Lakon Terakhir

Omius
Chapter #2

Kotak Wayang

Malam itu terasa lebih panjang, lebih gelap, dan lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Diyan sama sekali tak bisa memejamkan mata setelah melihat bayangan wayang yang bergerak sendiri di dinding. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang menusuk seperti jarum es. Apakah itu hanya halusinasi yang disebabkan oleh kelelahan dan kesedihan? Atau, memang ada sesuatu yang hidup dan bernapas di dalam peti itu. Sesuatu yang bersemayam dalam wayang hitam pekat itu?

Diyan merasakan lehernya kaku, keringat dingin membasahi tengkuknya. Ia menyalakan lampu meja yang redup, cahaya kuningnya memecah kegelapan tapi tidak mampu mengusir ketakutan. Peti kayu di sudut kamar seolah menatap balik, siluet ukirannya tampak seperti wajah-wajah yang mengerikan.

Diyan menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia memejamkan mata, namun suara gamelan samar terus terngiang di telinganya, sebuah melodi yang asing namun terasa akrab. Seperti lagu pengantar tidur yang dinyanyikan oleh hantu.

Pagi kemudian datang dengan cahaya suram, seolah matahari pun enggan menembus awan tebal. Hujan semalam menyisakan genangan di halaman, dan udara masih terasa lembap. Burung-burung terdengar bernyanyi di kejauhan.

Namun, bagi Diyan, semua nyanyian itu terasa seperti bisikan yang penuh ancaman. Semuanya terasa asing dan tidak nyata. Ia duduk di meja makan bersama ibunya, yang tampak lebih tenang setelah prosesi pemakaman selesai.

“Bu,” Diyan memulai percakapan dengan suara serak. “Semalam aku mendengar gamelan. Padahal tidak ada orang yang bermain.”

Ibunya menoleh, menatapnya lama. Matanya menyiratkan kelelahan dan sebuah rahasia yang tersembunyi. “Mungkin hanya perasaanmu, Yan. Kau terlalu lelah.”

“Tapi aku juga melihat bayangan wayang itu bergerak sendiri,” kata Diyan, menatap ibunya lurus-lurus. Ia membutuhkan jawaban, bukan penolakan.

Ucapan itu membuat sendok di tangan ibunya berhenti. Wajahnya menegang, seolah ia baru saja mendengar kalimat yang paling ditakutinya.

“Jangan bicara sembarangan,” kata Ibunya cepat, seolah ingin mengunci topik pembicaraan ini di dalam sebuah kotak yang terkunci rapat.

“Bu, aku serius. Apa sebenarnya yang Mbah simpan? Kenapa harus aku yang menerimanya?” Diyan tidak menyerah.

Ibunya hanya menghela napas panjang, sebuah suara yang terdengar seperti kekalahan.

“Nanti malam, kalau paman-pamanmu masih di sini, kau tanyakan langsung pada Pak Wiryo. Ibu tidak ingin bicara tentang itu sekarang. Ibu… tidak bisa.” Nada suaranya penuh ketakutan.

***

Tengah hari, Diyan memutuskan untuk memeriksa isi peti lebih saksama. Ia mengunci pintu kamarnya, duduk di lantai, dan membuka kembali tutup peti yang terasa sangat berat itu. Aroma apek bercampur wangi kulit tua menyeruak, sebuah aroma yang aneh dan membuat bulu kuduknya berdiri.

Puluhan wayang tersusun rapi di dalamnya. Ada tokoh Pandawa, Kurawa, juga punakawan yang sering diceritakan Ki Suratmadi. Semuanya terlihat tua, dengan ukiran rumit dan warna cat yang pudar. Wayang-wayang itu tampak tak berbahaya, seolah mereka hanyalah artefak dari masa lalu yang damai.

Namun, pandangan Diyan selalu tertuju pada satu wayang, Sang Bayangan.

Kulitnya hitam legam, bukan cokelat pucat seperti wayang kulit pada umumnya. Bentuk wajahnya terlalu realistis, berbeda dengan gaya karikatural tokoh wayang pada umumnya. Bola matanya melotot, seolah dibuat menyerupai mata manusia sungguhan, dan mulutnya menyeringai dalam sebuah senyum yang penuh kebencian.

Diyan mengulurkan tangannya, menyentuh permukaannya pelan. Kali ini ia benar-benar yakin. Dingin yang menjalar bukan sekadar sugesti. Wayang itu terasa seperti kulit hidup. Ia menarik tangannya kembali, merasakan sensasi dingin yang masih menempel di ujung jarinya.

Tiba-tiba Ratna masuk, membawa segelas teh hangat.

“Yan, kau ngapain jongkok di situ?”

“Aku ingin lihat lebih dekat,” jawab Diyan, menunjukkan wayang hitam itu.

Ratna spontan mundur selangkah, wajahnya pucat.

Lihat selengkapnya