Pendapa kembali disiapkan di malam berikutnya. Kelir putih terbentang, lampu minyak digantung rendah, dan kotak wayang kuno terletak di tengah ruangan seperti sebuah peti mati kecil. Angin berembus lebih dingin dari biasanya, membuat dedaunan di luar bergesekan seolah berbisik.
Ki Suratmoko duduk lebih tegak kali ini.
“Latihan kedua akan menguji bukan hanya lakonmu, Diyan, tapi juga kekuatan hatimu. Semakin dekat kita ke inti lakon, semakin tipis jarak antara dunia kita dan dunia bayangan.”
Ratna menggenggam tangan Diyan erat.
“Kalau aku boleh jujur, aku takut sekali. Kemarin aku lihat wajahmu hampir hilang… seperti setengahnya sudah masuk ke dalam kelir.”
Diyan mencoba tersenyum tipis.
“Aku juga takut. Tapi kita sudah sejauh ini. Kalau berhenti, kutukan ini akan menelan kita semua.”
Ki Suratmoko menyalakan kendang kecil. “Baik. Mari mulai.”
Diyan kembali mengangkat wayang ksatria dan bayangan hitam. Begitu kulit wayang itu menempel di tangannya, hawa dingin menyengat, jauh lebih menusuk daripada latihan pertama. Napasnya terhuyung, tapi ia menahan diri.
“Mulai dari bagian tengah lakonmu,” ujar Ki Suratmoko. “Di sanalah ujian sebenarnya.”
Diyan membuka catatan yang sudah hampir ia hafal. Ia mulai mengucap: “Ksatria itu menolak melawan sahabatnya. Tapi gurunya memaksanya. Ia harus memilih antara kesetiaan atau nurani.”
Tangannya menggerakkan wayang, tapi kali ini bayangan hitam di kelir menolak patuh. Ia berputar sendiri, melawan gerakan tangan Diyan, menjerit tanpa suara.
Ratna menutup mulutnya.
“Diyan… lihat itu! Bayangan itu bergerak sendiri!”
Kelir bergetar. Cahaya lampu minyak berlipat dua, seakan ada tangan lain di balik kelir, mendorong wayang hitam keluar. Perlahan, bentuk wajah samar mulai muncul, mata cekung, senyum lebar, rambut terurai panjang.
“Ki… itu Tirtorejo?” bisik Ratna ketakutan.
Ki Suratmoko menabuh kendang lebih cepat.
“Jangan menoleh! Diyan, teruskan lakonmu! Suaramu harus lebih kuat dari bisikannya!”
Namun suara lain mulai terdengar dari kelir. Serak, berat, dan menusuk telinga. “Lakonnya bukan milikmu, Bocah. Ini milikku. Aku yang menulisnya dengan darah.”
Diyan terhuyung. Suara itu masuk langsung ke kepalanya, membuat pandangannya berkunang-kunang. Ia merasakan seolah ada tali tak terlihat yang melilit lehernya.
Ratna panik.
“Ki, dia tercekik!”
Ki Suratmoko menggertakkan gigi.
“Kalau kamu tolong dia sekarang, kamu ikut ditarik! Percayakan padanya!”
Diyan menggigil, tapi ia memaksa bibirnya bergerak.
“Aku… menolak… lakon berdarahmu! Ksatria ini memilih jalan damai. Bukan dendam!”
Wayang ksatria di tangannya bergetar, hampir patah. Bayangan hitam di kelir menjerit, dan wajah samar Tirtorejo makin jelas. Mata cekung itu kini menatap lurus ke arah Diyan.
“Kalau bukan darah… maka nyawamu sebagai ganti!”
Tali gaib yang menjerat leher Diyan semakin kencang. Tubuhnya terangkat sedikit dari lantai, membuat Ratna menjerit histeris.