Lakon Terakhir

Omius
Chapter #7

Desa yang Dilupakan

Kereta malam melaju meninggalkan Stasiun Gambir, menembus gelap dan hujan yang turun sejak sore. Diyan duduk sendirian di kursi dekat jendela, jaket hitamnya ia rapatkan. Di pangkuannya, sebuah ransel kecil berisi pakaian seadanya dan buku catatan penuh coretan tentang Ki Tirtorejo.

Seorang kondektur lewat, memeriksa tiket. “Mau ke mana, Mas?” tanyanya ramah.

“Solo,” jawab Diyan singkat.

“Sendiri? Malam-malam begini?”

“Iya.”

Kondektur itu mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya. Diyan kembali menatap jendela. Di balik kegelapan malam, ia merasa ada sesuatu yang menatap balik. Sekilas, bayangan dalang itu terpantul di kaca, meski tidak ada sosok di sampingnya. Bayangan itu menyeringai, seolah-olah mengejeknya.

“Kamu ikut, ya?” bisik Diyan getir. “Silakan. Tapi kali ini aku yang bakal mengejar kamu.” Kata-kata itu terdengar seperti sebuah sumpah, sebuah tekad yang kini membara di hatinya.

***

Pagi buta kereta tiba di Stasiun Balapan. Udara dingin, aroma tanah basah masih menempel di jalanan. Diyan keluar membawa ransel, lalu mencari ojek daring. Tujuannya Desa Mantyasih, sebuah desa kecil di pinggiran Klaten yang menurut catatan arsip pernah menjadi tempat tinggal Tirtorejo.

Butuh satu jam perjalanan melewati jalan sempit, sawah yang terhampar luas, dan rumah-rumah tua yang tampak sunyi. Sopir ojek beberapa kali menoleh ke arahnya.

“Mas, yakin mau ke Desa Mantyasih? Jarang ada orang luar ke sana,” tanya sopir ojek, suaranya penuh keraguan.

“Kenapa?”

“Desanya sepi. Banyak rumah kosong. Orang bilang angker.”

“Ya, saya ada urusan.”

Sopir ojek itu tak bertanya lagi, hanya mempercepat motornya.

Mereka tiba di sebuah gapura tua dengan ukiran rusak. Tulisan di atasnya nyaris pudar, tapi Diyan bisa membaca samar, Desa Mantyasih.

Ia langsung merasakan hawa berbeda. Udara lebih dingin, meskipun matahari sudah tinggi. Jalanan sepi, hanya beberapa rumah tua berdiri dengan cat terkelupas. Pintu-pintu tertutup rapat, jendela berdebu, seolah desa itu sudah ditinggalkan bertahun-tahun.

Sopir ojek menepuk pundaknya. “Saya tunggu di luar desa saja, Mas. Kalau kelamaan, saya balik.”

“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih,” jawab Diyan. Ia melangkah masuk sendirian. Suara langkahnya bergema aneh, seakan tanah menyerap gema itu.

Tak lama kemudian, ia bertemu seorang perempuan tua yang sedang menyapu halaman. Wajahnya penuh keriput, tatapannya curiga.

“Nyari siapa, Nak?”

“Saya cari informasi soal seorang dalang. Namanya Tirtorejo. Katanya dulu tinggal di sini.”

Perempuan tua itu mendadak berhenti menyapu. Tangannya gemetar.

“Kenapa kamu sebut nama itu?”

“Saya cuma ingin tahu informasi saja. Saya pewaris wayang yang katanya peninggalannya.”

Perempuan tua itu menggeleng cepat, wajahnya pucat.

“Pergi dari sini! Tidak ada kebaikan kalau kamu gali nama itu. Semua yang menyebut namanya, akhirnya sengsara.”

“Tolong, Bu! Saya harus tahu. Kalau tidak, saya sendiri yang bakal celaka.”

Perempuan tua itu menatapnya lama, lalu berbisik: “Pergilah ke rumah joglo tua di ujung desa! Dulu itu rumahnya. Tapi hati-hati, bayangannya belum pernah pergi.

***

Diyan mengikuti petunjuk itu. Jalan menuju ujung desa makin sunyi, ditumbuhi rumput liar. Di sana berdiri sebuah rumah joglo besar, namun sudah reyot. Atapnya bolong, pintu kayu lapuk, dinding penuh lumut. Saat melangkah masuk ke halaman, angin berhembus kencang. Pintu rumah berderit sendiri, seolah mengundangnya masuk.

“Jadi ini markas kamu…” gumamnya, menatap dengan tegang.

Ia masuk perlahan. Di dalam, debu menebal, laba-laba bergelantungan. Tapi di tengah ruangan, ada panggung kecil dari kayu, dengan kelir putih robek tergantung di atasnya. Seperti bekas tempat pertunjukan wayang.

Diyan mendekat. Tiba-tiba cahaya dari celah atap menyorot panggung itu. Bayangan seseorang muncul di kelir. Seorang dalang duduk bersila, tangannya memainkan wayang yang bentuknya sama persis dengan yang dimiliki Diyan. Diyan tercekat.

“Kamu Tirtorejo?” suaranya bergetar saat menyapa.

Bayangan itu berhenti, lalu menoleh ke arahnya. Mulutnya bergerak, suara berat terdengar:

Lihat selengkapnya