Kereta malam yang membawa Diyan dari Yogyakarta menuju Jakarta terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu kabin meredup, penumpang lain banyak yang terlelap, tapi Diyan tetap terjaga. Ia duduk mematung, menatap gelap di luar jendela. Setiap pantulan wajahnya di kaca seakan berubah-ubah. Kadang wajahnya sendiri, kadang wajah dalang Tirtorejo.
Ia menggenggam cempurit erat di saku jaketnya. Benda itu semakin terasa berat, seolah ikut menarik beban pikirannya. Penonton pertama… tumbal… purnama… Kata-kata Ki Suratmoko terus terngiang.
Tiba di Jakarta, Diyan langsung membuka kertas lakon di rumahnya. Ia mencoba menulis ulang bagian yang hilang. Tapi, setiap kali pena menari di atas kertas, huruf-huruf itu berlumur merah. Bukan tinta, tapi darah. Tangannya sendiri berdarah padahal ia tidak merasa melukai diri.
Diyan menjatuhkan pena, terengah.
“Sial, bahkan di sini pun dia mengikutiku.”
***
Keesokan harinya, Ratna muncul tanpa aba-aba. Ia berdiri di depan pintu rumah, wajahnya cerah sekaligus penuh khawatir.
“Aku capek menunggu kabarmu. Kamu bilang cuma liputan sebentar ke Jawa, tapi sudah hampir dua minggu kamu tidak jelas. Jadi aku datang sendiri.”
Diyan menelan ludah. Ia ingin memeluknya, tapi tubuhnya menegang. Ada rasa takut. Bukan takut pada Ratna, tapi takut Ratna jadi sasaran.
“Aku minta maaf. Banyak yang harus aku ceritakan. Tapi tidak sekarang,” katanya dengan suara bergetar.
Ratna mengerutkan kening.
“Kenapa sih, Yan? Kamu kayak orang lain sekarang. Kalau ada masalah, bilang! Jangan ditutup-tutupi!”
Diyan hanya menunduk. Ia tahu, rahasia ini terlalu berat untuk dibagi, tapi justru kalau ia diam, bahaya bisa lebih cepat menjerat Ratna.
***
Malam itu, Ratna memutuskan menginap. Ia merasa Diyan butuh ditemani.
Diyan mencoba tidur, tapi suara gamelan lirih kembali terdengar. Dari sudut kamar, bayangan wayang bergerak sendiri di dinding, meski tak ada sumber cahaya. Diyan meraih cempurit dan menggenggamnya erat. Bayangan itu berhenti. Tapi suara lirih menyusup di telinganya:
“Penonton pertamamu sudah datang. Tinggal kau tentukan lakonnya.”
Diyan menoleh ke arah Ratna yang tertidur di sofa. Wajahnya damai, jauh dari mimpi buruk yang menjerat Diyan. Hatinya mencelos. Jangan dia... Tuhan, jangan dia.
***
Keesokan harinya, Diyan berpura-pura tenang. Ia menyiapkan sarapan sederhana, sambil memikirkan langkah selanjutnya.
“Ratna, aku ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku minta kamu balik dulu ke rumah orang tuamu, ya?”
Ratna menatapnya curiga.
“Kamu mengusirku?”
“Bukan begitu. Aku cuma tidak mau kamu ikut masalahku.”
Ratna mendengus.
“Masalah apa sih, Yan? Kamu dari dulu tidak pernah begini. Aku tidak mau meninggalkanmu sendirian.”
Diyan menahan kepalan tangan. Ia sadar, semakin ia menolak, semakin Ratna curiga. Dan semakin dekat pula bayangan Tirtorejo menjerat mereka berdua.
Hari-hari berikutnya, Diyan mulai melihat Jakarta dengan mata berbeda. Di halte bus, ia melihat seorang pengamen memainkan kendang kecil. Tapi nadanya bukan dangdut atau pop, melainkan tabuhan gamelan Jawa. Orang lain mendengar biasa saja, tapi di telinga Diyan, jelas itu irama pembuka wayang.
Di trotoar, bayangan orang-orang memanjang aneh, menyerupai siluet wayang kulit. Ketika ia berkedip, bayangan itu normal kembali.
Puncaknya, di bengkel miliknya saat ia membuka map laporan. Alih-alih data angka, yang tertulis adalah bait-bait suluk: “Kawit saka pepeteng, dumadi cahya...” (Berawal dari kegelapan, tercipta cahaya...).
Diyan refleks menjatuhkan map itu.
***
Hari ketiga setelah kepulangannya dari Desa Mantyasih, Diyan memutuskan berjalan ke Taman Suropati, berharap udara segar bisa menjernihkan kepala. Tapi di tengah taman, ia melihat panggung kelir putih berdiri sendirian, diterangi lampu jalan. Tak ada orang lain. Jantungnya berdetak kencang.