusan selangkangan.
Diam-diam, Panggih mengepalkan tangan di bawah meja. Belum hilang duka yang bercokol di dada, sekarang dia justru dicekoki fakta yang tak bisa diterima oleh nalarnya.
"Kita butuh perempuan di rumah ini," ucap ayahnya lagi dengan suara serak.
"Kita?" Panggih tersenyum skeptis. Setengah mengejek ucapan ayahnya barusan.
Panggih laki-laki dan bukan bocah ingusan lagi. Dia tahu betul isi kepala sang ayah, baik yang atas maupun bawah. Namun, pemuda itu tak habis pikir jika semua akan terjadi secepat ini, di saat makam ibunya masih basah.
"Biar ada yang mencuci bajumu, memasak, dan—" Ucapan pria paruh baya itu terpotong karena Panggih beranjak hingga kursi yang tadi diduduki berderit nyaring.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Panggih masuk kamar dan membanting pintu hingga berdebum. Dia mengutuk takdir Tuhan yang mengambil semua sumber kebahagiaan: kekasihnya, ibunya, dan sebentar lagi ayahnya.