Langkah kaki mereka melewati jalan berbatu yang kian menanjak. Malam semakin pekat, hanya cahaya senter yang membelah gelap. Ratna berulang kali menoleh ke belakang, seolah takut ada yang mengikuti. Diyan mencoba tenang, meskipun dadanya berdebar cepat.
“Yan… kita tidak nyasar kan?” bisik Ratna.
“Tidak. Ki Suratmoko bilang rumahnya di ujung dusun, di samping pohon beringin besar,” jawab Diyan.
Setelah hampir satu jam berjalan, mereka melihat cahaya lampu minyak berpendar dari sebuah rumah joglo tua. Di samping rumah itu berdiri pohon beringin berusia ratusan tahun, batangnya besar, akar menjuntai sampai tanah.
Diyan menarik napas lega. “Itu dia.”
Mereka mendekati rumah itu, mengetuk pintu kayu. Tak ada jawaban.
Diyan mengetuk sekali lagi. “Ki Suratmoko, ini saya, Diyan.”
Hening beberapa detik. Lalu suara tua, berat, terdengar dari dalam. “Masuklah. Pintu tak pernah terkunci untukmu.”
Ratna meremas lengan Diyan, ragu. Namun Diyan mendorong pintu pelan. Bau dupa menyeruak, bercampur wangi kayu tua. Di dalam, seorang lelaki renta tampak duduk bersila di tikar pandan. Rambutnya putih panjang, matanya redup namun tajam.
“Ki Suratmoko…” Diyan menunduk hormat. “Saya kembali, seperti yang njenengan bilang, lakonnya belum selesai.”
Ki Suratmoko mengangguk pelan. Pandangannya beralih pada Ratna. “Dan kau membawa penonton pertamamu.”
Ratna terperanjat.
“Saya…? Apa maksudnya, Ki?”
Dalang sepuh itu menutup mata sejenak, lalu berkata lirih, “Kutukan wayang selalu memilih penonton pertama. Bukan kebetulan kau ada di sini, Nduk.”
Ratna menelan ludah, lalu memegang tangan Diyan semakin erat.
“Ki, tolong ajari saya. Bagaimana caranya saya bisa hentikan semua ini?”
Ki Suratmoko menghela napas panjang.
“Kau keras kepala, Diyan. Seharusnya setelah tahu bahayanya, kau menjauh. Tapi aku tahu, takdir memang menyeretmu kembali.”
“Aku tidak peduli. Kalau harus menanggung bahaya, biar aku. Asal Ratna tidak kenapa-kenapa.”
Ki Suratmoko menatapnya lama.
“Keberanianmu besar. Tapi jangan salah, dalam pementasan balik, tumbal tidak bisa dihindari. Ada harga yang harus dibayar.”
“Kalau harus aku, biar aku!” sahut Diyan cepat.
Ratna langsung menoleh. “Jangan bicara begitu, Yan!”
Ki Suratmoko tersenyum getir.
“Kalian berdua memang terikat. Tapi ingat, wayang tidak memilih dengan hati. Ia memilih dengan garis takdir.”
Ki Suratmoko kemudian meraih sebuah kotak kayu kecil dari rak. Ia membukanya, menampilkan wayang kulit tua dengan wajah retak. Tangannya gemetar saat mengangkatnya.
“Ini salah satu peninggalan Tirtorejo,” katanya pelan. “Wayang inilah yang menjadi inti lakon terputus itu. Untuk pementasan balik, kau harus menjadi dalangnya, Diyan. Kau harus melanjutkan lakon terakhir yang Tirtorejo tinggalkan.”
Diyan menatap wayang itu dengan sorot takut bercampur penasaran.
“Lakon terakhir? Apa yang sebenarnya terjadi?”