Lakon Terakhir

Omius
Chapter #1

Peti Sang Dalang

Langit di atas Wonogiri berwarna abu-abu kusam, seperti lukisan cat air yang pudar. Awan-awan tebal menggantung rendah, enggan bergeser, dan udaranya lembap, berat, dan dingin. Di jalanan tanah yang becek, kerumunan orang bergerak lambat menuju sebuah rumah besar, tempat jenazah Ki Suratmadi, seorang dalang tua yang dikenal seluruh desa disemayamkan.

Di masa hidupnya, Ki Suratmadi adalah sosok yang dihormati, seorang seniman yang bisa membuat wayang kulit seolah hidup di balik kelir. Namun, di antara bisik-bisik para pelayat, Diyan menangkap nada lain. Nada yang penuh rahasia dan sedikit ketakutan.

Diyan berdiri kaku di beranda, terasa seperti orang asing dalam jas hitamnya yang terasa longgar di tubuhnya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di desa ini, di tanah yang menyimpan kenangan masa kecilnya. Kini, kenangan itu terasa asing. Matanya tak bisa lepas dari peti kayu berukir yang terletak di ruang tengah. Di dalamnya, tubuh kakeknya terbujur kaku.  

Wajah kakeknya damai, terlalu damai malah. Meski begitu Diyan mengendus sesuatu yang tersimpan di wajah kakeknya. Seolah sebuah rahasia besar telah terkubur bersamanya.

Ki Suratmadi tidak pernah menceritakan banyak hal tentang masa lalu atau rahasia yang ia simpan. Yang kerap diceritakan, “Tugas seorang dalang adalah menyimpan cerita, bukan membocorkannya.”

Sekarang cerita itu terkubur bersamanya.

“Yan, duduk dulu. Kau kelihatan pucat,” pinta ibunya, Bu Ratmi, suaranya parau karena menangis semalaman. Ia menepuk lengan Diyan, menyadarkannya dari lamunan.

“Aku baik-baik saja, Bu,” balas Diyan, suaranya serak. “Hanya… aneh rasanya. Mbah sudah tidak ada.”

Ibunya hanya mengangguk, matanya sembab. Di ruang tamu, para pelayat duduk bersila, bibir mereka komat-kamit membaca doa. Aroma dupa bercampur dengan wangi melati yang menusuk hidung, menciptakan suasana yang menyesakkan. Sesekali, suara kentongan dari langgar di ujung desa memecah keheningan, terdengar seperti detak jantung yang berdetak lambat dan muram.

Diyan memperhatikan detail-detail kecil: bintik-bintik lumpur di celana para pelayat, retakan halus di ubin rumah yang dulu sering ia hitung saat kecil, dan lukisan Ki Suratmadi yang terpajang di dinding. Mata kakeknya di lukisan itu seolah mengikuti setiap gerak-gerik Diyan.

Salah seorang paman Diyan, Pak Wiryo tiba-tiba menghampirinya. Tubuhnya tegap, dengan mata yang menyorotkan sesuatu yang sukar dipahami.

“Yan,” bisik Pak Wiryo, suaranya rendah. “Mbahmu meninggalkan beberapa pusaka. Setelah semua ini selesai, kita akan bicarakan itu.”

Diyan mengerutkan kening.

“Pusaka? Maksud Paman… wayang-wayang Mbah?”

Pak Wiryo tidak menjawab. Ia hanya menepuk bahu Diyan, tatapannya menyiratkan beban yang jauh lebih berat daripada sekadar duka. Tatapan itu terasa dingin, seperti tatapan seorang prajurit yang akan memasuki medan perang.

“Nanti kau akan tahu. Bukan saatnya sekarang.”

***

Prosesi pemakaman berlangsung sederhana dan khidmat, namun Diyan merasa ada sesuatu yang tidak wajar. Ia ikut mengangkat keranda bersama para pria lain. Bahunya terasa berat bukan hanya oleh beban peti kayu dan tubuh kakeknya, tapi juga oleh perasaan aneh yang terus menekan. Perasaan seolah ia sedang mengemban tanggung jawab yang bukan miliknya.

Lihat selengkapnya