Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu, seolah tirai air yang tak berujung telah menutupi kota. Dari balik kaca jendela rumahnya, Diyan menatap kilat yang sesekali membelah langit. Udara dingin menusuk tulang, tapi tubuhnya berkeringat dingin. Di rak kayu dekat televisi, wayang misterius itu berdiri, matanya yang kosong seolah mengawasi setiap geraknya.
Sejak diwariskan, benda itu menjadi pusat segala keganjilan, semisal suara gamelan lirih di malam sepi, bayangan aneh di dinding, bahkan mimpi buruk yang terasa nyata.
Diyan menyalakan musik dari ponselnya, berharap suara jazz lembut bisa menenangkan pikiran. Tapi matanya tetap tertuju pada wajah wayang yang hitam, dengan mata menonjol seperti arang terbakar.
“Kenapa kamu tidak bisa pergi saja sih?” gumamnya lirih, sebuah pertanyaan yang lebih ia tujukan pada dirinya sendiri.
Nada dering telepon memecah kesunyian. Nama Ratna muncul di layar. Diyan menghela napas lalu mengangkat.
“Halo, Ratna.”
“Yan, kamu di rumah, kan?” suara Ratna terdengar panik.
“Iya. Kenapa?”
“Aku… aku lihat sesuatu tadi. Bisa aku ke tempatmu sekarang? Aku takut kalau cerita lewat telepon.”
Diyan terdiam beberapa detik. Hujan di luar tak menunjukkan tanda reda, tapi nada suara Ratna membuatnya tidak tega menolak.
“Ya sudah, hati-hati di jalan,” jawabnya.
***
Tiga puluh menit kemudian, pintu rumah diketuk tergesa. Diyan membukakan pintu, mendapati Ratna dengan jas hujan masih kuyup. Wajahnya pucat, rambutnya basah menempel di pipi.
“Masuk dulu, Ratna,” ujar Diyan sambil mengambilkan handuk.
Ratna duduk di sofa, meremas-remas jemarinya. Ia menatap Diyan dengan tatapan yang penuh ketakutan dan penyesalan.
“Yan, aku harus cerita. Sejak kamu bawa wayang itu, aku jadi sering lihat satu sosok.”
Diyan mengernyit.
“Sosok apa?”
“Dalang tua. Rambutnya putih panjang, matanya merah. Dia berdiri di belakangmu waktu kita di kafe minggu lalu. Aku pikir cuma ilusi, tapi tadi… dia muncul di kamarku.”
Diyan merasakan jantungnya meloncat.
“Rat, kamu serius?”
“Aku tidak main-main!” suara Ratna meninggi, matanya berkaca-kaca. “Dia bilang sesuatu. Katanya: ‘kalian tidak bisa lari dari lakon ini.’”
Lampu meja tiba-tiba berkelip. Diyan berdiri, menoleh ke arah rak kayu. Wayang itu tampak bergeser sendiri beberapa sentimeter, seolah-olah merespons kata-kata Ratna.
“Yan…” bisik Ratna, tubuhnya gemetar.
Bayangan wayang di dinding perlahan membesar. Bukan siluet biasa. Bayangan itu berubah menjadi sosok dalang tua. Tangannya bergerak seperti memainkan wayang, kepalanya sedikit menunduk, tapi matanya merah menyala menatap mereka.
“Kamu lihat juga, kan?” tanya Diyan terbata.
Ratna hanya bisa mengangguk, wajahnya pucat pasi. Bayangan itu bersuara, serak dan bergetar:
“Darah yang terikat pada kulit, tidak bisa diputus. Lakon harus dimainkan ulang.”
Diyan maju selangkah. “Apa maksudmu?!” serunya dengan suara parau.
Dalang bayangan itu hanya tertawa lirih. Tawa yang menggema ke seluruh ruangan, membuat bulu kuduk mereka berdiri.