Diyan mencoba kembali ke rutinitas. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke bengkel kecilnya, tempat ia biasa mengurus motor dan mobil pelanggan. Bau oli dan bensin yang menyengat biasanya menjadi terapi, cara untuk mengusir pikiran-pikiran yang mengganggu. Beberapa karyawan sudah menunggu, wajah mereka menyiratkan kebingungan akan ketidakhadiran Diyan selama beberapa hari.
“Bos, ada orderan servis mobil lama. Mau langsung dicek?” kata Anto, salah satu mekanik, wajahnya penuh antusiasme.
Diyan mengangguk, berusaha bersikap normal. “Oke. Biar aku lihat,” jawabnya, suaranya terdengar lebih parau dari biasanya.
Namun, baru beberapa menit ia membuka kap mesin, kepalanya berputar. Ia melihat sekilas bayangan wayang itu menempel di kaca depan mobil, padahal seharusnya hanya pantulan dirinya. Bayangan hitam itu menyeringai, melambaikan tangan dengan tangkai tanduknya.
Diyan mengusap matanya kuat-kuat, tapi saat ia membuka mata lagi, bayangan itu sudah hilang.
Ia menjatuhkan kunci inggris yang dipegangnya. Bunyinya yang keras memecah keheningan bengkel.
“Bos, nggak apa-apa?” Anto menatapnya dengan heran.
Diyan buru-buru membungkuk, pura-pura mencari baut. “Nggak, cuma kepleset,” jawabnya, berbohong.
Dalam hati ia tahu, ini bukan halusinasi. Bayangan itu kini mengikutinya, merayap dari rumah hingga ke tempat kerja. Itu bukan sekadar mimpi buruk di malam hari. Itu adalah sebuah kenyataan yang kini melekat pada dirinya.
***
Diyan kembali ke rumah dengan tubuh lelah. Ratna ternyata sudah menunggunya di teras depan, wajahnya murung.
“Aku tadi telepon ibumu,” katanya pelan, suaranya terdengar cemas.
Diyan mendengus, frustrasi.
“Ngapain?”
“Dia bilang kamu udah beberapa kali begini. Lingkaran hitam di bawah mata, ngomong hal-hal aneh. Dia khawatir, Yan. Sangat khawatir.”
Diyan menghela napas berat.
“Aku nggak gila, Rat. Aku tahu apa yang aku lihat. Wayang itu. Bayangannya. Suara gamelan. Semua itu nyata.”
“Kalau gitu, buktikan. Rekam bayangannya. Pakai HP. Kita pasang di sana,” usul Ratna, menunjuk ke sebuah sudut di ruang tamu.
Diyan terdiam. Ia tidak terpikir hal itu. Ide itu sederhana, masuk akal.
“Oke. Nanti malam aku coba.”
***
Malam datang, membawa serta kegelapan yang pekat. Diyan menyiapkan ponselnya di atas tripod kecil, menghadap ke dinding ruang tamu. Lampu dinyalakan, menerangi ruangan. Kotak pusaka masih terkunci rapat di sudut ruangan. Ratna duduk di sofa, gelisah, tangannya saling meremas.
“Kalau ini nggak ada hasilnya, kamu janji tidur ya?” tanyanya, suaranya bergetar.
Diyan mengangguk. “Janji.”
Mereka menunggu. Hening yang mencekam menyelimuti ruangan. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang memecah keheningan. Pukul sebelas lewat, udara di ruang tamu berubah dingin, sangat dingin. Lampu meredup, seolah kehilangan energinya. Suara lirih gamelan mulai terdengar, samar-samar namun jelas di telinga Diyan.
Ratna menggenggam tangan Diyan erat-erat. “Kamu dengar?” tanyanya, matanya melebar.
Diyan mengangguk.
“Kamu juga dengar?”
Ratna menggeleng cepat.
“Nggak. Aku cuma ngerasa dingin. Sangat dingin.”
Diyan menatap ke dinding. Bayangan itu muncul lagi, jelas, senyumnya sama seperti semalam. Ia berdiri tegak, memandang ke arah Diyan.
“Lihat! Itu dia!” teriak Diyan, suaranya pecah karena panik.
Ratna menoleh, matanya membesar, ia menatap dinding dengan tatapan kosong.