Diyan terbangun di tengah malam, tepat pada pukul 02.37. Rumahnya terasa lebih dingin dari biasanya, seolah hawa dingin itu datang dari dalam, bukan dari luar. Angin malam merayap dari celah jendela kayu yang sudah agak rapuh, menghasilkan bunyi berdesir yang aneh.
Dia menegakkan tubuh, mencoba meraba-raba gelas di meja kecil samping ranjang. Tapi sebelum sempat berdiri, telinganya menangkap sesuatu, suara lirih gamelan.
“Deng… deng… deng…”
Bukan suara keras yang bisa didengar dari luar. Justru samar, seperti dimainkan di ruangan jauh, atau berasal dari bawah tanah. Suara itu begitu jelas, namun begitu sulit ditemukan sumbernya.
Diyan menelan ludah, tenggorokannya tercekat. “Pasti cuma mimpi,” gumamnya, sebuah kalimat yang lebih ia tujukan untuk menenangkan dirinya sendiri.
Lalu ia menepuk-nepuk wajah. Nyatanya, suara itu tetap ada, konstan, dan perlahan-lahan menjadi lebih jelas.
Diyan memberanikan diri turun dari ranjang. Lantai dingin menusuk telapak kaki, sensasinya menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia berjalan pelan, langkahnya berhati-hati, menuju ruang tamu, tempat kotak pusaka kakeknya disimpan. Lampu gantung redup, hanya satu bohlam kecil yang menyala, menciptakan bayangan aneh di setiap sudut ruangan.
Saat sampai di ruang tamu, Diyan tertegun. Kotak pusaka itu terbuka. Padahal ia sangat yakin sudah menutupnya rapat-rapat siang tadi, bahkan ia sempat memeriksanya dua kali sebelum tidur. Wayang-wayang kuno di dalamnya tersusun rapi, kecuali satu, wayang berkulit hitam keabu-abuan itu berdiri tegak di lantai, seakan seseorang baru saja menancapkannya di papan tipis di dekat dinding.
Dan di dinding putih ruang tamu, terlihat bayangan wayang bergerak sendiri, menari. Bayangan itu menari dengan anggun dan lincah, gerakan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang dalang profesional.
“Tidak mungkin…” suara Diyan tercekat. Ia melangkah mundur, kakinya terasa kaku.
Bayangan wayang itu berputar, memainkan gerakan seolah ada dalang yang menggerakkannya dengan cekatan. Namun, di tangkai kayunya jelas-jelas tidak ada tangan. Bayangan itu menari dengan irama gamelan yang semakin jelas, seolah sebuah pertunjukan sedang berlangsung, tapi hanya untuk satu penonton, dirinya seorang.
Diyan panik, buru-buru mengambil kain dari meja, lalu menutup wayang itu. Bayangan di dinding langsung berhenti. Suara gamelan pun hilang. Hening yang tiba-tiba ini terasa lebih menakutkan dari kebisingan yang tadi.
Diyan mematung beberapa detik. Dadanya naik turun cepat. Ia memejamkan mata, berharap saat ia membukanya, semua ini hanyalah mimpi buruk.
***
Keesokan paginya, Diyan duduk di beranda sambil menyalakan rokok. Wajahnya pucat pasi, dan matanya merah karena kurang tidur. Di sampingnya, Ratna duduk dengan wajah khawatir.
“Kamu sakit? Dari tadi diam aja,” tanya Ratna.
“Aku… nggak tahu. Semalam aku dengar gamelan. Kotak pusaka itu kebuka sendiri.”
Ratna mengernyitkan dahi.
“Kebuka sendiri? Maksudmu?”