Diyan duduk di beranda, wajahnya lelah dan keruh. Asap rokoknya mengepul, memudar ke dalam hawa pagi yang masih berkabut. Semalam ia tidak tidur. Bayangan wayang itu, dengan seringainya yang aneh, masih melekat di kepalanya. Suara gamelan samar seolah masih berputar di telinganya, sebuah melodi yang kini ia benci.
Kabar duka tentang Dalang Karno membuatnya semakin gelisah. Ia tahu, orang tua itu adalah satu-satunya yang bisa menjelaskan asal-usul wayang hitam itu. Kini, sumber pengetahuan itu sudah tiada, terkubur bersama rahasia yang tak terucapkan.
Pintu depan rumah berderit. Ratna keluar dengan wajah masih mengantuk, rambutnya berantakan, tapi matanya penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran.
“Kamu belum tidur lagi, ya?”
Diyan hanya mengangkat bahu.
“Nggak bisa. Semalam ada lagi.”
Ratna duduk di kursi rotan sebelahnya, wajahnya tegang. “Gamelan itu?”
“Iya. Lebih keras. Dan wayangnya bergerak semua. Bukan cuma yang hitam, tapi semua wayang di dalam kotak.”
Ratna menarik napas panjang.
“Yan, ini udah nggak sehat. Kamu harus cerita ke orang yang ngerti. Jangan dipendam sendiri.”
“Aku pengen. Tapi siapa? Dalang Karno meninggal semalam.”
Ratna menoleh cepat. “Meninggal?”
“Katanya jatuh dari panggung. Tapi sebelum itu, dia teriak-teriak sendiri, kayak ngelawan sesuatu.”
Ratna merinding. Ia meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan diri.
“Aku takut, Yan. Takut kalau semua ini beneran ada hubungannya sama warisan kakekmu itu.”
Diyan menunduk. Kata-kata Ratna menohok, menusuk ke dalam lubuk hatinya. Di satu sisi ia ingin percaya bahwa semua ini hanyalah ilusi yang diciptakan oleh pikirannya yang lelah. Di sisi lain, semua yang terjadi terlalu nyata, terlalu konsisten untuk diabaikan.
Ia mengingat kembali wajah kakeknya di ranjang terakhirnya. Tangan tua itu menggenggam pergelangan Diyan erat-erat, genggaman yang kini terasa seperti rantai yang mengikat. “Jangan dijual. Jangan dibuang. Jaga, waktunya kau akan mengerti.”
Waktu itu Diyan mengira pesan itu sederhana, sekadar amanah untuk menjaga benda pusaka. Tapi sekarang, rasanya seperti jerat. Jerat yang perlahan-lahan mengikatnya dalam kegelapan.
***
Siang ini, Diyan memutuskan berkunjung ke rumah Om Bimo di desa, di kaki Gunung Salak. Rumah itu berada di ujung desa, di gang sempit dengan pagar bambu sederhana. Om Bimo sudah menunggu di teras, tubuhnya kurus, rambut putihnya berantakan. Begitu melihat Diyan, ia langsung berkata, “Kamu juga dengar kabar Karno, kan?”
Diyan mengangguk.