Lakon Terakhir

Omius
Chapter #8

Panggung

Malam itu Diyan menginap di penginapan kecil dekat pasar kecamatan. Kamar sederhana dengan ranjang kayu, kipas angin tua berderit, dan lampu temaram. Ia duduk bersila di lantai, kertas berserakan di depannya. Di sampingnya, kotak kayu berisi cempurit tergeletak pisau kecil yang diberikan Ki Suratmoko.

Ia membuka buku catatan kosong. Pena di tangannya bergetar.

“Kalau kamu bisa bikin lakon, aku juga bisa,” gumamnya. “Kamu kira cuma kamu yang berhak menentukan nasib?”

Ia mulai menulis: tokoh, alur, lakon. Tapi setiap baris terasa dipantau. Udara kamar berat, dinding seakan menyempit, dan ia merasa ada mata tak terlihat yang mengawasinya.

Baru menulis satu paragraf, pena berhenti sendiri. Tangannya terkaku. Dengan mata terbelalak ia melihat baris yang tertulis bukan dari pikirannya.

“Lakon ini bukan milikmu. Kau hanyalah wayang di panggungku.”

Diyan terlonjak. Pena jatuh, napas memburu. Kertas kosong itu kini berisi tulisan hitam pekat, meskipun ia belum menorehkan tinta sebanyak itu.

“Kamu tidak akan menang,” bisiknya.

Ia mengambil cempurit dari kotak, menggenggamnya erat. Anehnya, ketika pisau kecil itu berada di tangannya, hawa kamar sedikit mereda. Tulisan hitam di kertas memudar, tersisa coretan samar. Ia sadar, cempurit ini bukan sekadar pisau, melainkan senjata spiritual.

Diyan kembali mencoba. Tapi setiap kali ia menulis, kalimatnya diubah, huruf-huruf bergeser, seakan Tirtorejo ikut mencampuri. Akhirnya, dengan nekat, ia menggores jarinya dengan cempurit. Setetes darah menetes di kertas.

Ajaib, tinta penanya jadi menyatu dengan darah itu. Kata-kata yang ia tulis tak berubah lagi, seakan bayangan itu tidak bisa menembusnya.

“Kalau perlu darahku, kamu akan dapat,” kata Diyan sambil terus menulis. Ia tahu ini adalah taruhan yang berbahaya, tapi ia tidak punya pilihan lain.

Ia mulai menggambar kerangka cerita. Lakonnya bukan tentang kematian, bukan tentang pengorbanan besar seperti yang Tirtorejo mainkan. Diyan menulis tentang seorang ksatria yang menolak tunduk pada dalang, memilih menulis takdirnya sendiri.

Dalam lakonnya, tokoh utama bukan Arjuna, bukan Gatotkaca, bukan tokoh pewayangan besar, melainkan seorang dalang muda biasa yang berani menantang para dewa.

“Kamu bukan dewa, Tirtorejo,” desisnya. “Kamu cuma bayangan yang tidak rela mati.”

Semakin ia menulis, semakin darah menetes. Tapi anehnya, ia tidak merasa lemah. Malah ada semacam kekuatan baru yang mengalir, seperti api yang membuat pikirannya tajam dan fokus.

Tiba-tiba lampu kamar padam. Gelap total. Dari luar jendela terdengar suara gamelan lirih, lalu suara tertawa rendah.

Bagus, pewaris… tulislah. Aku ingin melihat lakonmu. Aku ingin tahu seberapa kuat kau menantangku.

Bayangan hitam merambat di dinding, bentuknya seperti tangan panjang, mencoba meraih kertas di depan Diyan.

Dengan sigap Diyan menorehkan cempurit di kertas, membuat garis silang besar. Begitu darahnya menempel, bayangan itu menjerit dan menghilang. Lampu kembali menyala seketika, seolah tidak terjadi apa-apa.

Napas Diyan memburu. “Kamu tidak akan bisa ambil tulisanku.”

***

Baru menjelang subuh, Diyan akhirnya berhenti. Lakon tandingan sudah mulai terbentuk. Tangannya penuh bercak darah kering, kertas bertumpuk dengan tulisan campur aduk. Namun ia sadar sesuatu, setiap kali ia menulis dengan darah, bayangan Ki Tirtorejo tidak bisa mengubahnya.

Tapi ia juga merasa bagian dirinya hilang sedikit demi sedikit. Ingatan masa kecilnya samar. Saat mencoba mengingat wajah ibunya, ia hanya mendapati kabut.

“Jadi ini harga yang Ki Suratmoko maksud,” gumamnya lirih. “Lakon ditulis dengan darah, tapi dibayar dengan ingatan.”

Ia sempat tertidur sebentar di kursi. Dalam tidurnya, ia bermimpi berada di panggung kelir besar. Di belakangnya, wayang-wayang tampak berbaris. Hanya saja wajah mereka bukanlah tokoh-tokoh Mahabharata, melainkan wajah orang-orang yang pernah ia kenal seperti ayahnya, gurunya, bahkan Ratna.

K Tirtorejo terlihat duduk di kejauhan, memainkan gamelan sendiri. “Lakonmu lemah, pewaris. Lakonmu rapuh. Kau menukar ingatanmu hanya untuk menulis dongeng murahan.

Diyan meraih wayang di tangannya. Bukan wayang kulit, melainkan cempurit yang berubah menjadi tokoh ksatria. Ia menancapkannya ke kelir. Cahaya merah membanjiri panggung.

Lihat selengkapnya